Kuingat saat ada seorang wanita yang mengusirku dari gerbang rumahnya yang mewah. Sikapnya sinis karena terganggu oleh kehadiranku.
 "Sana pergi, dasar orang gila," ucapnya dengan nada marah sambil menutup hidung seakan aku adalah seonggok bangkai yang menghalangi jalan masuk istana megahnya. Padahal aku sering mendengar pembicaraan orang-orang sekitar mengenai suaminya. Dia pejabat daerah namun bertindak curang terhadap jabatan yang telah diamanatkan padanya. Tidak tahu malu.
Seperti biasa aku tak menjawab. Hatiku bergumam, "Apa kau tak lebih gila, sekeluargamu bisa bangun rumah mewah ini karena suamimu makan dana bansos untuk korban bencana alam? Bukankah itu karena ambisimu untuk kaya sehingga memaksa suamimu mendekam di penjara setelah tertangkap KPK?" Aku hanya tersenyum pada wanita gila yang kujumpai pagi itu.
Kuingat lagi saat aku menuju 'kampus'. Seorang pria tua bergegas keluar dari mobil hitam sambil membetulkan resleting celananya kemudian menabrak bahu kananku saat berpapasan.Â
"Dasar orang gila, minggir kamu!" ucap si pria yang sudah berumur, dengan lantang ke depan wajahku sambil mendorong dada sampai tubuhku jatuh di samping trotoar.
"Bapak jahat!" terdengar suara dari balik jendela mobil itu. Suara seorang gadis yang berpakaian biru putih menangis tersedu keluar menyusul dari pintu belakang mobil. Dia memegang perutnya yang terasa sakit.
Tak lama, terdengar suara deru knalpot mobil bergegas pergi. Anak gadis itu ditinggal dan dia terus menangis di tepi jalan. Beberapa pria di sekitar lokasi kemudian ramai menghampirinya.
"Kamu kenapa, Dik?" tanya salah satu pemuda.
"Saya dipaksa, Bang,"
Penasaran si pemuda bertanya kembali, "Dipaksa apa?" Namun dia hanya terdiam.
"Udah, ayo bawa ke Polsek saja," teriak salah satu pria disana.