Berbulan-bulan berlalu, asmaranya membuncit rindunya menggebu, Kartoyo kehilangan arah. Padahal mimpinya sudah dapat diraih, dia diterima di universitas impiannya.
Kartoyo rindu bersitegang dengan pagar sekolah karatan yang menyimpan jutaan kisah, dia juga rindu dengan jam dinding tua kusam yang selalu berkata jujur tentang waktu ketika bersamanya dan yang paling dirindukannya, Yuna.
Entah mengapa wajah serupa bidadari itu tidak dapat hilang dari pelupuk matanya, terukir abadi dalam ingatannya.
Setiap senyuman yang menghiasi bibirnya, setiap tatapan matanya yang lembut, selalu hadir menghiasi setiap mimpinya, menari-nari di balik kelopak mata yang terpejam.
Dia adalah bintang yang selalu bersinar terang di langit malam hati Kartoyo, memberikan cahaya di tengah kegelapan, dan menuntun langkah-langkahnya menuju harapan yang tidak pernah pudar. Rindu yang mendalam itu menyelinap dalam setiap hembusan napasnya, mengikat hati dan pikirannya dengan tali-tali kasih yang tak terlihat namun begitu kuat.
Perasaan yang sangat menyakitkan, dia ingin melepas semua perasaan itu.
"Pergi..." teriak Kartoyo.
Dia terbangun lalu teman-teman sekelasnya tertawa terbahak-bahak mendengar Kartoyo berteriak. Dia tertidur pulas pada saat pelajaran Fisika.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H