Langit senja di Paris sangat jauh berbeda, sambil menatap awan yang sedang berkejaran di langit yang masih saja biru ketika senja, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Hayati. Aku berharap dia bisa mengerti dengan masalah yang sedang aku hadapi saat ini. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Dia marah besar dan juga kecewa denganku.
“Kamu…” Hayati menunjuk wajahku, “Selama ini kamu berbohong kepadaku,” bentaknya.
“Hayati, dengar biar aku jelaskan semuanya,” pintaku sambil menarik tangannya, Ia menghempaskan tanganku.
“Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu, semua mimpi-mimpi kita, tujuan kita setelah ini ternyata hanya bualan dan omong kosong,” teriaknya dihadapanku, aku tidak bisa berkata apa-apa, aku memang salah, aku dalam situasi yang sulit.
“Hayati, tolong… maafkan aku,” kataku memohon, “Aku mencitaimu Hayati.”
“Tidak.. kamu tidak mencintaiku, kamu hanya memanfaatkanku.”
Aku marah ketika ia mengatakan itu. Aku tidak bisa menerima ucapannya. Aku merasa bahwa dia memang tidak peduli dengan perasaanku saat ini.
Kami berdua bertengkar, tidak ada yang mau mengalah. Kami akhirnya putus dengan meninggalkan perasaan sakit hati yang sangat mendalam.
***
Aku pulang ke Bandung dengan hati yang hancur, kutemui ayah yang sedang berbaring lemah di rumah sakit. Ayahku tersenyum melihatku, ia memelukku sangat erat.
“Kamu pulang, Nak,” ucapnya dengan suara parau. Mataku basah melihat kondisnya saat ini.