"Kartoyo... sarapan dulu!" teriak ibunya dari dapur. Kartoyo langsung berlari meraih sepedanya, cepat-cepat dia kayuh sepeda butut itu menuju sekolah.
Dia tidak ingin kehilangan waktu yang selalu dia nanti-nantikan setiap pagi, menatap wajah serupa bidadari bertudung warna pastel dengan kaca mata bulat yang membalut wajah manisnya, wajah segar di pagi hari bagai kanvas yang masih basah dengan cat air.
Kartoyo juga ingin mengkap detik-detik mata cokelat milik Yuna sambil menyapa dengan kalimat "Pagi Kartoyo..."
Setelah bersusah payah Kartoyo mengayuh sepeda melewati berbagai rintangan sepanjang perjalanan menuju tempat menimba ilmu sekaligus asmaranya, tibalah dia di sekolah itu.
Lekas-lekas dia memakirkan sepedanya, lalu bergegas menuju gerbang sekolah, ditengoknya jam dinding kusam yang tergantung di atas meja guru piket yang senang mencatat dosa murid-murid yang datang terlambat. Â Â
Jam dinding yang menjadi saksi bisu berbagai kisah di sekolah itu menatap Kartoyo sinis, karena kumis panjang jam dinding itu masih menunjukkan pukul enam lewat dua puluh pagi.
"Kamu kepagian Kartoyo!" Begitulah sepertinya kalimat yang meluncur dari mulut jam dinding mengejeknya.
Kartoyo tidak peduli dengan kumis panjang jam dinding yang mencemoohnya, dia tidak ingin kehilangan kesempatan yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, karena Kartoyo akan pergi meninggalkan sekolah itu, dia harus melangkah ke perguruan tinggi, mengejar mimpinya.
Belum lagi pagar karatan yang berdiri bagai serdadu tanpa senjata, barisan besi karatan itu menatap Kartoyo dengan ejekan yang halus namun menusuk kedalam kalbu. Mereka saling berbisik satu dengan lainnya, mentertawakan Kartoyo yang sedang menunggu Yuna di gerbang sekolah.
Meskipun Kartoyo tahu, dia tidak akan pernah mungkin dapat memiliki gadis yang bernama Yuna, setidaknya selama dia menempuh pendidikan di sekolah itu ada satu insan yang membuat harinya menjadi cerah seperti senja dengan tatapan hangatnya.
Kartoyo pun tahu betul, pemilik wajah serupa bidadari itu tidak akan pernah mungkin menaruh hati padanya. Kartoyo tidak seperti kekasih hatinya yang gagah, tampan, Kartoyo bukanlah laki-laki idaman, sehari-harinya hanya berteman dengan buku.