Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmaranya Membuncit

3 Agustus 2024   12:48 Diperbarui: 3 Agustus 2024   13:31 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh: Q. Hng Phm dari pexel.com

SEJAK awal netra Kartoyo berjumpa dengan wajah lembut berbalut tudung warna pastel itu tidak dapat hilang dari pelupuk matanya. Pemilik paras serupa bidadari itu bernama Yuna.

Setiap hari Kartoyo berusaha sekuat tenaga mencuri waktu barang sekejap saja untuk menatapnya, merekam raut cantik Yuna lalu disimpannya rapat-rapat di dalam benaknya dari pagi hingga esok hari.

Bertahun-tahun, sejak awal Kartoyo duduk di bangku sekolah itu, dia sudah menyimpan perasaannya, tapi dia tidak ingin mengungkapkannya, dia takut akan kehilangan momen indah yang dilakukannya setiap pagi, tiap kali beradu tatap dengan Yuna.

Lagi pula Yuna sudah mempunyai seorang kekasih hati yang sering menjemputnya setiap sore. Tiap kali Yuna dijemputnya hati Kartoyo tercabik-cabik, Kartoyo selalu berkhayal suatu hari dia ingin mengayuh sepeda dengan membonceng Yuna.

"Bung... minggir sedikit, kau menghalangi jalanku!" teriak Wardi di belakangku sambil menyundulkan roda ban sepedanya.

Kartoyo terkejut, "Eh... maaf... maaf... Wardi."

Seketika pandangangan yang membuat hatinya terbakar api cemburu itu menjauh, Wardi telah merusak khayalan Kartoyo di sore yang suram yang penuh dengan awan-awan kelam bergelayut di hati Kartoyo.

Dengan perasaan kesal Kartoyo mengayuh sepedanya pulang.

***

"Assalamualaikum..." ucap Kartoyo setelah mencium punggung tangan ibunya.

"Kartoyo... sarapan dulu!" teriak ibunya dari dapur. Kartoyo langsung berlari meraih sepedanya, cepat-cepat dia kayuh sepeda butut itu menuju sekolah.

Dia tidak ingin kehilangan waktu yang selalu dia nanti-nantikan setiap pagi, menatap wajah serupa bidadari bertudung warna pastel dengan kaca mata bulat yang membalut wajah manisnya, wajah segar di pagi hari bagai kanvas yang masih basah dengan cat air.

Kartoyo juga ingin mengkap detik-detik mata cokelat milik Yuna sambil menyapa dengan kalimat "Pagi Kartoyo..."

Setelah bersusah payah Kartoyo mengayuh sepeda melewati berbagai rintangan sepanjang perjalanan menuju tempat menimba ilmu sekaligus asmaranya, tibalah dia di sekolah itu.

Lekas-lekas dia memakirkan sepedanya, lalu bergegas menuju gerbang sekolah, ditengoknya jam dinding kusam yang tergantung di atas meja guru piket yang senang mencatat dosa murid-murid yang datang terlambat.   

Jam dinding yang menjadi saksi bisu berbagai kisah di sekolah itu menatap Kartoyo sinis, karena kumis panjang jam dinding itu masih menunjukkan pukul enam lewat dua puluh pagi.

"Kamu kepagian Kartoyo!" Begitulah sepertinya kalimat yang meluncur dari mulut jam dinding mengejeknya.

Kartoyo tidak peduli dengan kumis panjang jam dinding yang mencemoohnya, dia tidak ingin kehilangan kesempatan yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, karena Kartoyo akan pergi meninggalkan sekolah itu, dia harus melangkah ke perguruan tinggi, mengejar mimpinya.

Belum lagi pagar karatan yang berdiri bagai serdadu tanpa senjata, barisan besi karatan itu menatap Kartoyo dengan ejekan yang halus namun menusuk kedalam kalbu. Mereka saling berbisik satu dengan lainnya, mentertawakan Kartoyo yang sedang menunggu Yuna di gerbang sekolah.

Meskipun Kartoyo tahu, dia tidak akan pernah mungkin dapat memiliki gadis yang bernama Yuna, setidaknya selama dia menempuh pendidikan di sekolah itu ada satu insan yang membuat harinya menjadi cerah seperti senja dengan tatapan hangatnya.

Kartoyo pun tahu betul, pemilik wajah serupa bidadari itu tidak akan pernah mungkin menaruh hati padanya. Kartoyo tidak seperti kekasih hatinya yang gagah, tampan, Kartoyo bukanlah laki-laki idaman, sehari-harinya hanya berteman dengan buku.

Bagi Kartoyo, berteman dengan buku lebih menyenangkan, karena buku-buku itu memberikannya banyak sekali pengetahuan tanpa mendiskriditkan sudut pandangnya yang kritis dan sedikit sumbang.

Sejak pemilik manik mata berwarna cokelat itu beradu tatap dengan Kartoyo, dia menjadi semakin sering menulis, dia tidak lagi membaca, dia ingin menceritakan kepada dunia betapa indah hari-harinya meskipun ditudungi oleh kejenuhan.

Pemilik wajah serupa bidadari itu berhasil membuat Kartoyo bersinar dengan kreatifitasnya, Kartoyo yang tidak dikenal, perlahan menjadi buah bibir di sekolahnya, karena beberapa kali memenangkan lomba menulis puisi.

