Beramai-ramai mereka kemudian membopong si gadis yang terus saja menangis.
Aku mendengar jelas saat dibopong, dia baru saja diaborsi karena telah hamil 3 bulan oleh pria berumur yang meninggalkannya barusan. Wajar saja kalo dia meraung kesakitan. Yang lebih mengejutkanku, orang yang menghamilinya adalah gurunya sendiri di SMP dimana dia bersekolah.
"Aku bertemu orang yang benar-benar gila hari ini," gumamku.
"Kenapa malah aku yang dianggap gila oleh mereka?" masih kubertanya-tanya dalam hati.
Tak satu pun yang menghiraukan keadaanku di samping trotoar. Kuambil tongkatku untuk berjalan. Dengan tertatih, aku lanjut menuju tujuanku pagi ini. Aku tak peduli.
Kampus tujuanku tidak jauh dari tempat tinggal. Hanya butuh waktu 30 menit. Itupun karena kakiku yang pincang. Sirene palang kereta api menjadi patokanku. Getaran terasa saat kakiku menginjak salah satu bagian rel.Â
Aku pun sudah tahu jika jarak kereta listrik tinggal 1 atau 1,5 km lagi untuk tiba di lokasiku berdiri. Namun begitu, penjaga palang pintu selalu berteriak waspada agar aku tetap berada di pinggiran rel.
"Awas minggir, mau mati?"
Ucapan itu sudah sering kudengar. Kadang diselingi dengan lemparan kerikil yang tak jarang mengenai bahu maupun jidatku.
Cemohan orang-orang yang sedang bermain kartu di pos ronda samping palang pintu rel sudah kuanggap biasa, "Ini orang gila mau mati ya?"Â
Terdengar suara terbahak-bahak dengan nada bahagia karena salah satu dari mereka menang bermain kartu.