SENI RUPA INDONESIA AKAR INDONESIA
Oleh: Krishna Mustajab
Terimakasih teman-teman seniman. Di depan kita ada orang berbaju hitam, pakaian Madura, memegang jabatan sebagai ketua LIA Surabaya.
Mudah-mudahan malam ini bisa lebih tegar dan saya percaya berdua pun pertemuan itu akan selalu menghasilkan pengetahuan setidaknya kita akan tahu masing-masing diri kita, kemampuan kita yang tidak lain merupakan suatu evaluasi dari kemampuan kita bersama Mudah-mudahan tanggapan lain bisa secara positip diberikan oleh teman-teman seniman sekalian.
Kami persilahkan Pak Krishna Mustajab
Krishna Mustajab
Kiranya telah kita maklumi bersama, bahwa dalam menciptakan karya seni kemampuan pribadilah yang memegang peranan yang menentukan. Baik lewat sang seniman yang berbakat hebat, maupun yang sedang-sedang saja, atau bagaimana mereka mengolah kembali apa yang telah dilihat atau dirasakan, atau bagaimana mereka mengejawantahkan gambaran khayalinya mengikuti ketentuan- ketentuan yang telah disepakati dengan pihak yang lain atau yang berdiri sendiri sebagai ekspresi idenya sendiri secara utuh telah berkembang sejak jaman masih disebut jaman batu jaman kuna hingga jaman sekarang, baik yang karya-karyanya terasa menggenggam penuh kekuatan magis, maupun yang terasa lebih besar memancarkan kekuatan akal pikirannya.
Lebih terasa sempit atau kecilnya dunia tempat kita tinggal antara lain karena telah begitu pesat berkembangnya sarana transportasi, dan lebih terbukanya hubungan negara kita dengan negara-negara lain telah cukup lama membukakan cakrawala baru di banyak hal, baik yang telah banyak merugikan bangsa kita maupun yang menguntungkan perkembangannya sebagai bangsa yang ingin maju.
Lalu apa pula yang telah terjadi dalam perkembangan dunia seni rupa kita? Kita sendiri telah memaklumi bahwa terciptanya seni rupa kita sebelum datangnya agama Islam dan pengaruh seni rupa Eropa sebagian utama semula berpijak sebagai sarana upacara pemujaan roh pada masyarakat yang masih animistis dan yang terus berkembang pada masyarakat yang telah memeluk agama Hindu atau Budha
Keterbatasan karena sulitnya mengadakan hubungan keluar yang disebabkan masih belum adanya sarana pengangkutan yang semaju sekarang telah menyebabkan karya-karya seni rupa masa itu mengalami kondisi statis yang cukup panjang, dan dalam perkembangan selanjutnya maka dengan adanya perubahan-perubahan pada kepercayaan yang mereka anut pun akhirnya ikut mengembangkan gaya atau tema-tema karya seni rupanya.
Namun suatu hal yang cukup membanggakan bahwa dalam kondisi yang demikian itu, kita telah diwarisi begitu banyak ragam karya seni rupa yang punya nilai yang sangat tinggi, hampir oleh sebanyak suku bangsa kita yang menetap dari ujung barat sampai ke ujung timur Indonesia.
Apabila kita ukur jarak waktu antara jaman pra sejarah atau jaman batu dengan jaman komputer yang kita alami sekarang menurut ukuran umum dapat mencapai jarak waktu sekitar 12.000 (dua belas ribu) tahun Namun misalkan saja kita ingin mengadakan pameran patung Indonesia lengkap di sini sekarang, maka kita pasti dapat pameran bersama dengan saudara-saudara kita yang pada saat ini masih mengalami hidup di alam jaman batu itu.
Dan kita hanya membutuhkan waktu dua tiga jam saja untuk dapat mengalami peristiwa mimpi seperti itu. Pematung-pematung suku Asmat dari Irian, pematung dari Flores, atau pematung candi-candi di Jawa dan banyak yang lain lagi memang tidak pernah belajar teori-teori kepatungan dari Eropa, dan mereka pun mengerjakannya dengan alat- alat yang paling sederhana baik patung-patung kayunya maupun patung-patung batunya, tetapi banyak karya-karya puncak mereka kiranya tidak akan terkalahkan nilainya oleh banyak patung-patung modern dari mana pun.
Dalam perkembangan selanjutnya pematung-pematung tradisional dari Bali yang namanya dapat kita catat dengan prestasi karya-karyanya yang cukup punya nilai antara lain almarhum I Cokot. Wayan Pendet, Ida Bagus Nyana dan beberapa lagi.
Sedang perkembangan pada seni lukis primitif/tradisional, karya- karya tersebut mereka ciptakan juga untuk menandai suatu peristiwa tertentu seperti halnya yang telah dilukis pada batu-batu di goa-goa misalnya yang dapat kita saksikan di goa Maros di Sulawesi Selatan, juga di Irian yang sedang sering dibicarakan atau ditulis terdapat di Leang- Leang.
Juga lukisan-lukisan yang telah diciptakan untuk melengkapi mantra-mantra yang mereka catat di buku-buku, yang antara lain berisi ceritera yang menggambarkan tekad perlawanan menentang sesuatu yang jahat seperti yang juga telah diciptakan oleh suku Tor-Tor di Sumatra pada ratusan tahun yang lampau, diungkapkan lewat simbol- simbol dan dilukiskan secara bagus sekali antara lain oleh Guru Sabungan ni Aji Raja Bakara Simanulang pada 400 tahun yang silam (gambar-gambar tersebut antara lain telah dicetak oleh Pembangunan Jaya Group sebagai penanggalan tahun 1981).
Namun dalam perkembangan selanjutnya agaknya telah mengalami nasib yang menyedihkan karena jarang lagi kita temukan seniman-seniman tradisional generasi berikutnya yang mau mengembangkan karya-karya yang begitu bagus yang pernah diciptakan di Sumatra pada masa tersebut tadi. Memang lain halnya dengan perkembangan seni lukis tradisional yang ada di Bali
Dengan banyaknya pelukis-pelukis asing yang agak lama menetap di sana misalnya Walter Spies, R. Bonnet atau yang masih menetap di sana pada waktu ini seperti Ari Smith maka terjadilah perubahan-perubahan pada cara mereka mengisi bidang kanvas atau juga pada tema-tema mereka, berkembang dengan melukiskan kehidupan sehari-hari, pada penggambaran bentuk manusianya, pada warnanya yang berbeda dengan cara-cara mereka sebelumnya.
Seni Rupa moderen dan lingkungannya.
Sejak seorang pemuda Indonesia yang bernama Saleh Sarif Bastaman lebih kurang 150 tahun yang lalu belajar melukis ke Eropa, maka sejak itu dalam perkembangan selanjutnya seni lukis di Indonesia pada setiap peristiwa pembaruan yang diteriakkan yang muncul selalu saja gaya yang telah berkembang di Eropa dan Amerika.
Sebagal salah satu aspek dari perkembangan budaya kita, hal tersebut seakan wajar-wajar saja terjadi, hanya saja karena terjadinya hal tersebut terlalu dominan saya menganggapnya bahwa kita perlu dalam beberapa hal memberikan sentuhan-sentuhan yang mengandung peringatan agar kita tidak terjebak dalam perkembangan yang tidak seyogyanya terjadi pada diri kita sebagai suatu bangsa yang seharusnya punya sikap dalam mengembangkan kebudayaannya.
Pada, awalnya kebudayaan barat yang datang ke Indonesia yang bersama-sama orang-orang Portugal yang kemudian akui bangsa Belanda setelah beratus tahun yang lampau sampai saat kita mencapai kemerdekaan penuh kiranya telah merubah sebagian cara cara hidup bangsa Indonesia terutama yang hidup atau tinggal di kota- kota.
Keinginan untuk melepaskan diri dari keterbelakangan dan hasrat yang begitu besar untuk dapat segera mengejar ketinggalan kita dalam hal ilmu atau teknologi modern banyak telah menciptakan efek sampingan yang berlebihan yang kurang menguntungkan diri kita sebagai bangsa yang termasuk bangsa tertua di dunia ini. Suatu resiko yang memang sulit untuk dihindari dalam kehidupan modem ini dan yang memang selalu memerlukan pengorbanan.
Meskipun demikian, tentu saja pengorbanan ini pun harus kita jaga agar tidak sampai kita harus juga mengorbankan harkat kita sebagai bangsa hanya karena kita begitu bermaksud ingin memburu ketinggalan teknologi atau hanya karena ingin disebut bangsa yang moderen saja. Memang perlombaan untuk mengejar ketinggalan kita dalam teknologi ini telah mengakibatkan kita selalu mengalami goncangan-goncangan pembaruan yang terus menerus. Dan peristiwa itu kebanyakan kurang kita sadari karena kita keburu silau kembali yang tak kunjung hentinya selama ratusan tahun ini menatap bergelimangnya hasil-hasil teknologi baru yang membanjir ke negeri kita. Sejak masuknya kereta api masuknya mobil, listrik dan seluruh tetek bengek yang memakai tenaganya, busana dan cara memakainya, cara makan kita seluruh perabot rumah tangga kita meluapnya barang-barang kelontong yang begitu hebat sehingga seringkali kita telah kehilangan daya kontrol menghadapi pengalaman yang serba baru dan menakjubkan yang tidak jarang sempat pula menggoncangkan jiwa kita sehingga tingkah laku kita serba penuh kepura-puraan pada waktu kita sedang tenggelam dalam pengaruhnya, kiranya hal tersebut juga harus kita akui.
Belum lagi masa ini dimana kita harus juga menghadapi pembangunan gedung-gedung yang mencakar-cakar langit pembangunan industri raksasa, pembangunan armada di segala bidang tidak sedikit para pemimpin kita telah terjebak salah dalam menafsirkan perkembangan yang ada di barat karena hal tersebut telah disangkanya bahwa itulah satu-satunya jalan menuju ke dunia modern Sehingga sebagai akibatnya kita terbawa ke alam pola kebudayaan barat dengan segenap cirinya yang sudah tentu tidak selamanya cocok dengan kondisi kita, dan bahkan banyak yang bertentangan dengan alam jiwa kita.
Adanya titik-titik yang melegakan seperti memang sudah menjadi kodrat alam bahwa sebagian di antara kita lama-lama sadar, seakan ada sesuatu yang telah mengarahkan bahwa segala sesuatu yang kita terima hendaknya selalu kita coba untuk disesuaikan dengan kondisi diri kita, sehingga sedikit demi sedikit telah terjadi penyaringan pengaruh yang tadinya begitu membutakan yang datang dari luar tersebut
Goncangan pembaruan (meminjam istilah Alvin yang terkenal itu)
tentu saja tidak hanya telah menghempas sikap mental sebagian masyarakat kita, atau banyak para pemimpin kita sejak puluhan tahun yang lalu, tetapi pada mulanya juga pada seniman-seniman kita, dan pada pelukis-pematung kita.
Pengaruh lingkungan yang berkembang tumbuh menjadi ke barat-baratan, pengaruh reproduksi baik seni patung maupun seni lukisnya pada awal pertamanya sering cukup lama menghambat kekuatan kreatif para seniman seni rupa. Tetapi dalam perkembangannya kemudian setelah melampaui masa-masa pengendapan maka makin berubahlah keadaannya, dari yang semula berperan sebagai epigon kemudian beralih ke peran mewakili ekspresi/ gambaran lingkungannya yang lebih wajar, sehingga pada karya-karya mereka akhirnya tersentuh suasana ke Indonesiaannya.
Banyak seniman telah meninggalkan kota tempat tinggalnya hanya untuk mencari suasana atau obyek pelukisan di desa-desa, untuk mendekati lebih akrab sumber-sumber lain yang khas dan yang masih tersisa.
Kesulitannya tentu saja hal tersebut telah banyak menghabiskan biaya, sedangkan studi lewat buku-buku tentang seni Indonesia sangat sulit kita temukan bukunya.
Memang untuk menjaga hubungan kita sebagai anggota masyarakat dunia atau bagaimana kita menempatkan diri dengan konstelasi dunia ini, kita tidak dapat menutup diri terlalu ketat, tetapi kita juga tentunya tidak mau mengorbankan seluruh kota kita menjadi kota satelit New York. Tokyo atau Hongkong.
Mungkin saja pertumbuhan kota Jakarta yang terpaksa harus kita korbankan, tetapi tentu saja saya akan mengajukan keberatan saya di sini apabila pertumbuhan arsitektur untuk kota-kota Surabaya. Yogya atau Bandung akan didesain seperti New York, Tokyo atau Hongkong. dan bukan karena saya tidak ingin mempunyai kota dengan pencakar langit untuk memenuhi kebutuhan utama kita, tetapi dengan mengoper begitu saja bentuk-bentuk pencakar langit seperti yang ada di luar negeri itu sangat tidak membanggakan saya sebagai bangsa Indonesia yang dalam sejarahnya pernah menciptakan bentuk arsitektur yang indah dan banyak sekali ragamnya.
Saran-saran
Seni rupa yang berakar dari bumi Indonesia kiranya dapat kita misalkan, bahwa yang disebut akar Indonesia itu dapat berupa bersumber pada kebudayaan kita, pada kondisi lingkungan kita, alam kehidupan di sekitar kita, dan masyarakat kita Tetapi dapatkah kita membayangkan kesulitan yang telah dialami oleh para seniman seni rupa kita yang ingin menyerap sumbernya apabila pola kebudayaan kita makin lama makin jauh terseret ke dalam pola kebudayaan barat, kiranya perlu saya ulangi misalnya bentuk arsitektur kita, seluruh perabot/peralatan rumah tangga kita, tata busana kita, sistim pendidikan kita, pada hal dalam beberapa hal kita telah pernah memiliki yang kita ciptakan sendiri kini semua telah berganti dengan barang-barang yang datang dari Eropa. Amerika, Jepang. Hongkong, Singapura atau negara lainnya sehingga hampir seluruh yang kita miliki sekarang serba Impor semata. Jangankan di kota di desa pun keadaannya pada waktu ini bahkan di lereng-lereng gunung saudara-saudara kita mulai senang mengumpulkan barang-barang impor, bahkan anak-anak kita yang tinggal di bukit-bukit itu telah mengganti boneka kayunya yang indah itu dengan boneka plastik impor.
Sekali lagi dapat kita bayangkan betapa sulitnya sang pelukis menyerap lingkungannya-katanya yang serba ke barat-baratan itu untuk menemukan celah-celah yang dapat menghasilkan karya yang bersuasana Indonesia Tetapi untunglah masih banyak pelukis yang tanggap dalam mengamati situasi yang demikian itu untuk obyek pelukisannya dan bahkan seringkali mereka pergi ke daerah-daerah yang masih mereka anggap sebagai daerah perawan.
Namun akankah perkembangan lingkungan yang mengarah ke wajah import itu akan kita biarkan saja tanpa ada usaha-usaha untuk membenahi bagaimana sebaiknya. Pasal-pasal mengenai pembangunan dalam bidang kebudayaan yang tertera dalam GBHN kiranya memerlukan penjelasan detail, di samping perlu adanya ketentuan-ketentuan yang jelas dalam kita menerima kehadiran ekspansi kebudayaan asing yang tidak terencana pada masa ini sehingga kita tetap dapat bertahan sebagai bangsa yang punya watak. Dan bukan pula maksud saya untuk meminta pengakuan agar karya-karya kita diakui sebagai karya seni rupa Timur, seperti yang pernah dibanggakan dan bahkan tidak sekalipun ingin menjadi epigon seni Barat maupun seni timur. Tetapi masalahnya yang ingin tetap saya kemukakan ialah bagaimana kita dapat menciptakan dan memberikan ciri-ciri kepada warisan Seni Rupa yang akan kita tinggalkan. Tentu saja disini peranan seniman dapat memberikan andil menentukan. sayang sampai saat ini peranan mereka masih banyak diabaikan pada zaman pembangunan ini. Maka dalam kesempatan ini saya ingin mengajukan saran-saran pada pemerintah agar,
1. Lebih menyadari bahwa seniman dimasa pembangunan ini peranan yang dapat disumbangkan tidak dapat diabaikan karena itu kerja sama yang lebih baik perlu lebih ditingkatkan lagi.
2. Apa yang terjadi selama ini bahwa para pemegang modal, para kapitalis nasional yang berlomba meng import barang-barang kelantong secara serampangan tanpa mengingat pengaruh buruk yang dapat terjadi melanda pula pola kehidupan bangsa kita, karena mereka mengejar keuntungan pribadi semata. Oleh karena itu Pemerintah seharusnya sudah lama tanggap untuk lebih menekankan penggunaan barang-barang produksi dalam negeri yang dinilai sudah cukup bermutu.
3. Lebih banyak menerbitkan buku-buku tentang seni rupa Indonesia baik yang tradisional dari beraneka ragam suku maupun yang modern sebagai bahan pelajaran, sebagai bahan bacaan di sekolah- sekolah dari SD, SMP hingga SMA.
4 Segera merealisir penyusunan strategi kebudayaan Nasional untuk atau sebagai pedoman dan petunjuk melengkapi GBHN dalam bidang kebudayaan, karena saya masih menaruh harapan besar pada Pemerintah yang banyak punya wewenang, banyak memiliki fasilitas dan biaya agar lebih serius menggarap gejala buruk yang ditimbulkan karena kesalahan kita sendiri, terlalu bersifat konsumer akibat kurang adanya sikap budaya sebagai Bangsa, disamping kita sendiri diharapkan mau mengerti dinamikanya perubahan sejarah. Terlalu sulit memang untuk terus menjaga sifat-sifat yang baik yang khas milik kita dalam kondisi kita yang berkembang menuju modernisasi.
Dalam sejarah kepemimpinan nenek moyang bangsa kita kiranya juga telah melakukan banyak hal yang positif dalam menyaring pengaruh- pengaruh kebudayaan termasuk kesenian yang dari luar, maka kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita banyak memiliki nilai yang mengagumkan.
Memang tugas menjaga sifat baik yang khas milik kita tersebut kelihatan sepele tetapi sangatlah sulit dilaksanakan, karena pengaruh lain yang kita hadapi adalah kekuatan-kekuatan raksasa yang ekonominya lebih maju, bahkan jauh lebih maju dalam beberapa hal.
Oleh karena itu kita sepatutnya segera merencanakan menyusun konsep-konsep yang mendekati kewajaran apabila telah sampai pada pelaksanaan membangun sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang khas membangun landasan orientasi kita untuk masa depan.
Bukan karena kita sebagai bangsa yang sedang menuju lebih jauh lagi mengejar ketinggalan kita mempelajari teknologi modern atau alam pikiran modern yang serba rasional, serba logis dan harus mengandung sarat-sarat keilmuan maka kita harus membuang begitu saja hal-hal yang serba intuitif, mengandung nilai-nilai spiritual atau yang mengandung kekuatan mistik, bukan.
Alangkah baiknya apabila kita selalu sadar bahwa kebudayaan kita pada waktu ini adalah hasil campuran antara kesemuanya itu. Bagai hasil okulasi beberapa jenis budaya asing yang dilakukan atas pohon kebudayaan kita, demikianlah gambaran bagaimana hasil kita menyaring pengaruh-pengaruh kebudayaan asing termasuk pengaruh kekuatan seni lukis asing yang kita terima selama ini.
Dalam uraian saya yang terdahulu pernah saya singgung secara garis besar bahwa ada dua jenis lukisan yang perlu dikembangkan lebih hebat lagi dalam segi ekspresi visualnya ialah,
1.Lukisan-lukisan yang mempunyai suasana Indonesia meskipun dikerjakan dengan menggunakan corak Eropa atau Amerika (Erorika) dan yang sudah mengandung ciri-ciri pribadi yang khas.
2. Lukisan-lukisan yang dikerjakan dengan menggunakan unsur-unsur dan bahan-bahan campuran, dengan menggunakan ciri-ciri pola tradisional misalnya dengan memasukkan isen-isen yang banyak diterapkan pada motif-motif batik, huruf-huruf Jawa, Simbol-simbol menggunakan bahan-bahan tambahan terdiri dari benda-benda yang telah memiliki ciri-ciri khas yang banyak terdapat disekitar kita.
