“Mande dan juga Ayah kau itu banting tulang, dari pagi hingga petang, agar kau bisa pergi ke sekolah dengan tenang, sudah lepas kau dari sekolah itu, dapat kau gelar, tak lagi kau dengar kata-kata Mande dan Ayah kau yang sudah berjuang!”
“Bukan begitu Mamak.”
“BRAK!”
“PRANK!”
Kau buat Mamak murka, sejadi-jadinya. Kau buat Mamak memukul meja yang sudah lapuk karena panas dan hujan yang terpajang bertahun-tahun di pelataran depan rumah Inyiak, pinggan ceper yang sudah dipenuhi puntung kretek pun terpental, lalu pecah.
***
AKU menatap ajo Eri, kakak laki-laki tertua, ia Mamak untuk anak laki-lakiku, anak dipangku kemenakan dibimbing, begitulah petuah adat kami. Ajo Eri memang sering membimbingnya, namun kali ini sudah keterlaluan.
“CUKUP!” teriakku, manik mataku menyorot tajam ke wajah ajo Eri.
Aku tidak terima anak laki-lakiku dibentaknya, susah payah aku membesarkannya, mencari uang dengan berjualan Sate dengan Sala Lauk di pasar untuk membiayai sekolahnya, hingga ia lulus dengan menyandang gelar Sarjana Muda.
“Cukup,” kataku melunak.
“Anak jo mande samo, kalian berdua sama keras kepalanya,” celoteh ajo Eri mengejek.