Di hamparan horison, matahari perlahan meredup, melukis langit dengan gradasi warna yang lembut, dari oranye yang gemerlap berangsur memudar menjadi ungu pekat yang sangat dalam. Saat waktu beranjak, bintang-bintang pun menari indah satu per satu, menghiasi langit dengan kilauan cahaya yang memikat.
Tuts keyboard dari laptop, masih terus kuhantam dengan jari-jariku, menghasilkan serangkaian melodi tanpa nada yang menggetarkan ruangan ini, sementara kepulan asap pekat dari balutan sentuhan kretek menyelimuti sekeliling, membuatku hanyut dalam harmoni asap dan nada yang menyatu, menciptakan dunia yang tak terbatas di antara imajinasi dan aroma yang menguar.
“Bang, udah jam satu, masih aja nulis?” tanya istriku yang terjaga di tengah lelapnya.
“Besok harus naik cetak, Dek.” Aku hanya membalas tanpa menatapnya. Aku tidak ingin terusik ketika aliran deras imajinasiku sedang membanjiri endorfin di dalam otakku.
“Abang laper gak? Mau aku buatin camilan?”
“Enggak,” ucapku, aku masih tidak menantapnya.
Aku kembali meneruskan kegiatanku yang ditemani oleh simphoni dari binatang malam.
***
“Bang … Bang …” Istriku menggoyang-goyangkan tubuhku membangunkanku. “Bang, dari tadi alarmnya bunyi,” lanjutnya. Langusng kusambar ponselku, sudah pukul 5:10, kepalaku masih pening karena hampir semalaman aku mengejar tulisan yang sedang dikejar tengat waktu, aku harus segera mandi lalu bergegas ke kantor, meskipun dalam kondisi setengah sempoyongan.
“Bang, sarapan dulu,” teriak istriku dari dapur ketika ia melihatku sudah rapi dan siap untuk berangkat kerja.
“Abang buru-buru, Dek.” Aku setengah berlari menuju pintu depan, aku sedang mengejar KRL komuter line yang akan mengantarku menuju tempatku mencari nafkah di Jakarta Pusat. Aku bekerja di sebuah media yang terbit mingguan.
“Hati-hati di jalan,” teriak istriku. Aku tidak membalas kalimat itu, aku sedang mengejar waktu agar dapat mengejar jadwal keberangkatan KRL yang tepat pukul 06:10, KRL pada saat jadwal itu agak lengang, apa lagi hari ini senin, semua orang akan berangkat lebih pagi dari hari biasanya.
***
Akhirnya aku tiba di stasiun tepat pada waktunya, tak lama menunggu KRL yang akan mengantarkanku ke kantor tiba, penumpang KRL hari cukup padat, terpaksa aku harus berjuang bersama penumpang lainnya agar dapak masuk kedalam KRL yang sudah sesak.
Karena aku membawa laptop, aku tidak ingin laptopku rusak karena terhimpit oleh lautan manusia yang berjubel di dalam rangkaian gerbong KRL, terpaksa harus kulepas lalu kuletakkan di rak yang berbaris panjang di atas tempat duduk penumpang di dalam rangkaian gerbong yang padat penumpang itu.
Aku berdiri persis di depan tas laptopku, sambil menunggu dengan sabar rangkaian KRL komuter line ini mengantarku dengan selamat. Karena semalamaman aku kurang tidur, meskipun aku berdiri rasa kantuk di mataku tidak dapat kutahan, kupejamkan saja mataku sebentar, pikirku, aku tidak akan jatuh di antara lautan manusia yang berdesakkan di dalam gerbong ini, kumasukkan pergelangan tanganku kedalam lubang pegangan tangan yang tergantung, Dalam sekejap, aku terhanyut dalam irama kehidupan yang berlalu dengan gemuruh, bersamaan dengan hentakan langkah dan bisikan percakapan di dalam buaian rangkaian KRL yang penuh dengan manusia.
***
Aku mendengar informasi yang mengatakan rangkaian yang kutumpangi hampir tiba di stasiun tujuan, karena aku harus berpindah rangkaian, kutegakkan kepalaku bola mataku mencari tas laptop yang kuletakkan tepat di hadapanku. “Tas gue ilang, tas gue ilang,” teriakku panik, aku benar-benar panik, karena pagi ini aku harus presentasikan tulisanku sebelum naik cetak.
“Kenapa bang?” tanya penumpang lainnya.
“Tas saya di atas ini ilang,” balasku.
Tak lama seorang petugas keamanan datang menghampiriku. “Ada apa pak?” tanyanya, semua mata tertuju padaku di dalam gerbong itu.
“Tas saya hilang,” kataku pada petuga keamana itu.
“Baik, nanti bapak turun dengan saya di stasiun terdekat,” pintanya, aku menuruti sarannya, lalu aku menjalani serangkaian proses untuk pelaporan barang hilang.
Aku merasa kesal sekali, susah payah aku membuat tulisan agar hari ini bisa aku presentasikan agar dimoderasi lalu naik cetak ternyata harus menelan kenyataan yang pahit di pagi ini.
Langkahku gontai menuju kantor, kulirik jam tanganku sudah pukul 10: 05 rapat pagi pasti sudah berakhir, pikirku, percuma saja ke kantor yang ada hanya kena semprot. Di ujung rel aku lihat ada warung bubur kacang hijau, aku memutuskan singgah untuk menenangkan pikiranku.
“Kang … kopi Liong ada?”
“Ada.”
“Boleh, bang.” Aku langsung menuju meja paling ujung, langsung kubakar sebatang kretek, kuhisap dalam-dalam lalu kuhempaskan jauh-jauh, aku ingin membuang segala kesialanku bersama kepulan asap putih yang menari-nari di hapanku. Seorang pengemis tua datang menghampiriku, “Permisi pak.”
Aku langsung mengangkat tanganku, “Permisi pak.” Pengemis itu kembali mengatakan kalimat itu.
“Maaf ya pak,” kataku menolaknya sopan.
“Permisi pak, saya dari tadi perhatiin bapak, mukanya kusut, ada apa?” tanyanya.
Aku baru saja kehilangan laptop, dan sekarang dihadapanku ada orang asing yang modusnya ingin menipuku. “Engak ada apa-apa pak,” kataku sambil mengeluarkan uang dua ribu.
“Saya tidak minta uang, saya ingin bantu …” Pengemis tua itu menatapku. “Bapak kehilangan tas yang isinya laptop kan?”
Mataku terbelalak mendengar ucapan pengemis tua itu, “Bapak yang ambil laptop saya?” tuduhku.
“Bukan, saya hanya senang bantu orang, bapak mau saya bantu?”
Mendengar itu aku berada dipersimpangan antara mempercayainya atau tidak, “Bapak bisa bantu saya apa?”
Pengemis itu tersenyum, “Tunggu di sini, sebentar saja.” Ia pergi setelah mengatakan itu. Hari ini sangat tidak bersahabat denganku, mana mungkin seorang pengemis bisa mengembalikan tas yang berisi laptop.
Kulirik jam tangan pukul 10:50, sebaiknya aku beranjak dari sini sebelum persahabatanku dengan hari semakin berantakan. “Pak, apakah ini tas bapak,” suara dari pengemis tua yang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Tas hitam itu memang mirip persis seperti tas yang kupunya, beserta jahitan di bagian kompartemen depan yang kutambal dengan bordiran kepala tengkorak.
“Ini tas saya,” teriakku.
“Apa lapotop ini punya bapak?” tanyanya sambil mengeluarkan isi dalam tas itu.
Laptop berwarna hitam sangat bagus sekali, terlihat seperti laptop gaming. “Bukan, itu bukan punya saya.”
“Tunggu di sini, jangan pergi, saya titip tas dengan laptopnya.” Pengemis itu segera pergi.
Selang beberapa menit ia sudah menunjukan batang hidungnya. “Nah, kalau yang ini punya bapak?”
“Bukan,” kataku, laptop hitam bukan laptop gaming tapi laptop itu terlihat mahal.
“Tunggu di sini, jangan pergi, saya titip tas dengan laptopnya.” Pengemis itu segera pergi. Sudah dua tas dan laptop di depanku.
Hanya beberapa detik, pengemis itu sudah berada di depanku, “Kalau yang ini laptop, bapak? Tapi saya tidak yakin, karena jelek sekali laptop ini,” katanya sambil menyodorkannya.
“Iya, ini laptop saya.” Mataku berbinar, aku tahu persis detail laptopku, biar usang begini sudah ribuan artikel yang kutulis. “Terima kasih pak,” kataku sambil memberikannya selembar uang seratus ribu, namun ia menolaknya, kutambah seratus ribu lagi, ia tetap saja menolaknya. Ia mengaku dikirim tuhan untuk membantuku hari ini.
“Karena bapak orang yang jujur, saya berikan tiga laptop ini.” Ia segera memunggungiku, meninggalkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang telah aku alami.
Aku memilih untuk pulang, aku ingin menceritakan kejadian ini pada istriku.
***
Setibanya di rumah, aku tidak mendapati istriku, kutelepon tidak ada nada dering, kutanya tetangga pun tidak ada yang tahu, sepucuk surat pun tidak aku dapati. Aku tidak mungkin menelepon kakaknya, bisa habis aku di marahi, tapi aku khawatir, takut terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan.
Malam merayap pergi, serupa dengan lembaran waktu sebelumnya, namun kali ini, aku meratapinya sendiri di tengah sepi yang melingkupiku.
Kulirik jam tanganku pukul 10:15 malam, masih saja tidak ada kabar, aku mulai gelisah, kukeluarkan motorku, aku akan berkeliling mencarinya. Satu jam sudah aku berkeliling tanpa arah dan tujuan, di depanku ada sebuah warung bubur kacang hijau, kuputuskan untuk singgah.
“Kang kopi liong,” pintaku, langsung aku menuju bangku paling ujung.
“Iya,” balasnya.
Ketika aku akan menghisap rokok kretekku, pengemis tua itu mucul kembali dihadapanku. “Bapak lagi ada masalah?” katanya.
“Kenapa bapak ada di sini?” tanyaku.
“Istri bapak tidak ada di rumah, kan?” ia belum memnjawab pertanyaanku, malah ia balik bertanya.
“Mau saya bantu?” tanyanya.
“Tunggu pak,” kataku segera menyambar tangannya, untuk menghentikan langkahnya.
“Saya enggak lama kok.”
“Maaf pak, saya enggak usah dibantu,” ucapku sambil memohon.
“Kenapa? Kalau enggak mau di bantu kenapa sedih?”
“Saya sangat mencintai istri saya, tapi saya takut kalau dibantu bapak, nanti bapak akan beri saya tiga wanita yang sangat cantik, lalu wanita cantik baru kemudian istri saya, meskipun istri saya tidak cantik tapi saya mencintainya sepenuh hati, saya tidak ingin membagi cinta saya pada wanita lain.” Pengemis itu tersenyum.
“Baiklah pejamkan matamu, hitung sampai tiga, lalu buka,” perintahnya. Aku menuruti apa yang diperintahkannya.
“Satu … Dua … Tiga.” Aku terkejut, aku sedang berada di sebuah ruangan serba putih, berdiri disampingku seorang laki-laki tua, wajahnya persis seperti pengemis tadi. “Saya dimana?”
“Di rumah sakit jiwa.”
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H