“Ajo, biarlah si Basri ini merantau, biarlah terpakai ilmu yang dipelajarinya.”
“Ajo indak pernah melarang, Ajo dah bilang sama anak ini, kalau dia pergi ke Jawa lantas siapa yang akan urus semua ini?” balasnya sambil menunjuk ladang tebu dan sawah yang terhampar.
“Si Et?”
“Kau pikir, di mana dia?” balasnya langsung menyambar, “Sejak dia pergi ke tanah Jawa, kabarnya pun tak pernah kita dengar.” Ajo Eri memang tidak pernah di kirimi surat oleh Eti, anak sulung ajo Eri, dia kabur dengan seorang laki-laki yang dicintainya, laki-laki dari tanah Jawa.
“Ajo terlalu keras sama si Et, itu sebabnya dia indak pernah mengabari ajo Eri. Si Et dah menikah dengan Joko bulan kemarin.”
“ANAK DURHAKA!” Ia berdiri, meninggalkanku yang sedang terperangah karena teriakannya.
“Ajo… Ajo Eri,” teriakku sambil mengejarnya, ia segera mengayuh sepeda unta pemberian Inyiak Konsan.
Aku rasa, ia segera pulang untuk mengabari uni En, karena anaknya sudah menikah dengan Joko tanpa sepengetahuannya, ajo Eri tidak pernah setuju dengan hubungan mereka, pastinya ajo Eri akan marah besar dengan uni En, tapi itu bukan salahnya, ajo Eri terlalu kaku, terlau keras mendidik anak perempuan satu-satunya itu.
Pastilah habis uni En di marahi ajo Eri, tinggal menunggu saja uni En akan meluapkan semua isi hatinya padaku, mungkin lusa, atau mungkin nanti selepas Isya.
***
KAMI orang Minang dengan harga diri yang tinggi, pantang terhimpit, pantang terkurung, bila terhimpit kami ingin di atas, pun bila terkurung kami ingin di luar. Kami hanya ingin mempertahankan adat istiadat kami agar tidak hilang di libas dunia barat yang merangsek perlahan menggerus mental anak-anak muda kami.