Sedan membawa Jusman meninggalkan kampung kami, ia meninggalkan dosa besar yang ku amini dengan duka mendalam. Sial. Mengapa saya sebodoh itu. Karena hasrat dan nafsu, saya akhirnya terjerumus dalam lembah kemaksiatan. Saripah gila, ketus ku dalam hati.
Nasi telah jadi bubur, apa mau dikata, semua telah terjadi.
Sebulan kemudian, saya selalu merasa mual. Aneh sekali, padahal saya tak pernah makan sesuatu yang membuat saya alergi.
Saya ke sebelah, ke rumah Sarwina, sahabatku. Ia sudah berkeluarga dan punya anak satu.
Kata Wina, saya sepertinya sedang mengandung.
"Hamil?" heranku.
Saya menangis, tersungkur ke lantai.
"Apa kata bapak, ibu. Apa kata orang kampung?" sedihku.
Saya meminta Wina merahasiakan semuanya, tetapi perut saya tak bisa berbohong. Dua bulan berjalan, makin membesar. Saya tak punya pilihan, saya harus pergi meninggalkan kampung ini.
Tetapi kemana? Tanyaku dalam diri. Saya frustrasi. Ada sebilah pisau di dapur, saya memasukkannya dalam saku.
Saya ke belakang rumah, ke sungai, tak ada hal baik terpikir saat itu. Semuanya buram, langit mendung, gelap, pikiranku hanya tidak menginginkan nama keluarga tercoreng. Saya tidak ingin mempermalukan ayah dan ibu.