Mungkin kau akan berubah ketika kau di tanah Jawa, karena kau sudah punya tanggung jawab sebagai penulis di kolom itu, mungkin kau tak berdasi hanya kemeja, atau mungkin saja kau berkaus kutang tanpa sarung.
Kau akan pergi besok pagi-pagi, tak perlu lagi kau tengok kebelakang, langkau kau itu sudah diberkati.
***
TUJUH BULAN, ajo Eri sudah tidak lagi mempermasalahkan apa yang sudah menjadi titahnya.
“Kring.” Bel dari sepeda pengantar surat yang sudah lama sekali ditunggu-tunggunya berdiri di depan rumah, pagi-pagi sekali.
“Uni Ta, ada surat dari Jakarta,” teriak uda Arifin dari kejauhan. Yurnita segera berlari dari dapur menuju teras rumahnya untuk mengambil surat itu.
“Siapa pengirimnya, Uda?” tanya Yurnita penasaran.
“Eti,” jawabnya.
“Pos kilat ini uni, sepertinya berita penting.”
Yurnita mengharapkan surat itu dari Basri anak laki-laki harapannya, namun surat itu tak kunjung tiba, dengan rasa penasaran ia segera merobek surat itu.
Beberapa saat setelah membaca lembar demi lembar, air matanya menetes, merayap melewati garis-garis usia di wajahnya bagai jejak-jejak sejarah yang tercatat dengan jelas. Setiap tetesnya membawa cerita, mengisahkan kilas balik akan momen-momen yang membuatnya terluka, matanya memancarkan kepedihan, buliran kecewa yang menggantung pada aliran emosi yang mengalir dalam dirinya.