Entah mengapa, saya kaget tetapi tak mengeluarkan kata sepatahpun. Di sisi kiri ranjang, saya hanya terdiam merasakan berat tubuhnya mendarat di sebelahku.
Ia mungkin tak sadar, karena gelap gulita.
Lelaki itu merogoh kantong celana, ada senter ukuran kecil. Ia nyalakan, lalu terkejut ada saya di sebelahnya. Tetapi, ia juga diam.
Ia menutup mulut mungilku dengan tangan kanannya yang kuat, ia mengisyaratkan agar saya diam. Saya menurut.
Kamipun berbincang-bincang dengan suara pelan dan rendah. Itu adalah malam yang sangat menegangkan bagi saya. Saya dikuasai hasrat.
Lengan kuatnya merangkulku, saya tak berkutik. Tangannya meraba hingga panggulku. Nikmat sekali rasanya.
Malam itu, kamar terasa dunia yang luas milik kami berdua. Dosa besarpun memenuhi langit-langit kamar. Saya tak kuasa menahan diri, terjadilah hal yang ditakutkan ayah saat kecupannya mendarat tepat di bibirku. Perbuatan yang diharamkan oleh agama, dan mencoreng nama baik keluarga, juga nama kampung.
Jika orang tahu, saya akan dibunuh.
Saya tak sadar diri, ketika pagi tiba. Tubuhku tak ada sehelai pakaian pun yang melekat.
Ketika cahaya mentari menembus jendela kamar, barulah ku sesali semuanya. Saya menangis sejadi-jadinya.
Jusman seolah tak berdosa, semacam tak ada yang terjadi pada kami malamnya. Perutku terasa nyeri.