Semua pencapaian itu karena seorang gadis manis bernama Yuna.

"Pagi Kartoyo..." ucap Yuna dengan senyum anggun yang terpancar dari wajah yang cantik.

Kartoyo melempar matanya, mengamati setiap detail dari wajah serupa bidadari itu, "Pa-Pa-Pagi Yuna." Perlahan biji mata Kartono bergurat merah, karena berusaha merekam paras cantik dengan senyum terindahnya ke dalam otaknya yang kumuh.

Jam dinding kusam yang tergantung dengan angkuh di atas meja piket pun ikut-ikutan menatap Yuna yang berjalan mendekatinya. Kumis panjangnya nampak lemas ketika Yuna melewatinya, andai saja jam dinding angkuh itu bisa menghentikan waktu, pasti dia ingin Yuna berlama-lama berdiri di hadapannya.

Sayangnya jam dinding angkuh itu hanya dapat menangkap momen indah itu beberapa menit saja sebelum Yuna melewati meja piket, paling kalau memang jam angkuh itu beruntung, Yuna datang terlambat sehingga dia bisa berlama-lama menatap senyum dengan bibir merah yang merekah.

"Hei, jam dinding yang angkuh... aku lebih beruntung dari kamu, aku dapat menatapnya setiap waktu," ujar Kartoyo sinis.

Sementara mereka berdua berseteru, punggung Yuna menjauh meninggalkan mereka berdua yang masih mematung.

***

"Yu-Yuna," panggilku.

"Ada apa Karto?" balas Yuna, dia menoleh ke arahku.

"A-aku... ingin memberikanmu ini," Aku menyodorkan sebuah kertas yang kulipat dan kurangkai dengan indah, di bawah kertas itu ada kaset.

"Apa ini, Karto?"

"Sesuatu yang indah untukmu, Yuna!" jawabku cepat, setelah itu aku lekas-lekas pergi menjauh dari raut wajahnya yang terlihat cantik itu.

Aku memberikannya kaset yang berisi rekaman puisi-puisi yang kurangkai dengan dentingan gitar, puisi-puisi yang mengekspresikan perasaanku padanya selama aku menimba ilmu di sekolah itu, gambaran yang terpatri dalam susunan kata menjadi cermin perasaanku.

Aku memberikan kaset itu karena beberapa hari yang lalu aku sudah dinyatakan lulus, aku tidak akan lagi bersitegang dengan jam dinding yang membuatku cemburu karena memandangi wajah cantik Yuna setiap pagi.

Aku juga tidak akan lagi mengejar waktu untuk bisa tiba lebih pagi sebelum pagar sekolah menyapanya, aku juga tidak akan lagi memakasa biji mataku untuk merekam rupa wajahnya dan kusimpan dari pagi hingga sore hari.

Kenangan-kenangan itu terbingkai dalam bait-bait puisi, setiap kata yang kutulis mengandung rasa rindu dengan keindahan yang tidak terucapkan. Dalam setiap dentingan gitar, aku mencoba menghadirkan kembali setiap momen manis yang pernah kita lalui. Kaset itu bukan sekadar kumpulan puisi, tapi sebuah perjalanan hati yang tidak ingin kulupakan.

Aku menyerahkan kaset itu padanya, berharap dia mengerti betapa berartinya setiap detik yang kulewatkan bersamanya. Aku tahu, meski masa sekolah telah usai, kenangan-kenangan itu akan tetap hidup dalam setiap bait puisi yang kutulis untuknya. Semoga dia akan selalu mengenangku, sebagaimana aku akan selalu mengenangnya.

***

Berbulan-bulan berlalu, asmaranya membuncit rindunya menggebu, Kartoyo kehilangan arah. Padahal mimpinya sudah dapat diraih, dia diterima di universitas impiannya.

Kartoyo rindu bersitegang dengan pagar sekolah karatan yang menyimpan jutaan kisah, dia juga rindu dengan jam dinding tua kusam yang selalu berkata jujur tentang waktu ketika bersamanya dan yang paling dirindukannya, Yuna.

Entah mengapa wajah serupa bidadari itu tidak dapat hilang dari pelupuk matanya, terukir abadi dalam ingatannya.

Setiap senyuman yang menghiasi bibirnya, setiap tatapan matanya yang lembut, selalu hadir menghiasi setiap mimpinya, menari-nari di balik kelopak mata yang terpejam.

Dia adalah bintang yang selalu bersinar terang di langit malam hati Kartoyo, memberikan cahaya di tengah kegelapan, dan menuntun langkah-langkahnya menuju harapan yang tidak pernah pudar. Rindu yang mendalam itu menyelinap dalam setiap hembusan napasnya, mengikat hati dan pikirannya dengan tali-tali kasih yang tak terlihat namun begitu kuat.

Perasaan yang sangat menyakitkan, dia ingin melepas semua perasaan itu.

"Pergi..." teriak Kartoyo.

Dia terbangun lalu teman-teman sekelasnya tertawa terbahak-bahak mendengar Kartoyo berteriak. Dia tertidur pulas pada saat pelajaran Fisika.

-Tamat-

Iqbal Muchtar  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun