Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Restoran Masakan Padang, Minang Sepakat

18 Oktober 2023   08:08 Diperbarui: 18 Oktober 2023   08:30 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh Rafli dari pexel.com

“Minang Sepakat,” teriakku penuh semangat.

“Mm.. nama yang unik,” balas Hayati, “Sepakat,” lanjutnya sambil menyalamiku.

“Dua hari lagi … grand opening-nya,” kataku kepada Hayati yang masih menatap sebuah toko yang akan menjadi restoran masakan Padang untuk kukelola di Bandung.

“Gulai Kepala Kakap di meja tiga,” teriak Hayati yang sedang berakting seolah ia sedang melayani pelanggan yang datang ke restoran itu, “Tambuah ciek,” lanjutnya sambil tertawa meledekku.

Seketika kami terdiam, mata kami bertautan, saling menatap dengan perasaan haru. Terlintas di pikiranku, tiga tahun yang lalu saat semuanya terasa sangat sulit untuk di hadapi, semua terlihat mustahil untuk dilalui. Hayati hadir mengiringi perjalananku melewati kerikil di jalan yang terjal.

***

Aku selalu bermimpi menjadi seorang Chef profesional. Aku suka memasak sejak kecil, aku sering menonton acara kuliner di televisi. Aku terpesona dengan berbagai macam masakan dari seluruh dunia, dan aku ingin belajar lebih banyak tentang seni memasak.

Namun, keluargaku tidak pernah mendukungku. Mereka menganggap bahwa memasak itu pekerjaan wanita, pekerjaan itu tidak pantas untuk seorang pria. Apalagi, keluarga besarku adalah keluarga dokter yang terkenal di Bandung. Ayahku, ibuku, kakakku, dan paman-pamanku semuanya adalah dokter yang terkenal juga sukses. Mereka berharap aku mengikuti jejak mereka menjadi dokter juga.

Aku tidak pernah mempunyai keberanian mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak tertarik dengan dunia kedokteran. Aku hanya menuruti keinginan mereka lalu masuk ke fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta. Aku berpura-pura belajar dengan rajin, padahal aku lebih sering menghabiskan waktuku di dapur ketimbang di perpustakaan, atau membantu  ibu kos membuat makanan untuk usaha cateringnya.

***

“Hardi…” teriak Bambang di depan kamar kosku.

“Hardi…” panggilnya sambil mengetuk pintu kamarku kasar.

“Apaan sih, berisik tau,” bentakku di bibir pintu kamar karena ulahnya.

“Hei.. lihat ini, lihat.” Ia menunjukan sebuah poster.

“Ah… apaan sih, bangunin gue cuma buat hal yang gak penting,” ucapku semakin marah, sambil mendorongnya keluar. Aku ingin kembali menutup pintu kamar dan melanjutkan tidurku. “Lu tahu kan ini jam berapa?”

“Liat,” bentaknya, “Baca.” Ia menyodorkan poster itu kedepan wajahku.

“Beasiswa untuk calon mahasiswa di dunia kuliner,” ucapku perlahan membaca isi poster itu.

“Ambil kesempatan ini, Hardi.” Bambang menghempaskan brosur itu ke arah perutku, aku segera meraihnya.

“Terima kasih, Bang,” teriakku, karena ia segera berlalu setelah melepas brosur itu.

Aku mendapatkan kesempatan emas untuk mewujudkan mimpiku. Aku berhasil meraih beasiswa untuk belajar memasak di salah satu universitas kuliner terkenal di Prancis, Le Cordon Bleu. Aku sangat senang sekali, tetapi aku juga takut dengan reaksi keluargaku.

Setelah berminggu-minggu berfikir. Akhirnya aku memberanikan diri untuk memberitahu orang tuaku tentang beasiswa yang aku peroleh. Aku berharap mereka bisa mengerti. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka marah besar. Mereka mengatakan bahwa aku telah membuang-buang waktu dan uang mereka selama ini. Mereka mengatakan bahwa aku tidak bersyukur dengan karunia yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku harus membatalkan beasiswa itu dan kembali ke fakultas kedokteran.

Aku tidak bisa menerima ucapan mereka. Aku merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk mengejar mimpiku. Aku tidak mau menyesal di kemudian hari karena tidak berusaha untuk mengejar mimpiku. Aku memutuskan untuk pergi ke Prancis tanpa sepengetahuan mereka.

***

Aku tiba di Paris dengan penuh harapan. Aku mulai belajar memasak di Le Cordon Bleu dengan penuh antusias. Aku bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara yang memiliki minat yang sama denganku. Aku belajar banyak hal baru tentang masakan Prancis serta masakan lainnya.

Di sana, aku juga bertemu dengan seorang wanita yang membuat hatiku berdebar-debar. Namanya Hayati, dia berasal dari keluarga pedagang. Dia juga mendapatkan beasiswa untuk belajar memasak di Le Cordon Bleu. Dia memiliki kewajiban untuk membantu usaha keluarganya sebuah restoran Masakan Padang yang sudah berdiri sejak lama di Jakarta dan Surabaya.

Kami berdua saling tertarik dalam dunia kuliner, tetapi, sangat bertolak belakang dalam pandangan hidup bagi keluarga kami. Dia sangat dekat dengan keluarganya, dan selalu menghormati keputusan yang dibuat oleh ayahnya. Dia bercita-cita ingin menjadi Chef profesional, tetapi dia juga tidak mau meninggalkan warisan keluarganya.

Aku sangat menyukainya, ia seorang wanita yang tangguh, pekerja keras dengan karakter yang kuat, tetapi aku juga bingung dengan perasaanku. Apakah dia bisa menerima kondisiku yang telah melawan kehendak keluargaku? Apakah keluargaku bisa menerimanya? Apakah kami bisa saling mengerti dan mengatasi perbedaan latar belakang keluarga kami? 

***

Aku dan Hayati semakin akrab seiring berjalannya waktu. Kami sering belajar bersama, berbagi resep, dan mencoba masakan baru. Kami juga sering jalan-jalan di kota Paris, menikmati pemandangan dan suasana romantisnya. Aku tinggal di satu apartemen dengannya, aku terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa aku berasal dari keluarga miskin.

Aku merasa bahagia sejak bertemu dengan Hayati, tetapi semakin hari aku merasa semakin bersalah. Aku belum memberitahu keluargaku tentang keberadaanku di Prancis. Aku takut keluargaku memaksaku untuk pulang. Aku juga belum memberitahu Hayati tentang latar belakangku.

Suatu hari, aku mendapat telepon dari kakakku. Dia memberitakan tentang ayah yang sedang sakit keras yang kini sedang terbaring lemah di rumah sakit. Ayah ingin bertemu denganku sebelum terlambat, aku harus segera pulang ke Bandung.

Seperti tersambar oleh petir ketika mendengar kabar itu. Aku terjebak dalam sebuah situasi yang rumit dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin pulang ke Bandung untuk bertemu ayahku, tetapi aku juga tidak ingin Hayati mengetahui keadaan yang sebenarnya, aku takut ia pergi meninggalkanku.

Langit senja di Paris sangat jauh berbeda, sambil menatap awan yang sedang berkejaran di langit yang masih saja biru ketika senja, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Hayati. Aku berharap dia bisa mengerti dengan masalah yang sedang aku hadapi saat ini. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Dia marah besar dan juga kecewa denganku.

“Kamu…” Hayati menunjuk wajahku, “Selama ini kamu berbohong kepadaku,” bentaknya.

“Hayati, dengar biar aku jelaskan semuanya,” pintaku sambil menarik tangannya, Ia menghempaskan tanganku.

“Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu, semua mimpi-mimpi kita, tujuan kita setelah ini ternyata hanya bualan dan omong kosong,” teriaknya dihadapanku, aku tidak bisa berkata apa-apa, aku memang salah, aku dalam situasi yang sulit.

“Hayati, tolong… maafkan aku,” kataku memohon, “Aku mencitaimu Hayati.”

“Tidak.. kamu tidak mencintaiku, kamu hanya memanfaatkanku.”

Aku marah ketika ia mengatakan itu. Aku tidak bisa menerima ucapannya. Aku merasa bahwa dia memang tidak peduli dengan perasaanku saat ini.

Kami berdua bertengkar, tidak ada yang mau mengalah. Kami akhirnya putus dengan meninggalkan perasaan sakit hati yang sangat mendalam.

***

Aku pulang ke Bandung dengan hati yang hancur, kutemui ayah yang sedang berbaring lemah di rumah sakit. Ayahku tersenyum melihatku, ia memelukku sangat erat.

“Kamu pulang, Nak,” ucapnya dengan suara parau. Mataku basah melihat kondisnya saat ini.

“Ayah…” ucapku sambil kupeluk tubuhnya yang lunglai tak berdaya. “Maafkan aku ayah,” kataku dalam tangis, aku menyesali semua perbuatanku, semua ambisiku yang akhirnya hanya menyisakan luka di hatiku.

