KAU tidak senang dengan Isnin, membuat kau berang, tapi kau masih saja bergumul mesra dengan Isnin sejak awal hingga ia berlalu bahkan kau pun tak sadar sudah menghabiskan waktu bersamanya. Terpaksa, itu kata kau. Mestinya kau dengar nasihat Mamak kau itu, kalau kau tak senang dengan Isnin, janganlah kau pilih baju berdasi, biarlah berkaus kutang, asal kau bebas dari belenggu Isnin yang tiap minggu mengejar-ngejar, bagai di kejar Harimau jadi-jadian di hutan di atas bukit kau itu.
Lalu, kau hisap dalam-dalam rokok kretek yang baru saja kau bakar, asapnya mengepul menghalangi pandangan Mamak yang sedang menatap kau tajam. Pinggan ceper yang hampir penuh dengan putung yang sudah tergeletak layu, sepertinya akan terus kau tambah, tengoklah abu rokok kau bertebaran di atas pinggan.
“Bagaimana, Apa pendapat kau?” tanya Mamak memaksa.
“Ambo ini Sarjana Muda, Mak.”
Kau buat Mamak berang, dengan alasan yang tidak masuk akalnya. Mamak kau bukan pemberang, hanya saja tidak boleh ada yang membantah titahnya. Kau sudah tahu watak Mamak kau, jangan kan kau anak baru kemarin sore, Datuk Tan Majo Lelo pun tak mampu berkata-kata di hadapannya.
“O, Dah pandai menjawab kau rupanya. Dah pandai mengkritik, begini rupanya Sarjana Muda?”
Kau menunduk bak seekor kucing yang kehujanan, meringkuk, kau tekuk pundak kau yang kurus itu merapat dengan paru-paru kau yang penuh dengan asap dari tembakau keretek.
Kau nampak sangat ketakutan, kata-kata Mamak memasuki pikiran kau, dunia pun menyempit, dan udara terasa kental dengan kegelapan. Napas kau menjadi terasa berat, denyut jantung berpacu berusaha melarikan diri dari sesuatu yang tidak terlihat. Mata kau yang membulat dan tatapan yang terpaku menatap lantai, mencerminkan keadaan hati kau yang terjebak dalam kegelisahan.
Berat nampaknya kepala kau itu, tapi kau tetap berusaha untuk mengangkatnya.
“Maaf Mamak … Ambo hendak merantau ke tanah Jawa.” Kau tak mampu menatap mata Mamak yang terbelalak.