“Ayah…” ucapku sambil kupeluk tubuhnya yang lunglai tak berdaya. “Maafkan aku ayah,” kataku dalam tangis, aku menyesali semua perbuatanku, semua ambisiku yang akhirnya hanya menyisakan luka di hatiku.
“Hardi…” Suara parau ayah memanggil, kulepaskan pelukanku, kutatap wajah yang telah lelah berjuang itu. “Ayah sudah tahu semuanya,” ujar ayah, “Ayah bangga padamu.”
“Ayah…” Kembali kupeluk ayah.
“Hardi, ayah bangga padamu.” Ayah mengatakan kalimat itu, kalimat yang belum pernah terucap sejak aku kecil.
Ayah menjelaskan perilakunya selama ini, ia hanya ingin yang terbaik untukku, namun, ayah tidak sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan dalam memaksakan kehendaknya kepadaku.
“Hardi.. jadilah seorang Chef profesional,” pintanya, ayah berharap aku meraih kesuksesan dengan pilihan hidupku, ia mendekapku erat.
Aku menangis haru mendengar kata-kata itu. Aku merasa lega sekaligus bersyukur atas pengertian ayah. Aku berjanji kepada ayah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpiku.
Beberapa hari kemudian, ayah pergi meninggalkan kami semua, ia pergi dengan tenang tanpa beban yang mengganjal di hatinya.
***
Satu Minggu setelah pemakaman ayah, aku kembali ke Prancis untuk melanjutkan studiku di Le Cordon Bleu. Aku bertekad untuk menjadi Chef profesional yang hebat, sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada ayah.
Namun, di sisi yang lain aku juga merindukan Hayati. Aku sadar, aku masih mencintainya, aku ingin memperbaiki hubunganku dengannya. Aku mencoba untuk menghubunginya, tetapi dia tidak mau menjawab telepon juga pesanku.