“Hardi…” Suara parau ayah memanggil, kulepaskan pelukanku, kutatap wajah yang telah lelah berjuang itu. “Ayah sudah tahu semuanya,” ujar ayah, “Ayah bangga padamu.”

“Ayah…” Kembali kupeluk ayah.

“Hardi, ayah bangga padamu.” Ayah mengatakan kalimat itu, kalimat yang belum pernah terucap sejak aku kecil.  

Ayah menjelaskan perilakunya selama ini, ia hanya ingin yang terbaik untukku, namun, ayah tidak sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan dalam memaksakan kehendaknya kepadaku.

“Hardi.. jadilah seorang Chef profesional,” pintanya, ayah berharap aku meraih kesuksesan dengan pilihan hidupku, ia mendekapku erat.

Aku menangis haru mendengar kata-kata itu. Aku merasa lega sekaligus bersyukur atas pengertian ayah. Aku berjanji kepada ayah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpiku.

Beberapa hari kemudian, ayah pergi meninggalkan kami semua, ia pergi dengan tenang tanpa beban yang mengganjal di hatinya.

***

Satu Minggu setelah pemakaman ayah, aku kembali ke Prancis untuk melanjutkan studiku di Le Cordon Bleu. Aku bertekad untuk menjadi Chef profesional yang hebat, sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada ayah.

Namun, di sisi yang lain aku juga merindukan Hayati. Aku sadar, aku masih mencintainya, aku ingin memperbaiki hubunganku dengannya. Aku mencoba untuk menghubunginya, tetapi dia tidak mau menjawab telepon juga pesanku.

Aku tidak menyerah, kupacu sepedaku menuju apartemen untuk menemuinya secara langsung, segera kuketuk pintu apartemennya dengan keras, sampai dia akhirnya membukanya dengan wajah yang kesal.

“Mau apa lagi?” tanyanya dengan nada kesal.

“Aku mau kita balikan.” Aku memandangnya dengan tatapan penuh harap.

“Terima kasih,” Ia menutup pintu, segera kutahan pintu itu.

“Maaf… tolong maafkan aku,” kataku memohon,

“Lepas Hardi,” teriaknya, ia ingin aku melepas pintu yang aku tahan.

Aku menyesali semua perbuatanku, atas semua kesalahan yang telah kubuat. “Aku masih mencintaimu Hayati,” teriakku di balik pintu. Aku masih mencintainya, dan aku ingin kembali bersamanya.

Aku juga menjelaskan bahwa aku sudah berdamai dengan keluargaku, aku siap untuk mengenalkannya kepada mereka. Hayati mendengarkan kata-kataku dengan ekspresi bimbang.

“Aku masih marah dan sakit hati padamu,” teriaknya, ia melepas pintu itu, kemudian berjalan menjauhinya, ia membiarkan pintu itu terbuka. “Aku tidak yakin … aku tidak yakin aku bisa mempercayaimu lagi.” Perlahan-lahan matanya basah.

“Aku akan selalu ada untukmu Hayati, mulai hari ini, aku ingin memperbaiki semuanya,” bujukku, aku ingin Hayati mengerti perasaanku.

“Kemarin ayahku meneleponku, ia ingin aku segera menyelesaikan kuliahku dan kembali ke Padang.”

“Kenapa? Bukankah kamu ingin menjadi chef terkenal di Prancis,” tanyaku.

“Ayah ingin aku meneruskan usahanya, restoran masakan padang di Jakarta dan Surabaya,”

Aku tidak mau kehilangannya lagi. Aku memohon kepadanya untuk memberiku kesempatan kedua. Aku mengatakan bahwa aku bersedia untuk pergi ke Padang bersamanya, belajar masakan Padang dari keluarganya. Aku mengatakan bahwa aku ingin berbagi hidupku dengannya, serta membuatnya bahagia.

Hayati terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. Dia menyeka air mata yang telah membasahi pipinya. “Hardi, aku masih mencintaimu, aku ingin kamu kembali bersamaku,” pintanya ditengah deraian air mata, “Aku akan memberikan kamu kesempatan kedua, tetapi kamu harus berjanji … tidak akan menyakitiku lagi.”

“Aku janji Hayati, aku janji.” Aku merasa senang, ada perasaan lega mengalir di dadaku. Aku berjanji kepadanya dengan sungguh-sungguh. Aku memeluknya erat, dan menciumnya dengan penuh cinta.

Kami berdua saling tersenyum, saling bertatapan merasa bahagia.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun