Salah satu pria berbisik ke rekan wanita di sampingnya, "Kuota yang satu ini uda dipesan oleh pak rektor untuk anak gadisnya."
"Ohh, begitu. Kapan tesnya?" tanya si wanita.
"Ga perlulah, anak rektor kok," bisik si pria.
Bisikan itu makin mengiris hatiku dan membuatku ingin berteriak. Hancur sudah angan-angan untuk berkuliah disana.
"Silahkan, Mas," ucap si wanita dengan lembut tandanya mengusir secara halus.
Dalam perjalanan, aku terus menghayal menjadi si anak rektor. Aku membayangkan bagaimana enaknya jadi anak pejabat. Tak perlu repot sana sini dan tak banyak perjuangan yang dilalui.
"Mas Man, ayo masuk!" Â seseorang membuyarkan lamunanku. Ternyata aku telah sampai ke kampusku yang baru.
Kutinggalkan lamunan. Kuletakkan tongkat di samping tumpukan buku tua. Aroma buku yang sebagian lapuk menandakan cukup lama buku-buku itu terpendam di sebuah ruangan berukuran 2 x 3 meter persegi yang pengap dan lembab.
"Obral, obral, buku murah," teriak si lelaki yang memanggilku tadi.
Pak Leo, begitulah orang-orang di pasar loak memanggilnya. Pria berkulit hitam berusia 60 tahun asal Ambon yang sudah 25 tahun lebih berjualan buku. Topi koboi berstiker burung Garuda selalu dipakainya. Tongkat dengan bendera merah putih berukuran kecil di ujungnya juga menjadi ciri khas pak Leo.Â
Mengagumkan, sehari ia mampu membaca lebih dari 5 buku sambil berjualan. Tak jarang buku-buku belajar bahasa asing dipinjamkan oleh pak Leo ini padaku. Banyak pengalaman berharga yang kudapatkan dari pria tua ini.