"Merah putih ini sudah mengalir dalam darahku, Man," tandas pak Leo saat pernah kutanya kenapa dia selalu membawa bendera kecil kemanapun dia pergi. Â
Cintanya pada dunia pendidikan sangat tinggi. Pernah kudapati beberapa kali anak-anak yang mencari buku pelajaran sekolah namun kekurangan uang untuk membayar buku bekas. Tak jarang pak Leo pun memberinya gratis.
"Kalo bukan kita siapa lagi yang bisa bantu anak-anak ini untuk mengenyam pendidikan, Man," sambungnya.
"Saat minat baca anak-anak di Indonesia masih rendah, aku ikhlaskan buku-buku ini untuk orang-orang yang masih mau membaca." Â
Seperti biasa, aku tak bersuara. Walaupun demikian, aku kagum dengan rasa cintanya pada tanah air. Pantas saja beliau kupanggil 'Rektor' di kampus tak bernama ini. Nilai-nilai luhur pendidikan terpatri di ruangan sempit itu. Yang lebih mengagumkan lagi, pak Rektor Leo telah memberikanku beasiswa seumur hidup dengan menggratiskanku belajar tentang wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang sangat berarti.
Tidak seperti kampus tujuanku dulu. Usahaku untuk mendapatkan beasiswa sia-sia padahal sudah 3 kali aku datang melamar dengan mempersiapkan persyaratan yang diminta. Namun, alasannya tetap sama. Kuota sudah penuh. Entah sampai kapan kuota itu kosong dan bisa kutempati. Begitu susahnya diriku untuk bisa belajar tanpa biaya pendidikan.Â
Rasa ambisi  yang berlebihan menyurutkan keinginanku untuk pindah tujuan kampus. Aku tetap ingin belajar di tempat impian seperti cita-cita orang lain. Namun sayang, sia-sia.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H