Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Mata Anakku Bukan untuk Status KKNmu: Dendam Sang Kukang

18 Mei 2024   11:08 Diperbarui: 18 Mei 2024   11:09 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Paduan Pixabay.com dan Canva.com

"Terus, kita mau pindah kemana?", tanya Rino.

Ketiga mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) itu lama berdiskusi kemana mereka akan pindah desa selanjutnya. Mereka menduga-duga alasan kenapa mereka diusir dari rumah singgah itu. Padahal pihak desa sudah setuju mereka tinggal disana selama program KKN berlangsung sekian waktu.

"Apa karena kita sebar foto di media sosial 2 hari yang lalu?" tanya Celsi.

"Tuh kan, kita sudah dilarang mengambil foto di hutan jati," celetuk Rino.

"Tanya ketua, tuh! Kan dia dan Silvi yang senang foto," hardik Celsi sambil menunjuk Wina dengan dagunya.

Memang saat pertama kali masuk desa, Wina dan teman-temannya dilarang oleh kepala dusun untuk mengambil gambar di daerah hutan jati. Itu daerah yang sakral menurut keyakinan warga. Ada sejenis kukang, binatang yang bergerak lambat dan pemalu, tinggal di sana. Bagi penduduk setempat, itu bukan binatang sembarangan.

Entah kenapa pada keesokan harinya, hasrat Wina muncul untuk mengabadikan gambar seekor bayi kukang yang terjatuh di bawah pohon. Hal itu dilakukan saat rombongan KKN mengambil data penyebaran ulat jati di musim kering. 

Wina terpesona dengan lucunya binatang itu. Teman-temannya sudah mengingatkan mengenai pantangan yang harus dijaga namun Wina tetap bersikeras. 

Sekali jepret, flash kamera menerangi wajah bayi kukang yang mungil. Tiba-tiba saja tubuh kukang kecil itu menggeliat. Kepalanya disembunyikan di balik lengan dan tubuhnya menggulung seperti bola. Suara yang keluar dari mulutnya pun mengerang seperti kesakitan.

Silvi  kemudian merampas kamera dari tangan Wina. Dia lanjut memotret kedua kali. Kuku panjang dan tajam kukang mengarah padanya. Semakin badan kukang menggeliat di tanah semakin Silvi senang melihat pemandangan itu. Berkali-kali pula flash kamera ditembakkannya ke tubuh kukang yang masih lemah.

"Sudah, sudah," hardik Wina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun