Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Isnin di Tanah Jawa

21 November 2023   08:08 Diperbarui: 21 November 2023   08:20 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KAU tidak senang dengan Isnin, membuat kau berang, tapi kau masih saja bergumul mesra dengan Isnin sejak awal hingga ia berlalu bahkan kau pun tak sadar sudah menghabiskan waktu bersamanya. Terpaksa, itu kata kau. Mestinya kau dengar nasihat Mamak kau itu, kalau kau tak senang dengan Isnin, janganlah kau pilih baju berdasi, biarlah berkaus kutang, asal kau bebas dari belenggu Isnin yang tiap minggu mengejar-ngejar, bagai di kejar Harimau jadi-jadian di hutan di atas bukit kau itu.

Lalu, kau hisap dalam-dalam rokok kretek yang baru saja kau bakar, asapnya mengepul menghalangi pandangan Mamak yang sedang menatap kau tajam. Pinggan ceper yang hampir penuh dengan putung yang sudah tergeletak layu, sepertinya akan terus kau tambah, tengoklah abu rokok kau bertebaran di atas pinggan.

“Bagaimana, Apa pendapat kau?” tanya Mamak memaksa.

“Ambo ini Sarjana Muda, Mak.”

Kau buat Mamak berang, dengan alasan yang tidak masuk akalnya. Mamak kau bukan pemberang, hanya saja tidak boleh ada yang membantah titahnya. Kau sudah tahu watak Mamak kau, jangan kan kau anak baru kemarin sore, Datuk Tan Majo Lelo pun tak mampu berkata-kata di hadapannya.

“O, Dah pandai menjawab kau rupanya. Dah pandai mengkritik, begini rupanya Sarjana Muda?”

Kau menunduk bak seekor kucing yang kehujanan, meringkuk, kau tekuk pundak kau yang kurus itu merapat dengan paru-paru kau yang penuh dengan asap dari tembakau keretek.

Kau nampak sangat ketakutan, kata-kata Mamak memasuki pikiran kau, dunia pun menyempit, dan udara terasa kental dengan kegelapan. Napas kau menjadi terasa berat, denyut jantung berpacu berusaha melarikan diri dari sesuatu yang tidak terlihat. Mata kau yang membulat dan tatapan yang terpaku menatap lantai, mencerminkan keadaan hati kau yang terjebak dalam kegelisahan.

Berat nampaknya kepala kau itu, tapi kau tetap berusaha untuk mengangkatnya.

“Maaf Mamak … Ambo hendak merantau ke tanah Jawa.” Kau tak mampu menatap mata Mamak yang terbelalak.

“Mande dan juga Ayah kau itu banting tulang, dari pagi hingga petang, agar kau bisa pergi ke sekolah dengan tenang, sudah lepas kau dari sekolah itu, dapat kau gelar, tak lagi kau dengar kata-kata Mande dan Ayah kau yang sudah berjuang!”

“Bukan begitu Mamak.”

“BRAK!”

“PRANK!”

Kau buat Mamak murka, sejadi-jadinya. Kau buat Mamak memukul meja yang sudah lapuk karena panas dan hujan yang terpajang bertahun-tahun di pelataran depan rumah Inyiak, pinggan ceper yang sudah dipenuhi puntung kretek pun terpental, lalu pecah.

***

AKU menatap ajo Eri, kakak laki-laki tertua, ia Mamak untuk anak laki-lakiku, anak dipangku kemenakan dibimbing, begitulah petuah adat kami. Ajo Eri memang sering membimbingnya, namun kali ini sudah keterlaluan.

“CUKUP!” teriakku, manik mataku menyorot tajam ke wajah ajo Eri.

Aku tidak terima anak laki-lakiku dibentaknya, susah payah aku membesarkannya, mencari uang dengan berjualan Sate dengan Sala Lauk di pasar untuk membiayai sekolahnya, hingga ia lulus dengan menyandang gelar Sarjana Muda.

“Cukup,” kataku melunak.

“Anak jo mande samo, kalian berdua sama keras kepalanya,” celoteh ajo Eri mengejek.

“Ajo, biarlah si Basri ini merantau, biarlah terpakai ilmu yang dipelajarinya.”

“Ajo indak pernah melarang, Ajo dah bilang sama anak ini, kalau dia pergi ke Jawa lantas siapa yang akan urus semua ini?” balasnya sambil menunjuk ladang tebu dan sawah yang terhampar.

“Si Et?”

“Kau pikir, di mana dia?” balasnya langsung menyambar, “Sejak dia pergi ke tanah Jawa, kabarnya pun tak pernah kita dengar.” Ajo Eri memang tidak pernah di kirimi surat oleh Eti, anak sulung ajo Eri, dia kabur dengan seorang laki-laki yang dicintainya, laki-laki dari tanah Jawa.

“Ajo terlalu keras sama si Et, itu sebabnya dia indak pernah mengabari ajo Eri. Si Et dah menikah dengan Joko bulan kemarin.”

“ANAK DURHAKA!” Ia berdiri, meninggalkanku yang sedang terperangah karena teriakannya.

“Ajo… Ajo Eri,” teriakku sambil mengejarnya, ia segera mengayuh sepeda unta pemberian Inyiak Konsan.

Aku rasa, ia segera pulang untuk mengabari uni En, karena anaknya sudah menikah dengan Joko tanpa sepengetahuannya, ajo Eri tidak pernah setuju dengan hubungan mereka, pastinya ajo Eri akan marah besar dengan uni En, tapi itu bukan salahnya, ajo Eri terlalu kaku, terlau keras mendidik anak perempuan satu-satunya itu.

Pastilah habis uni En di marahi ajo Eri, tinggal menunggu saja uni En akan meluapkan semua isi hatinya padaku, mungkin lusa, atau mungkin nanti selepas Isya.

***

KAMI orang Minang dengan harga diri yang tinggi, pantang terhimpit, pantang terkurung, bila terhimpit kami ingin di atas, pun bila terkurung kami ingin di luar. Kami hanya ingin mempertahankan adat istiadat kami agar tidak hilang di libas dunia barat yang merangsek perlahan menggerus mental anak-anak muda kami.

Di tanah Jawa itu lah pusatnya, mereka saling berjumpa, menyapa lalu mereka lupa. Ada yang lupa dengan anaknya, ada juga yang lupa dengan sanaknya, ada juga yang lupa dengan pasangan hidupnya, tapi ada yang lebih parah, kami tak mau itu terjadi, lupa dengan Tuhannya.

“Ilmu agama ambo, rasanya dah cukup untuk pergi merantau ke tanah Jawa, Ayah,” ucap Basri.

“Kami hanya indak mau melihat kau merana di tanah Jawa itu.”

“Mas Joko, suami uni Eti memberikan ambo pekerjaan di tanah Jawa, di sebuah surat kabar, ambo dimintanya untuk jadi penulis kolom opini.”

“Kami memang miskin, pantang bagi kami menggadaikan adat, apa lagi agama.”

“Petuah ayah selalu ambo pegang.”

“Besok pagi pergilah kau ke Kota Padang, setelah tiba langsung kau bertolak menuju pelabuhan Teluk Bayur, belilah tiket langsung ke Jawa, ini … ada sedikit untuk bekal kau di sana.”

***

KAU menatap ayahmu yang sudah tua renta dengan penuh haru, rasa bahagia terpancar dari bola mata kau yang berpendar seperti baru saja mendapat lotre.

Kau masih saja memilih Isnin, meskipun kau tidak menyukainya, kau pilih kemeja dengan dasi ketimbang kaus kutang dengan sarung. Asal kau tahu Isnin itu sangat di senangi oleh Sutan Imam, pengurus surau itu, wajahnya selalu berseri-seri bila mendengar kata Isnin, begitu pula Datuk Parpatih nan Sabatang, belum lagi tiba Isnin tapi dah tersenyum ketika lepas Isya.  

Sementara kau, jauh lagi Isnin tiba, raut kau seperti badai, hitam legam, berkecamuk antara petir dan awan-awan yang menggulung di antara hujan, semakin malam semakin kusam wajah kau, tambah lagi ayam berkokok, bersungut-sungut kau dibuatnya.

Mungkin kau akan berubah ketika kau di tanah Jawa, karena kau sudah punya tanggung jawab sebagai penulis di kolom itu, mungkin kau tak berdasi hanya kemeja, atau mungkin saja kau berkaus kutang tanpa sarung.

Kau akan pergi besok pagi-pagi, tak perlu lagi kau tengok kebelakang, langkau kau itu sudah diberkati.

***

TUJUH BULAN, ajo Eri sudah tidak lagi mempermasalahkan apa yang sudah menjadi titahnya.

Kring.” Bel dari sepeda pengantar surat yang sudah lama sekali ditunggu-tunggunya berdiri di depan rumah, pagi-pagi sekali.

“Uni Ta, ada surat dari Jakarta,” teriak uda Arifin dari kejauhan. Yurnita segera berlari dari dapur menuju teras rumahnya untuk mengambil surat itu.

“Siapa pengirimnya, Uda?” tanya Yurnita penasaran.

“Eti,” jawabnya.

“Pos kilat ini uni, sepertinya berita penting.”

Yurnita mengharapkan surat itu dari Basri anak laki-laki harapannya, namun surat itu tak kunjung tiba, dengan rasa penasaran ia segera merobek surat itu.

Beberapa saat setelah membaca lembar demi lembar, air matanya menetes, merayap melewati garis-garis usia di wajahnya bagai jejak-jejak sejarah yang tercatat dengan jelas. Setiap tetesnya membawa cerita, mengisahkan kilas balik akan momen-momen yang membuatnya terluka, matanya memancarkan kepedihan, buliran kecewa yang menggantung pada aliran emosi yang mengalir dalam dirinya.

“Anak kita,” kata Yurnita dengan deraian air mata ketika ayah Basri baru saja pulang dari surau, biasanya setelah shalat Subuh ia menunggu hingga waktu Duha tiba setelah itu baru ia pulang. Hari itu ia sedang puasa Isnin, badannya tak enak, matahari pun baru saja bertengger ia sudah pulang. Ia mendapati Yurnita yang sedang terpaku dengan tatapan hampa. 

“Basri, kenapa dia?”

“Dia menulis terlalu tajam mengkritik pemerintah, tiga hari ia menghilang, seorang pemulung menemukan jasadnya di pasar senen.”

Hasan Basri telah pergi meninggalkan semua impiannya di tanah Jawa, Isnin minggu kemarin.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun