(Fakta yang diputarbalikkan demi menjaga nama baik keluarga dan kampung)
Kami duduk di atas batang sebuah pohon mangga yang dikelilingi kuburan, sembari bercerita tentang banyak hal, soal kelahiran, keluarga, cita-cita, hingga kematian.
Saripah mulai bercerita tentang awal pertemuannya dengan seorang lelaki dari Ujungpandang yang bertandang ke Ujung Paku. Pakaiannya rapi, berdasi, dengan sepatu mengkilap.
"Bagaimana ceritanya, kau sampai di sini?" tanyaku.
Saripah menghela napas, lalu mulai bercerita.
...
Awal tahun 90-an, saat saya menginjak usia remaja. Bagi gadis yang kesehariannya di rumah, dan langkahnya tak jauh-jauh dari kampung di Ujung Paku, sangat langka melihat orang gagah dan cakap berpakaian rapi.
Ia menatap saya, sesaat ketika turun dari sedannya. Ia dikawal oleh dua orang berbadan kekar dan tinggi. Saya curiga, mereka ini tuan tanah puluhan hektar di seberang sungai. Ya, benar sekali.
Pemuda itu menunjuk di sekeliling, tak sengaja terdengar soal jual-beli. Daeng Nai', yang saat itu adalah tokoh masyarakat di kampung cukup hormat pada pemuda itu, sehingga tiap langkahnya dikawal kemanapun.
Daeng Nai' mengajak Jusman (nama pemuda itu) ke rumahnya. Tetapi, sebelum langkahnya menuju rumah di seberang jalan itu, Jusman menunjuk ke arahku.
Ia berjalan ke arahku, lalu bertanya siapa namaku.
"Saripah, saya Saripah" jawabku gugup.
"Saya Jusman, baru pertama kali ke sini. Salam kenal, saya dari Ujung Pandang". Katanya ramah.
Selain rupawan, Jusman juga sopan.
Saya mulai jatuh hati padanya, sejak saat itu.
Karena cuaca sedang tidak bersahabat, itu adalah awal tahun yang cukup basah. Hujan tak pernah alpa tiap sorenya. Jusman ditawarkan untuk menginap, meskipun ia mengendarai mobil, tetapi Daeng Nai' khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan di tengah jalan.
Rumah Daeng Nai' sedang diperbaiki, sehingga Jusman dan pengawalnya ditawarkan untuk menginap di rumah terdekat. Kebetulan, rumahku yang paling dekat dari rumah Daeng Nai'.
Dibawalah Jusman ke rumahku, tentu dengan meminta izin dulu ke orangtuaku. Ambo Dalle, ayahku adalah orang yang cukup disegani di kampung, karena ia adalah satu-satunya orang yang berpendidikan tinggi di kampung. Ayah saya bersahabat sejak kecil dengan Daeng Nai'.
Ada satu kamar yang bisa ditempati oleh Jusman, kebetulan kamar depan itu milik kakakku. Tetapi keluar daerah, karena tuntutan pekerjaan.
Selepas isya, Jusman ikut makan malam bersama keluarga. Sesekali ia menatap mataku, sembari melahap makanannya.
Perempuan mana yang tak jatuh hati di hadapan mata lelaki gagah sepertinya?
Malam larut, saya tidak bisa tidur. Di langit-langit kamar, terbayang wajah lelaki tampan itu. Saya tersenyum-senyum sendirian.
Angin kencang menyisir tiap ruangan di rumah, mematikan lilin yang sisa seperempat. Kebetulan Jusman sedang berada di kamar mandi. Ia berjalan ke depan, tetapi salah masuk kamar. Ia masuk ke kamarku, yang pintunya memang bersampingan.
Entah mengapa, saya kaget tetapi tak mengeluarkan kata sepatahpun. Di sisi kiri ranjang, saya hanya terdiam merasakan berat tubuhnya mendarat di sebelahku.
Ia mungkin tak sadar, karena gelap gulita.
Lelaki itu merogoh kantong celana, ada senter ukuran kecil. Ia nyalakan, lalu terkejut ada saya di sebelahnya. Tetapi, ia juga diam.
Ia menutup mulut mungilku dengan tangan kanannya yang kuat, ia mengisyaratkan agar saya diam. Saya menurut.
Kamipun berbincang-bincang dengan suara pelan dan rendah. Itu adalah malam yang sangat menegangkan bagi saya. Saya dikuasai hasrat.
Lengan kuatnya merangkulku, saya tak berkutik. Tangannya meraba hingga panggulku. Nikmat sekali rasanya.
Malam itu, kamar terasa dunia yang luas milik kami berdua. Dosa besarpun memenuhi langit-langit kamar. Saya tak kuasa menahan diri, terjadilah hal yang ditakutkan ayah saat kecupannya mendarat tepat di bibirku. Perbuatan yang diharamkan oleh agama, dan mencoreng nama baik keluarga, juga nama kampung.
Jika orang tahu, saya akan dibunuh.
Saya tak sadar diri, ketika pagi tiba. Tubuhku tak ada sehelai pakaian pun yang melekat.
Ketika cahaya mentari menembus jendela kamar, barulah ku sesali semuanya. Saya menangis sejadi-jadinya.
Jusman seolah tak berdosa, semacam tak ada yang terjadi pada kami malamnya. Perutku terasa nyeri.
Sedan membawa Jusman meninggalkan kampung kami, ia meninggalkan dosa besar yang ku amini dengan duka mendalam. Sial. Mengapa saya sebodoh itu. Karena hasrat dan nafsu, saya akhirnya terjerumus dalam lembah kemaksiatan. Saripah gila, ketus ku dalam hati.
Nasi telah jadi bubur, apa mau dikata, semua telah terjadi.
Sebulan kemudian, saya selalu merasa mual. Aneh sekali, padahal saya tak pernah makan sesuatu yang membuat saya alergi.
Saya ke sebelah, ke rumah Sarwina, sahabatku. Ia sudah berkeluarga dan punya anak satu.
Kata Wina, saya sepertinya sedang mengandung.
"Hamil?" heranku.
Saya menangis, tersungkur ke lantai.
"Apa kata bapak, ibu. Apa kata orang kampung?" sedihku.
Saya meminta Wina merahasiakan semuanya, tetapi perut saya tak bisa berbohong. Dua bulan berjalan, makin membesar. Saya tak punya pilihan, saya harus pergi meninggalkan kampung ini.
Tetapi kemana? Tanyaku dalam diri. Saya frustrasi. Ada sebilah pisau di dapur, saya memasukkannya dalam saku.
Saya ke belakang rumah, ke sungai, tak ada hal baik terpikir saat itu. Semuanya buram, langit mendung, gelap, pikiranku hanya tidak menginginkan nama keluarga tercoreng. Saya tidak ingin mempermalukan ayah dan ibu.
Dengan segala penyesalan itu, saya menggorok urat nadi lengan dengan sebilah pisau itu.
Perihnya terasa hingga ke tulang, tiap tetes darah, saya mulai kehilangan kesadaran disertai rasa sakit yang hebat. Saya menutupi mulut dengan sehelai kain, sehingga suara jeritan tak terdengar oleh orang.
Tubuh saya roboh perlahan, tergeletak, lalu terjatuh ke sungai yang alirannya cukup deras.
Saya mati.
---
Petang datang, ayah mencari saya hingga ke penjuru kampung. Tak jua ditemui anak gadisnya ini. Semua heboh dibuatnya, ayah menyuruh semua orang di kampung turut membantu mencari.
Meski sampai subuh, tak juga mereka mendapatiku.
Pagi tiba, Sani, anak Daeng Nai' yang senang memancing, ke pangkal sungai dekat jembatan perbatasan dengan kampung sebelah.
Ketika hendak melempar kail, Sani terkejut melihat tubuh terbalik mengambang, tersangkut di batang pohon di tepi sungai.
Itu saya, mayat diriku yang ku bunuh sendiri karena tak ingin mempermalukan keluarga dan nama baik kampung.
Sani melempar pancingannya, lalu berlari ke rumah. Dalam keadaan tergesa, napasnya tak beraturan.
"Saripah... Sari.. Saripah..."
"Kenapai Saripah?" ayah memegang pundak Sani. Ibu ikut penasaran.
Setelah cukup tenang, Sani menceritakan semua yang ia lihat.
Ayah tersungkur, nyaris tak sadar diri.
Ayah menyuruh Sani memanggil Daeng Nai', ayahnya untuk menuju sungai.
Mereka pun ke sungai. Mendapati mayatku, tangis ayah pecah. Semua yang melihat berduka. Sementara ibu di rumah sudah tak sadarkan diri, karena tak kuasa mengetahui hal tersebut.
Mayatku diangkat, lalu dibawa ke rumah. Hanya beberapa orang yang tahu kala itu.
Sesampai di rumah, ayah merundingkan perkara ini dengan Daeng Nai' juga ibu. Ayah yang melihat perut dan bekas sayatan di lengan, sudah menarik kesimpulan, bahwa saya bunuh diri dalam keadaan mengandung.
Untuk menutupi aib itu, ayah menyuruh ibu dan Daeng Nai' untuk tak menyebar informasi bahwa saya bunuh diri karena hamil. Itu aib bagi keluarga, juga kampung. Warga tak boleh tahu kebenaran itu.
Tak lama, masih dalam isaknya, ayah mencoba berpikir jernih. Ia mendapat ide, kematianku adalah pembunuhan oleh sekelompok orang dari kampung luar. Sejumlah lelaki yang memperkosa ku di pinggir sungai, lalu membunuh ku. Kemudian mayatku dibuang ke sungai.
Sani diminta oleh ayah untuk menjadi saksi dalam sandiwara itu, pemutarbalikan fakta yang akan menjadi legenda berpuluh-puluh tahun kemudian.
Informasi itu tersebar di kemudian hari, bahwa Saripah, anak bungsu Ambo Dalle, tokoh yang disegani di Ujung Paku itu meninggal karena dibunuh. Semua orang mempercayai itu, tertanam di ingatan bersamaan dengan kepulangan mereka mengantarkan jenazahku.
Kabar menyebar, ke segala penjuru. Bahwa anak gadis cantik yang baik tutur perkataannya, lembut sikapnya, meninggal dibunuh oleh sekawanan orang tak dikenal.
Hingga tiga generasi berlalu, kisahku yang diputarbalikkan itu menjadi legenda di kampung. Karena kecantikanku, banyak yang mencoba segala cara agar dapat melampiaskan nafsunya. Kadang juga menjadi bahan untuk menakut-nakuti anak-anak yang hendak berenang di sungai. Katanya, di situ Saripah dibunuh.
...
Saripah menutup kisahnya, saya turut berduka mendengarnya. Kematiannya adalah sesuatu yang ditujukan untuk menutupi aib. Sebuah tindakan bodoh dalam sepotong malam dengan mengatasnamakan cinta, walau itu nafsu belaka. Saripah mengakui kebodohannya, dan menyesali itu.
"Kau, bagaimana kau mati?" tanyanya padaku.
"Saya ditabrak mobil, ketika hendak menyeberang di jalan raya," jawabku singkat.
"Itu kuburanku, tiga nisan darimu," ia melanjutkan.
"Iya, saya tahu. Sudah lama, tapi kita tidak berubah juga," pungkasku.
Akhir 2020, Kami berdua masih arwah yang tergantung, tak diterima di pengadilan Tuhan. Di kehidupan dunia, kami dinyatakan mati, tetapi terasa masih hidup. Meski tak lagi memerlukan makan dan minum. Menariknya, kami bebas ke mana saja.
(Cerita di atas hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan suasana, itu murni tak disengaja dan hanya settingan belaka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H