"Yu-Yuna," panggilku.
"Ada apa Karto?" balas Yuna, dia menoleh ke arahku.
"A-aku... ingin memberikanmu ini," Aku menyodorkan sebuah kertas yang kulipat dan kurangkai dengan indah, di bawah kertas itu ada kaset.
"Apa ini, Karto?"
"Sesuatu yang indah untukmu, Yuna!" jawabku cepat, setelah itu aku lekas-lekas pergi menjauh dari raut wajahnya yang terlihat cantik itu.
Aku memberikannya kaset yang berisi rekaman puisi-puisi yang kurangkai dengan dentingan gitar, puisi-puisi yang mengekspresikan perasaanku padanya selama aku menimba ilmu di sekolah itu, gambaran yang terpatri dalam susunan kata menjadi cermin perasaanku.
Aku memberikan kaset itu karena beberapa hari yang lalu aku sudah dinyatakan lulus, aku tidak akan lagi bersitegang dengan jam dinding yang membuatku cemburu karena memandangi wajah cantik Yuna setiap pagi.
Aku juga tidak akan lagi mengejar waktu untuk bisa tiba lebih pagi sebelum pagar sekolah menyapanya, aku juga tidak akan lagi memakasa biji mataku untuk merekam rupa wajahnya dan kusimpan dari pagi hingga sore hari.
Kenangan-kenangan itu terbingkai dalam bait-bait puisi, setiap kata yang kutulis mengandung rasa rindu dengan keindahan yang tidak terucapkan. Dalam setiap dentingan gitar, aku mencoba menghadirkan kembali setiap momen manis yang pernah kita lalui. Kaset itu bukan sekadar kumpulan puisi, tapi sebuah perjalanan hati yang tidak ingin kulupakan.
Aku menyerahkan kaset itu padanya, berharap dia mengerti betapa berartinya setiap detik yang kulewatkan bersamanya. Aku tahu, meski masa sekolah telah usai, kenangan-kenangan itu akan tetap hidup dalam setiap bait puisi yang kutulis untuknya. Semoga dia akan selalu mengenangku, sebagaimana aku akan selalu mengenangnya.
***