Ada yang dengan menggunakan barang-barang yang sudah jadi, misalnya topeng-topeng atau ukiran kayu, wayang kulit, perkakas dapur tradisional dan sebagainya, dan ada pula yang menambah dengan bahan-bahan yang belum jadi yang terdapat banyak sekali disekeliling kita misalnya bambu, rotan, kulit binatang, dan lain-lainnya. Pengungkapan dalam seni lukisnya untuk jenis yang pertama pada umumnya para pelukisnya tampak begitu teliti dalam pemilihan tema-tema mereka, biasanya adalah tentang kehidupan rakyat kecil atau mengambil dari cerita-cerita rakyat misalnya yang terdapat pada legenda atau mitologi atau tentang kehidupan alam sekitar yang banyak ditandai dengan kesan kayanya cahaya matahari atau oleh jenis tumbuhan yang khas flora tropis semuanya terungkapkan lewat kemampuan pribadinya yang juga telah mempunyai ciri-ciri yang khas.
Kiranya ciri-ciri tersebut masih atau tetap dapat terus diketemukan dengan ketelitian memilih dan peka menangkap tanda-tanda yang dipancarkan oleh lingkungan dan masyarakatnya meskipun kita terus berkembang dan maju.
Ciri-ciri kebudayaan lama atau tradisional yang tetap hidup dalam mengikuti gejolak jaman modern sekarang masih begitu kuat dan banyak ragamnya, sehingga kita tidak perlu merasa khawatir kekeringan obyek pelukisan yang akan memberikan citra yang kuat sebagai identitas yang Ingin kita tampilkan sepanjang waktu tetapi semuanya itu tentu saja tergantung bagaimana kita sendiri mengembangkan ciri-ciri khas lingkungan kita
Sedangkan pada pengucapan lukisan-lukisan jenis yang kedua pada umumnya berkembang dimana masyarakat sekitarnya masih begitu kuat standar oleh alam budaya tradisional misalnya saja d daerah Yogyakarta Dengan masih banyaknya peninggalan peninggalan lama atau tradisional yang juga mempunyai akan khas yang kuat maka mau tak mau kekuatan yang mendukung corak tradisional tersebut mempengaruhi karya karya seni rupa modem kita.
Memang tidak begitu banyak pelukis pelukis kita yang melukis dengan gaya jenis kedua ini sepertinya kurang ada keakraban atau daya tarik atau memang tidak cocok lagi alam tersebut, atau seperti ada perasaan khawatir bahwa karya karyanya akan dikatakan berbau kemenyan dan tidak sesuai dengan abad modern sekarang ini.
Sedangkan beberapa pelukis yang melukis dengan gaya tersebut tidak pernah acuh dengan pernyataan pernyataan atau tampil dengan argumentasi-argumentasi yang jelas apalagi menggalangnya dalam suatu kelompok yang patut dikemukakan bahkan menyebut karyanya sebagai karya seni lukis saya mereka masih ragu-ragu.
Tentu saja saya tidak melupakan Picasso, Paul Klee, Diego Reviera dan beberapa lainnya lagi juga pernah mengambil dari sumber seni primitif atau seni tradisional. Tetapi masalahnya disini apabila kita menemukan dari sumbernya langsung kesenian lama kita sendiri akan terasa lebih sah dari pada mesti lewat gaya mereka karena masalahnya adalah bahwa kita telah mengolah atau mengembangkan apa yang telah kita lihat dan rasakan langsung dari impuls-impuls kehidupan dan kesenian kita sendiri yang sebetulnya sudah tidak asing logis.
Saya tekankan dengan istilah tidak asing lagi disini, karena pada pengamatan saya pada sementara seniman kita atau pelukis kita mereka kelihatan jauh lebih akrab dengan gaya seni retorika dari pada dengan ciri-ciri tradisional kita sendiri.
Memang pada beberapa pelukis kita yang menggunakan bahan bahan tambahan tersebut kelemahan kelemahan yang sering tampak adalah kurang menyatunya bahan tambahan tersebut dalam karya karyanya. Memang untuk lukisan-lukisan yang menggunakan bahan tambahan masalahnya jadi bertambah, misalnya antara lain bagaimana menyelaraskan bahan menjadi suatu kesatuan karena bahan-bahan tersebut memiliki berbagai sifat atau pertimbangan masalah tiga dimensi tiba-tiba muncul yang juga harus segera dipecahkan dan sebagainya. Namun seperti yang telah saya singgung di depan selain pada lukisan jenis pertama pada lukisan-lukisan jenis kedua ini yang menggunakan bahan tambahan seperti rotan, tali-tali injuk, bambu dan lain-lainnya memang mempunyai kesan lebih akrab dengan kita karena bahan-bahan tersebut menurut pengetahuan kita telah berabad-abad mempunyai tempatnya dalam kerangka kebudayaan tradisional kita hingga sekarang.
Tetapi tentu saja kesemuanya itu memang tergantung kepada para seniman seni rupa sendiri kepada kekuatan pribadi-pribadinya karena mereka sendirilah akhimya yang lebih menentukan.
Jadi kalau saya memakai antek itu karena sudah agak geregetan ya seperti orang luar negeri sendiri gregetan karena orang? Pelukis-pelukis melukis abstrak Penentang-penentang pelukis, pelukis terbentuk juga pernah menyatakan bahwa pelukis abstrak bukan pelukis Amerika karena itu adalah ciri-ciri dari seni lukis timur atau seni tiruan. Dan pelukis pelukis abstrak expresionisme adalah antek-antek dan timur asb-asb.
Dengan beberapa dokumentasinya dalam hal ini ada hubungannya dengan pernyataan 2 (nama orang) yang juga tidak mau mengakui Affandi sebagai seni lukis, satu yang sudah punya Identitas Indonesia tapi hanya sebagai satu pengikut dari expressionisme diluar negeri saya kira ini yang perlu dijelaskan oleh pembela, Pak Affandi dan saya itu mengharapkan sekali ada pembela, pak Affandi bahwa Pak Affandi adalah bukan pengikut expressionisme luar negeri. Bahwa saya mengagumi Pak Affandi sebagai yang sudah saya katagorikan disini dapat teknik atau corak expressionisme tapi sudah mempunyai watak yang kuat ke Indonesianya, saya akui tapi Pak Affandi sebagai pelukis masih saya golongkan kepada pengikut dan golongan expressionisme yang ada di luar negeri terima kasih.
