Informasi itu tersebar di kemudian hari, bahwa Saripah, anak bungsu Ambo Dalle, tokoh yang disegani di Ujung Paku itu meninggal karena dibunuh. Semua orang mempercayai itu, tertanam di ingatan bersamaan dengan kepulangan mereka mengantarkan jenazahku.
Kabar menyebar, ke segala penjuru. Bahwa anak gadis cantik yang baik tutur perkataannya, lembut sikapnya, meninggal dibunuh oleh sekawanan orang tak dikenal.
Hingga tiga generasi berlalu, kisahku yang diputarbalikkan itu menjadi legenda di kampung. Karena kecantikanku, banyak yang mencoba segala cara agar dapat melampiaskan nafsunya. Kadang juga menjadi bahan untuk menakut-nakuti anak-anak yang hendak berenang di sungai. Katanya, di situ Saripah dibunuh.
...
Saripah menutup kisahnya, saya turut berduka mendengarnya. Kematiannya adalah sesuatu yang ditujukan untuk menutupi aib. Sebuah tindakan bodoh dalam sepotong malam dengan mengatasnamakan cinta, walau itu nafsu belaka. Saripah mengakui kebodohannya, dan menyesali itu.
"Kau, bagaimana kau mati?" tanyanya padaku.
"Saya ditabrak mobil, ketika hendak menyeberang di jalan raya," jawabku singkat.
"Itu kuburanku, tiga nisan darimu," ia melanjutkan.
"Iya, saya tahu. Sudah lama, tapi kita tidak berubah juga," pungkasku.
Akhir 2020, Kami berdua masih arwah yang tergantung, tak diterima di pengadilan Tuhan. Di kehidupan dunia, kami dinyatakan mati, tetapi terasa masih hidup. Meski tak lagi memerlukan makan dan minum. Menariknya, kami bebas ke mana saja.
(Cerita di atas hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan suasana, itu murni tak disengaja dan hanya settingan belaka)