"Alhamdulillah, ya Allah...." sambungnya seraya bertakbir berkali-kali dan mengepal uang taruhan di telapak tangannya.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar" pekiknya lagi sambil berlari dan melompat-lompat kegirangan.
"Baru menang judi saja sudah begitu," ujar salah salah satunya.
Aku tetap tak peduli. Kulanjutkan perjalananku. Namun saat berbelok dari palang pintu yang kulewati, terdengar si penjaga berteriak kembali, "Woi, gila beasiswa kau ya." Suaranya besar dan tebal menandakan ia perokok berat.
Aku maklum kenapa dia berucapkan itu. Memang, kadang aku berjalan tanpa sadar berteriak di kerumunan orang banyak, "Aku jadi mahasiswa, aku dapat beasiswa!"
Ucapan itu terlontar tanpa sengaja saat kuteringat bagaimana pihak kampus menolak memberikan beasiswa hanya karena aku cacat.
"Tahun depan Anda mungkin bisa melamar lagi, kuota beasiswa saat ini sudah penuh," ketus salah seorang wanita yang mewawancarai.
Perasaan kecewa rasanya di luar harapan. Perguruan tinggi tempat mengenyam pendidikan seharusnya memberikan tempat khusus untuk orang-orang cacat sepertiku.
"Would you explain why I am not accepted in this campus?" kubertanya dengan bahasa Inggris untuk membuktikan kemampuan berbahasaku dalam bahasa asing. Kuingin tahu apa yang menjadi alasan sebenarnya.
"Wat is er mis?" kutanya lagi dengan bahasa Belanda.
"Bitte erklre!" sambungku dengan bahasa Jerman untuk membutuhkan jawaban. Namun, tim pewawancara yang terdiri dari 3 orang hanya terdiam. Aku tak tahu apakah diam mereka karena terpana dengan kemampuanku atau kasihan.