Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Restoran Masakan Padang, Minang Sepakat

18 Oktober 2023   08:08 Diperbarui: 18 Oktober 2023   08:30 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit senja di Paris sangat jauh berbeda, sambil menatap awan yang sedang berkejaran di langit yang masih saja biru ketika senja, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Hayati. Aku berharap dia bisa mengerti dengan masalah yang sedang aku hadapi saat ini. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Dia marah besar dan juga kecewa denganku.

“Kamu…” Hayati menunjuk wajahku, “Selama ini kamu berbohong kepadaku,” bentaknya.

“Hayati, dengar biar aku jelaskan semuanya,” pintaku sambil menarik tangannya, Ia menghempaskan tanganku.

“Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu, semua mimpi-mimpi kita, tujuan kita setelah ini ternyata hanya bualan dan omong kosong,” teriaknya dihadapanku, aku tidak bisa berkata apa-apa, aku memang salah, aku dalam situasi yang sulit.

“Hayati, tolong… maafkan aku,” kataku memohon, “Aku mencitaimu Hayati.”

“Tidak.. kamu tidak mencintaiku, kamu hanya memanfaatkanku.”

Aku marah ketika ia mengatakan itu. Aku tidak bisa menerima ucapannya. Aku merasa bahwa dia memang tidak peduli dengan perasaanku saat ini.

Kami berdua bertengkar, tidak ada yang mau mengalah. Kami akhirnya putus dengan meninggalkan perasaan sakit hati yang sangat mendalam.

***

Aku pulang ke Bandung dengan hati yang hancur, kutemui ayah yang sedang berbaring lemah di rumah sakit. Ayahku tersenyum melihatku, ia memelukku sangat erat.

“Kamu pulang, Nak,” ucapnya dengan suara parau. Mataku basah melihat kondisnya saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun