Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmaranya Membuncit

3 Agustus 2024   12:48 Diperbarui: 3 Agustus 2024   13:31 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh: Q. Hng Phm dari pexel.com

Bagi Kartoyo, berteman dengan buku lebih menyenangkan, karena buku-buku itu memberikannya banyak sekali pengetahuan tanpa mendiskriditkan sudut pandangnya yang kritis dan sedikit sumbang.

Sejak pemilik manik mata berwarna cokelat itu beradu tatap dengan Kartoyo, dia menjadi semakin sering menulis, dia tidak lagi membaca, dia ingin menceritakan kepada dunia betapa indah hari-harinya meskipun ditudungi oleh kejenuhan.

Pemilik wajah serupa bidadari itu berhasil membuat Kartoyo bersinar dengan kreatifitasnya, Kartoyo yang tidak dikenal, perlahan menjadi buah bibir di sekolahnya, karena beberapa kali memenangkan lomba menulis puisi.

Semua pencapaian itu karena seorang gadis manis bernama Yuna.

"Pagi Kartoyo..." ucap Yuna dengan senyum anggun yang terpancar dari wajah yang cantik.

Kartoyo melempar matanya, mengamati setiap detail dari wajah serupa bidadari itu, "Pa-Pa-Pagi Yuna." Perlahan biji mata Kartono bergurat merah, karena berusaha merekam paras cantik dengan senyum terindahnya ke dalam otaknya yang kumuh.

Jam dinding kusam yang tergantung dengan angkuh di atas meja piket pun ikut-ikutan menatap Yuna yang berjalan mendekatinya. Kumis panjangnya nampak lemas ketika Yuna melewatinya, andai saja jam dinding angkuh itu bisa menghentikan waktu, pasti dia ingin Yuna berlama-lama berdiri di hadapannya.

Sayangnya jam dinding angkuh itu hanya dapat menangkap momen indah itu beberapa menit saja sebelum Yuna melewati meja piket, paling kalau memang jam angkuh itu beruntung, Yuna datang terlambat sehingga dia bisa berlama-lama menatap senyum dengan bibir merah yang merekah.

"Hei, jam dinding yang angkuh... aku lebih beruntung dari kamu, aku dapat menatapnya setiap waktu," ujar Kartoyo sinis.

Sementara mereka berdua berseteru, punggung Yuna menjauh meninggalkan mereka berdua yang masih mematung.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun