Bagi Kartoyo, berteman dengan buku lebih menyenangkan, karena buku-buku itu memberikannya banyak sekali pengetahuan tanpa mendiskriditkan sudut pandangnya yang kritis dan sedikit sumbang.
Sejak pemilik manik mata berwarna cokelat itu beradu tatap dengan Kartoyo, dia menjadi semakin sering menulis, dia tidak lagi membaca, dia ingin menceritakan kepada dunia betapa indah hari-harinya meskipun ditudungi oleh kejenuhan.
Pemilik wajah serupa bidadari itu berhasil membuat Kartoyo bersinar dengan kreatifitasnya, Kartoyo yang tidak dikenal, perlahan menjadi buah bibir di sekolahnya, karena beberapa kali memenangkan lomba menulis puisi.
Semua pencapaian itu karena seorang gadis manis bernama Yuna.
"Pagi Kartoyo..." ucap Yuna dengan senyum anggun yang terpancar dari wajah yang cantik.
Kartoyo melempar matanya, mengamati setiap detail dari wajah serupa bidadari itu, "Pa-Pa-Pagi Yuna." Perlahan biji mata Kartono bergurat merah, karena berusaha merekam paras cantik dengan senyum terindahnya ke dalam otaknya yang kumuh.
Jam dinding kusam yang tergantung dengan angkuh di atas meja piket pun ikut-ikutan menatap Yuna yang berjalan mendekatinya. Kumis panjangnya nampak lemas ketika Yuna melewatinya, andai saja jam dinding angkuh itu bisa menghentikan waktu, pasti dia ingin Yuna berlama-lama berdiri di hadapannya.
Sayangnya jam dinding angkuh itu hanya dapat menangkap momen indah itu beberapa menit saja sebelum Yuna melewati meja piket, paling kalau memang jam angkuh itu beruntung, Yuna datang terlambat sehingga dia bisa berlama-lama menatap senyum dengan bibir merah yang merekah.
"Hei, jam dinding yang angkuh... aku lebih beruntung dari kamu, aku dapat menatapnya setiap waktu," ujar Kartoyo sinis.
Sementara mereka berdua berseteru, punggung Yuna menjauh meninggalkan mereka berdua yang masih mematung.
***