“Tas saya hilang,” kataku pada petuga keamana itu.
“Baik, nanti bapak turun dengan saya di stasiun terdekat,” pintanya, aku menuruti sarannya, lalu aku menjalani serangkaian proses untuk pelaporan barang hilang.
Aku merasa kesal sekali, susah payah aku membuat tulisan agar hari ini bisa aku presentasikan agar dimoderasi lalu naik cetak ternyata harus menelan kenyataan yang pahit di pagi ini.
Langkahku gontai menuju kantor, kulirik jam tanganku sudah pukul 10: 05 rapat pagi pasti sudah berakhir, pikirku, percuma saja ke kantor yang ada hanya kena semprot. Di ujung rel aku lihat ada warung bubur kacang hijau, aku memutuskan singgah untuk menenangkan pikiranku.
“Kang … kopi Liong ada?”
“Ada.”
“Boleh, bang.” Aku langsung menuju meja paling ujung, langsung kubakar sebatang kretek, kuhisap dalam-dalam lalu kuhempaskan jauh-jauh, aku ingin membuang segala kesialanku bersama kepulan asap putih yang menari-nari di hapanku. Seorang pengemis tua datang menghampiriku, “Permisi pak.”
Aku langsung mengangkat tanganku, “Permisi pak.” Pengemis itu kembali mengatakan kalimat itu.
“Maaf ya pak,” kataku menolaknya sopan.
“Permisi pak, saya dari tadi perhatiin bapak, mukanya kusut, ada apa?” tanyanya.
Aku baru saja kehilangan laptop, dan sekarang dihadapanku ada orang asing yang modusnya ingin menipuku. “Engak ada apa-apa pak,” kataku sambil mengeluarkan uang dua ribu.