“Hardi…” teriak Bambang di depan kamar kosku.
“Hardi…” panggilnya sambil mengetuk pintu kamarku kasar.
“Apaan sih, berisik tau,” bentakku di bibir pintu kamar karena ulahnya.
“Hei.. lihat ini, lihat.” Ia menunjukan sebuah poster.
“Ah… apaan sih, bangunin gue cuma buat hal yang gak penting,” ucapku semakin marah, sambil mendorongnya keluar. Aku ingin kembali menutup pintu kamar dan melanjutkan tidurku. “Lu tahu kan ini jam berapa?”
“Liat,” bentaknya, “Baca.” Ia menyodorkan poster itu kedepan wajahku.
“Beasiswa untuk calon mahasiswa di dunia kuliner,” ucapku perlahan membaca isi poster itu.
“Ambil kesempatan ini, Hardi.” Bambang menghempaskan brosur itu ke arah perutku, aku segera meraihnya.
“Terima kasih, Bang,” teriakku, karena ia segera berlalu setelah melepas brosur itu.
Aku mendapatkan kesempatan emas untuk mewujudkan mimpiku. Aku berhasil meraih beasiswa untuk belajar memasak di salah satu universitas kuliner terkenal di Prancis, Le Cordon Bleu. Aku sangat senang sekali, tetapi aku juga takut dengan reaksi keluargaku.
Setelah berminggu-minggu berfikir. Akhirnya aku memberanikan diri untuk memberitahu orang tuaku tentang beasiswa yang aku peroleh. Aku berharap mereka bisa mengerti. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka marah besar. Mereka mengatakan bahwa aku telah membuang-buang waktu dan uang mereka selama ini. Mereka mengatakan bahwa aku tidak bersyukur dengan karunia yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku harus membatalkan beasiswa itu dan kembali ke fakultas kedokteran.