Abbas Alibasyah
Saya ingin kembali kepada masalah yang kita bicarakan dengan topik akar Indonesia. Jadi lepas dari ada yang setuju atau tidak, tapi sebetulnya ingin membicarakan itu, bahwa tadi yang diterangkan hanya merupakan ilustrasi saja dari berbagai aspek yang ada hubungannya. Yang saya tanyakan tadi sebetulnya belum dijawab oleh saudara Krishna Mustajab. Tapi mungkin sekarang bisa dijawab. Mengapa kita kok harus kembali ke akar Indonesia, itu kan pertanyaannya, apa perlu apa tidak, kalau tidak perlu. Tidak usah bersusah-susah kalau perlu ya kita perjuangkan. Karena kita harus ada pilihan, Indonesia ini kan mestinya bukan sesuatu seperti kita menunjuk asbak, botol dan sebagainya, tetapi sesuatu keutuhan, suatu kesatuan yang merupakan kebanggaan Suatu bangsa tanpa kebangsaan, mestinya tidak ada bangsa yang tidak punya kebanggaan buktinya apa, hanya untuk menegakkan bendera ribuan orang yang mati, simbolnya bendera, tapi ribuan yang mati ini kan suatu bukti siapa mau menyangkal orang tidak perlu kebanggaannya itu sebagai bangsa, kehadirannya sebagai bangsa, perkara ada di sana sini yang mencemooh yang ngece, boleh saja silahkan. Tapi tidak ada bendera dari satu bangsa pun yang boleh ditumbangkan oleh bangsa lain atau bangsanya sendiri. Demikian pula kebangsaan dalam arti kesenian dan kebudayaan. Mesti ada kebanggaan itu dan kebanggaan itu tentu saja tidak perlu kita bangga hanya punya asbak, kita juga boleh bangga punya pohon kelapa, punya danau Toba boleh-boleh bangga punya si Amrus dan boleh bangga dengan lain-lainnya, ini adalah saya kemukakan sekedar suatu tekanan, bahwa kebanggaan itu penting, sebagai suatu bangsa, akar kita itu adalah salah satu kebanggaan bagi kita. Bahwasanya akar kita yang nanti ingin ujudkan atau akar kita yang ingin kita gali supaya kita bisa tumbuhnya mungkin tidak kita duga, namun kesadaran untuk tumbuh berakar, kokoh adalah merupakan suatu hasrat berdasarkan adanya tuntutan kebanggaan. Oleh karena itu gejala psikologis dari tadinya sudah kelihatan, yaitu prosesnya adanya kalau orang kita diserang tidak dibalas. Ini sebetulnya gejala kebanggaan kalau tidak bangga ya ora opo-opo matimu kapan.
Begitu barangkali tapi karena hal-hal kebanggaan marah juga yang tumbuh pada pak Kusnadi itu juga satu gejala kebanggaan, kalau ini hilang terang nggak ada yang diperjuangkan. Ya silahkan orak-orek di pinggir kalenpun asal senang seperi anak-anak yang ingin senang- senang boleh saja. Karena itu yang penting. Ini kebanggaan jangan mati, bahwa nanti yang kita banggakan itu apa, kita sendiri belum tahu tapi kita tahu kebanggaan itu penting barang kali ini yang sekarang kita stress karena kita butuh kebanggaan. Oleh karena kita membutuhkan kebanggaan kita harus menciptakan kesadaran akan kehadiran kita. Kalau tidak hadir opo yang dibanggakan sekian.
Johar Arifin
Saya ingin menegaskan bagi saya sebenarnya masalah seni rupa Indonesia akar Indonesia, tak usah dipikirin, artinya yang sudah ada biarkan jalan yang harus dipikirkan bagaimana kita ciptakan kritikus kritikus seni rupa yang banyak di Indonesia yang bermutu dan banyak argumentasi yang kuat.
Jangan hanya seperti juga bahan-bahan literatur, sekarang sedikit sekali dan banyak yang saya ketemukan justru bahasanya bahasa luar. Nggak ada bahasa Indonesia ini yang anehnya. Jadi gitu aja saya pikir kita lupakan saja masalah itu karena menurut teman saya Wahyu Wijaya sekarang orang nggak mikirin lagi aliran apa dalam melukis, pokoknya bikin lukisan. Sekian dan terimakasih.
Krishna Mustajab
Saya masih kurang percaya bahwa tidak akan ada lagi yang akan bikin atau manuver0 seni lukis Eropah dan Amerika lagi. Mungkin beberapa bulan dan tahun mendatang ada yang ingin menggumuli gedung DPR seperti yang dilakukan oleh di barat. Atau membungkus Monas dengan kain hitam, karena memang hak mereka, tapi kalau bisa saya inginkan tenaganya dan pikirannya ikut memperkuat bagaimana memperkuat barisan seni teman-teman pelukis dan teman-teman senirupawan kita. Memang hak itu cocok pada mereka.
Hardi.
Sebagai contoh kongkritnya Ancol juga baru ngebom publik seni rupa kita yang ditulis di Kompas dengan huruf-huruf gede oleh Efik Mulyadi tanpa dari pihak Ancol sendiri menjelaskan apa tentang konseptual Art itu, ini bisa positif bisa negatip.
Positipnya orang oh begini konseptual Art mbah Broto menangkap bayangan. Meyakinkan tidak andaikan, yang bikin J.B. yang sekarang sedang ngetop di Eropah dan Amerika. Saya kira kita masuk di Studio Jurnal. Tapi karena mbah Broto, sedangkan argumentasi dari pihak Ancol begini-begini juga kurang meyakinkan oleh seseorang saya rasa sebelum Ancol ngebom-ngebom dengan istilah-istilah ini akan berkesampaian, cuma untuk publik seni rupa juga bisa jadi racun.
Saya rasa itu mungkin Sdr. Efix Mulyadi bisa interviu Amrus atau dengan Suluh Darmaji atau juga mungkin yang punya gagasan kalau tidak telah disebarkanlah racun itu.
Nyoman Tusan (Moderator)
Saya kira hal-hal yang disarankan, namun sekali lagi terlalu sulit barangkali menciptakan kritikus itu tidak bisa diciptakan dan ternyata sangat dibutuhkan oleh kita sekalian. Untuk menunjang ide-ide yang sementara ini barangkali cukup banyak. Yang ke 2 masalah penulisan yang paling simpel pun (sederhana) sebenarnya masih sulit ditulis. Oleh karena masalahnya adalah kita belum bisa kalaupun kita baca beberapa tulisan-tulisan seni rupa di surat kabar, paling tidak hanya sekedar reportase saja, tidak lebih dan tidak kurang
Pembicara Sdr. Narsen
Suatu istilah yang menggelisahkan barangkali karena Pak kis mengatakan bahwa bagaimana membuat karya itu berbataskan Indonesia barangkali ada istilah yang baik lagi yang sering kita dengar juga dalam melestarikan kebudayaan Nasional. Mungkin itu paling bagus, karena dalam artian melestarikan itu kita sulit ke karya seni yang sifatnya etnis juga sekaligus memberikan suatu tantangan kreatifitas yang besar. Untuk menjaga kesinambungan/kontinuitas itu, maka sebagai seorang pelukis muda misalnya secara tidak langsungnya anak Indonesia dengan sendirinya mempunyai visi, jelas visi Indonesia. Di sini saya hubungkan visi itu adalah tantangannya kreatifitas, itu penting memang. Kemudian mengenai kreatifitas Ini barangkali sudah dibicarakan oleh beberapa peserta barangkali untuk mudahnya, misalnya kalau titik tolak etnis ternyata etnis itu sendiri membaur. Misalnya kita tertarik pada kesenian Bali kita tertarik pada kesenian Toraja di mana mempunya bentuk bentuk yang berbeda. Kemudian kita tertarik lagi pada kesenian Kalimantan, misalnya.
Dengan sendirinya saking banyaknya etnis ini kita mempunyai suatu dasar berarti titik tolak kita itu sebetulnya kreatifitas. Saya pikir itu Sdr. Edi katanya cekak tapi kena bahwa kebanyakan kita dan pengamat-pengamat kesenian cenderung masih memelihara kesenian etnis ini. Kemudian kurang adanya pemberani pemberani yang betul untuk mengangkat seni rupa atau gejala perkembangan seni rupa. Sebagai contoh, misalnya pembicara/penganalisaan suatu karya tentang karya seni lukis atau bukan. Kalau sekilas itu pembicaraannya bagaimana kita bisa menampilkan atau menguraikan kalau tidak ada Soedjojono, Affandi kemudian generasi generasi yang lain kalau hanya sekitar itu. Itu suatu kekerdilan barangkali atau suatu keplokan. Kemudian saya ucapkan sangat terimakasih sekali kepada panitia sarasehan. Mungkin sarasehan ini cukup luar biasa dan paling baik karena banyak sekali pengunjung pengunjung yang berlainan disiplin seperti Bp. Soedjoko. Pak Kusnadi meskipun tidak melukis seorang pengamat yang baik dan getol itu hadir. Kemudian seniman seperti Nashar misalnya hadir juga kemudian seniman-seniman yang akademis dan semi akademis misalnya macam Sdr. Hardi, kemudian seniman yang otodidak seperti peserta di Ancol ini. Dalam diskusi cukup santai. Saya kenal betul panitia ini.
Nyoman Tusan
Saya kira beberapa hal telah kita sepakati bahwa kalau boleh saya simpulkan, kita telah menyadari besar atau tidak bahwa seni lukis Indonesia ada. Apakah wujudnya seperti Affandi. Soedjoyono, seni kedaerahan.
Yang kedua bahwa kita sering berjuang. Yang ketiga, bahwasanya apa yang kita inginkan adalah perjuangan yang terus menerus dari para seniman dan para pemikir untuk bisa mengetengahkan karya-karya kita hidup terus, sehingga tidak hanya diakui oleh kalangan Indonesia saja tapi juga. Insyaallah orang luar juga bisa mengakul sekalipun saya pribadi, pengakuan luar sebenarnya, apakah itu kita butuhkan?, sebab mengakui diri kita adalah kita sendiri. Soalnya nanti mereka mengetahui sukurlah! Tapi kita tidak perlu mengejar pengakuan-pengakuan yang semacam itu.
Kalau memang kita besar bahwa kita besar. Kalau kecil memang kita kecil, ini harus kita sendiri yang mengakuinya. Akhirnya saya kembali mengingatkan ucapan seorang pelukis dari Malaysia, selama kita berbicara terus terang tentang seni rupa maka kita sendiri akan lupa tentang seni rupa, lupa berkarya akhirnya melupakan pribadi kita. Mudah-mudahan pertemuan semacam ini bisa kita selenggarakan secara kontinyu.
Di mana saya tidak akan lagi melihat bahwa apa yang disinyalir oleh sdr. Hardi karya teman-teman dari golongan akademis yang berbicara, tapi juga teman teman yang benar benar berjuang dari bawah, sehingga kita pun akan bisa menemukan ide-ide baru yang barangkali ditemukan jauh di dasar lumpur tanah air kita. Sekian.
TANGGAPAN-TANGGAPAN
Amrus
Seni lukis Indonesia modern dimulai oleh Raden Saleh. Dari catatan pelajaran, Raden Saleh telah membuat lukisan antara lain lukisan Pangeran Diponegoro, banteng dengan singa sedang berkelahi hutan terbakar dan lain-lain masih banyak lagi. Di samping itu dia juga melukis tuan-tuan besar Belanda, saya kira kita bisa mengerti hidup seorang Raden Saleh yang sepenuhnya dibantu oleh orang Belanda, dan persyaratan melukisnya adalah pola Eropa seterusnya pelukis Abdullah juga demikian, namun bobotnya masih dibawah Raden Saleh, setelah itu muncullah Basuki Abdullah dan qua artistiknya juga pola Eropa tetapi Eropa nya Art Shop, teknis melukisnya pola Eropa yang seniman Eropa sendiri tidak menggemarinya karena mempercantik obyeknya.
Dalam perkembangan Kebangkitan Nasional kita lihat golongan intelektual kita sudah mampu berbicara dan menerima pikiran-pikiran mereka, misalnya berbahasa Belanda membaca buku-buku Belanda dan menerima pikiran mereka dan pada waktu itu pelukis-pelukis Indonesia pun mampu melukis seperti pelukis Eropa.
Dari sini kita mulai titik yang besar pada perkembangan seni rupa kita, lantas seni lukis baru ini berkembang masuk ke zaman Jepang dan seterusnya maju bersama sama perjuangan. Kemerdekaan timbulnya Sanggar ambil bagian dalam perjuangan fisik, timbulnya sanggar inl secara pararel dengan munculnya tokoh-tokoh Seni Lukis Indonesia. nama mereka sampai ke daerah-daerah dengan segala macam polah laku dan sikap keseniannya. Bagi pelukis-pelukis daerah maksud saya di atas tahun 50 an, seperti Yogyakarta merupakan tempat ilmu melukis yang paling Ideal, maka sekitar tahun 50 an sampai tahun 55 an dibanjirilah Yogyakarta oleh seniman dari daerah untuk belajar melukis dan sekaligus juga ingin menjadi pelukis yang baik, mereka memasuki sanggar-sanggar yang mempunyai nama harum, termasuk ASRI juga. Apa yang didapat adalah ilmu melukis, teknis dan syarat melukis pola Eropa juga dengan pengetahuan yang lebih lengkap dari apa yang pernah dikerjakan oleh Raden Saleh itu sendiri.
Lebih beraneka ragam aliran, kebebasan, kenyentrikan, mencari gaya sendiri, berpribadi, mempunyai kepribadian dan seterusnya. Namun masih pola Eropa juga, hanya bedanya adalah yang melukis adalah orang-orang Indonesia, penderitaan orang Indonesia, semangatnya dalam berjuang sesuai dengan pandangan politik pada waktu itu dalam perkembangannya muncul pula Seni Rupa ITB yang disertai guru orang asing dan ini juga berkembang karena diteruskan oleh murid-muridnya dari dua pool ini yang saya maksud di sini adalah Yogyakarta dan Bandung mengapa tidak saya singgung Jakarta karena Jakarta
sebenarnya orang-orang dari sana juga yang dominannya seni rupa kontemporer ini di Indonesia.
Dengan cita-cita seperti berikut lukisan-lukisan Yogyakarta bergaya lebih kerakyatan sedangkan gaya Bandung lebih Kosmopolitan, perkembangan pelukis yang disertai kritikus-kritikus seni dasar tolaknya sama-sama pola Eropa. Sebelum timbul peristiwa Gerakan 30 September PKI, Senirupa kita telah terbagi-bagi dalam kubu yang saling berlawanan, namun pola artistiknya masih sama, syarat-syarat pelukisan, penilaiannya, hukum-hukumnya, estetikanya, berorientasi pola barat. Pada tahun 53 sampai tahun 60 an, ada kelainan-kelainan kecil hasil karya-karya pelukis apa yang saya alami antara lain.
1. Batara Lubis dengan menggarap motif-motif daerah, saya pernah menulis tentang Batara Lubis bahwa karya-karyanya merupakan bangunan baru di samping apa yang sudah didirikan Soedjojono, sayang saya waktu itu terlalu muda menyatakan argumentasi.
2. Abbas Alibasyah menggarap menong-menong
3. Amrus menggarap ornamen dalam bentuk manusia.
4. Suhadi menggarap rasa, corak batik dalam lukisannya.
Saya menganggap seni lukis karya lampau adalah cangkokan. jadi masih enak dimakan, seni rupa yang bertolak dari kesenian rakyat, sedikit dan amat sedikit boleh dikatakan hampir-hampir tersisih karena menilai selalu memakai pola barat.
Seni rupa luar negeri yang nongkrong di Indonesia dan dirawat baik-baik para Akademis, seni rupa yang bertolak dari kesenian rakyat, sedikit dan amat sedikit boleh dikatakan hampir-hampir tersisih karena ukuran menilai selalu memakal pola barat.
Mengenai seni rupa barat (Eropa ).
Seni lukis Eropa lahir terus menerus tidak terpotong-potong, dia adalah susunan estetika Eropa yang tersusun kuat dari proses masyarakat Eropa yang maju dengan pesat, dalam masyarakat modern Eropa kelahiran seni rupa modern adalah sesuatu yang harus dan wajar Kalau hukum-hukum estetika Eropa itu lahir di dalam masyarakat industri modern, kita pakal, kita coba-coba terapkan, kita cocok-cocokkan dengan perkembangan manusia Indonesia, akan terjadi hal-hal yang jauh daripada apa yang kita harapkan, dan bisa dianggap tertawaan bagi orang-orang yang mengerti kelahiran seni lukis dunia.
Melukis adalah pengabdian pada Tanah Alr.
Meyakini benar-benar lingkungan hidup kita, dialah sumber materi estetika, didalamnya tersedia bentuk, warna, originalitas, kekayaan ekspresi dan macam-macam yang mampu membedakan seni rupa barat dan rumpun-rumpunnya dalam seni lukis Indonesia. Tahun 55 sampai 60 an, Batara Lubis, Abbas Alibasyah dan Amrus Natalsya sudah sering terjadi dialog/diskusi tentang seni lukis kita adalah seni lukis Eropa yang dikerjakan oleh orang-orang Indonesia bukan seni lukis Indonesia yang datang dari Indonesia, saat itu timbul soal besar, apakah seni lukis Indonesia itu.
Kemudian dalam perjalanan sejarah seni rupa timbul peserta- peserta baru sebagian besar melalui akademi-akademi timbul kejenuhan dan melihat seni lukis kita sudah masuk museum. Mereka menganggap konsep baru dengan seni rupa Indonesia baru, dengan segala macam reaksi pro dan kontra, tetapi semua kejenuhan dari apa yang kita kerjakan adalah semua dari ukuran-ukuran rasa estetika kita.
Timbul suara-suara seni lukis Indonesia belum ada. Seni lukis Nasional yang mempunyai Identitas Nasional belum ada, bermacam- macam pendapat, ramailah pendapat, apa itu Indonesia, apa itu identitas, mulallah orang berbicara patung-patung Asmat, Bali, Nias Batak dan sebagainya.
Belum pernah ada santernya suara tentang identitas ini, dulunya orang berkata nonsen semua itu nasionalis. Kini mulai berpikir menganjurkan pentingnya identitas itu agar tidak lenyap dalam gerak seni rupa dunia. Dalam kenyataan ini saya melihat seni rupa Indonesia terdiri (kalau kita tidak sependapat tidak apa-apa tidak perlu mengeluarkan knalpot). Satu seni rupa Indonesia yang menyatu dengan kehidupan intelektuil Indonesia dan masyarakat adalah seni rupa cangkokan.
Perlu saya terangkan, apa yang berkembang sekarang yang sudah dan dihargai, cat dan alat-alat seni lukis barat dapat digunakan sebagai penunjang, namun bukan faktor yang menentukan, sebab kalau sudah tidak memakai cat minyak rasanya tidak melukis. Seni lukis Indonesia adalah seni lukis yang membumi di Tanah Air. Perlu kritikus yang bertolak dari identitas Nasional ke arah seni lukis dunia.
Seni lukis Indonesia adalah seni lukis yang punya dasar atau akar kesenian rakyat. Seni lukis yang besar tumbuh dari bangsa itu sendiri Seni lukis barat bukan sumber seni lukis Indonesia.
Demikianlah, karena itu saya menerima paper sdr Krishna Mustajab ini.
Abbas Alibasyah
Saudara Krishna dan saudara-saudara sekalian, judul dari paper ini bagi saya tidak ada masalahnya, judulnya itu sendiri. Karena ini adalah hasrat dari kita semua untuk melihat wajah dan hati kita sendiri. Namun setelah ajakan dan judul itu lahir hari ini sebagai suatu kelahiran kembali dari pada judul-judul yang telah diungkapkan para pemuka kita lebih dahulu.
Walaupun namanya lain, tapi hasratnya sama, antara lain Persagi pernah mencari corak Indonesia, kemudian usaha-usaha saudara kita di Yogya, Bali Bandung, dimana semuanya itu menciptakan atau mewujudkan seperti apa yang diharapkan saudara Krishna itu.
Namun dilain pihak kalau kita bicara tentang corak Eropa atau Amerika, orang Eropa atau Amerika sendiri menurut pengakuannya sudah diserbu oleh kesenian yang ketimuran dan penyerbuan ini rupa- rupanya berhasil. Sehingga corak Eropa yang waktu itu ada ternyata telah ditinggalkan orang Eropa dan orang Amerika itu sendiri dalam pengertian corak. Namun mereka tetap bangsa Eropa dan bangsa Amerika. Kalau kita melihat sesuatu dari wujudnya saja, itu mungkin kurang mantap. Karena suatu perwujudan merupakan manifestasi dari pada suatu kejiwaan yang didalamnya termasuk berbagal aspek
Berbicara tentang akar Indonesia, ini sama dengan berbicara tentang kebudayaan Indonesia, bicara tentang dimensi kehidupan Bangsa Indonesia ini bisa luas. Karena aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan itupun baik dalam pemikiran maupun dalam kenyataan, merupakan sesuatu yang hidup dan berkembang sesuatu yang nanya dan menjawab, sesuatu yang menyerang dan mempertahankan, sesuatu yang tersenyum dan yang mencep. Secara keseluruhan merupakan kenyataan hidup pergaulan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa diluar Indonesia. Dilihat dari segi kemanusiaan secara universit, sesuatu yang wajar, yang tidak perlu dianggap sesuatu barang yang negatif, tetapi barangkali yang diresahkan apabila kita kehilangan. Kehadiran kita sebagai Bangsa, saya masih optimis kita masih hadir dan kita cukup berkomunikasi dengan bangsa itu sebagai pribadi. Namun saya ingin menanyakan dalam hal ini kepada Saudara Krishna, karena konteksnya sudah menyikut dimensi kehidupan dan dimensi perjuangan bangsa kita, saya ingin tahu seni rupa Indonesia dalam konteksnya, di dalam karakter dan Nation Building dalam fungsinya yang edukatif, dalam fungsinya yang komunikatif dalam fungsinya yang kreatif, ini mohon diuraikan barangkali kita bisa melihat ini suatu keseluruhan yang memberi kegamblangan dalam melihat segala sesuatu yang kita hadapi sekarang ini.
Sekian dulu
Nyoman Tusan (Moderator).
Barangkali Affandi atau barangkali juga Kartika, yang berani berjuang dalam arti tanpa menunggu undangan. Sebab selama ini pelukis-pelukis yang kita anggap telah established sudah jadi, belum berani melangkah. Jangankan ke Eropa, ke Malaysia pun tidak berani berpameran, semata- mata hanya masih menunggu undangan. Kapan ada undangan dari Belanda, dari Amerika untuk berpameran disana. Secara pribadi belum ada yang berani, juga belum ada keberanian untuk melangkah kedunia lain dalam arti ke Kalimantan ataupun ke Pusat pusat seni tradisional kita, itu tidak ada. Saya katakan belum ada yang berani menetap tinggal sebulan dua bulan di daerah pusat seni tradisi kita. Sehingga makin jauhlah mereka dengan kehidupan yang sebenarnya bisa memberikan isi pada karya-karya mereka.
Saya teringat pada pembicara seorang Malaysia pada waktu pertemuan pelukis-pelukis di Fukuoka Jepang. pelukis-pelukis Asia di Jepang berbicara soal Eropa, berarti secara psikis (kejiwaan) mereka tunduk pada kondisi Eropa. Selama itu mereka tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri. Selama mereka tetap berbicara dari sekian tahun sampai sekarang, berbicara soal kebesaran pelukis-pelukis Eropa, maka selama inipun mereka tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri. Dan ketiga, kaldah-kaldah seni rupa konvensional telah begitu kuat pada diri kita masing-masing, sehingga setiap ada kehadiran hal-hal yang baru, yang barangkali memberikan prospek kaidah-kaidah baru. kita jadi memicingkan mata. Sebab mereka sedang berjuang, kita sedang menghukum mereka dari kaidah-kaidah seni rupa yang sangat konvensional. Sekalipun memang kita akui sebagai kaidah yang universal, yang bisa saja melanda atau mendukung atau menilai setiap karya-karya seni rupa baru. Jadi tiga hal ini yang saya lihat, mengapa kita jadi begitu lamban kalau boleh dikatakan lamban menemukan pribadi kita. Jangan lagi berbicara soal arsitektur, itu saja kita masih terlalu jauh. Selama apa yang dilihat oleh arsitek kita adalah ukuran order yang sangat besar, semua pencakar langit, tidak pernah memikirkan atau menggarap hal-hal yang bersifat rumah kerakyatan Soal seni rupa saja barangkali kita masih berbicara terlalu jauh. Namun usaha-usaha semacam ini sudah bisa kita harapkan, kalau kita dalam berbicara melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat Eropa, maka kans kita semakin dekat untuk menemukan diri kita masing-masing
Itulah beberapa tambahan sebagai apa yang dikatakan Pak Amrus, oleh Pak Abbas, dan selanjutnya saya buka kesempatan untuk Pak Hardi.
Hardi
CK saya akan melayani pembicaraan demikian, saya rasa masalah Identitas atau akar kebudayaan Indonesia selalu terjadi demikian, sebagal ungkapan begini, Seni Rupa itu ibarat seorang ibu yang kawin dengan banyak orang, bermacam-macam, ada petani dan ada orang kota, melahirkan bayi Bayi yang lahir seorang ini yang namanya kepribadian itu dituntut terus, kamu itu anak siapa, kamu itu anak siapa dst. Ini nampak jelas dalam seni lukis, seni rupa, karena apa? Karena dalam kesenian ia menjadi beban sepertinya kesenian dituntut terus untuk memikul beban identitas Ini persoalan identitas dan persoalan kesenian sebenarnya sudah menyangkut soal kepribadian Seniman-seniman yang lugunya kayak Ida Bagus Made, Nyoman Lempad. Affandi tidak pernah dimintai pendapatnya dan dirumuskan pendapat-pendapatnya itu Artinya yang paling mendominir pembicaraan-pembicaraan juga orang. Akademi, termasuk Saudara Kusnadi, Nyoman Tusan, Abbas Alibasyah atau Hardi yang muda juga, ini lebih dipercaya dari Affandi. Affandi dianggap orang lugu tidak bisa merumuskan persoalan. Dia orang lugu. Nyoman Lempad, orang lugu, hal yang demikianlah yang membikin seni rupa Indonesia semakin menjorok jauh, dituntut terus untuk memikul beban Identitas. Pada hal tidak jauh-jauh disini, di Pasar Seni pun ada pelukis Indonesia mempunyai identitas Indonesia. Misalnya lukisan Mbah Broto yang berjudul Mariam itu mengakar sekali segi mistiknya. Ada lagi seni lukis Indonesia seperti Affandi. Affandi produk kolonial kita Ildak bisa mengatakan Affandi tidak Indonesia. Dia ditempa oleh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lukisannya bersemangat Ada napas Eropa ada napas ketimurannya. Dalam pewarnaan misalnya, itu orang Eropah yang tahu, bukan hanya orang Indonesia sendiri. Itu dapat dilihat dibuku lukisan Affandi yang ditulis orang Eropah mengatakan, warna-warna ini warna Indonesia. Itu hasil perkawinan antara Eropah dan Indonesia lahir namanya pelukis Affandi.
Demikian juga Soedjojono, dalam revolusi Generasi Soedjojono dan Affandi memiliki tanda-tanda yang jelas tentang Indonesia. Kalau tidak orang Bule tidak mau mengoleksi lukisan Affandi. Karena mereka bertujuan akan mencari corak Indonesia. Kita tidak usah jauh-jauh lagi mencari corak Indonesia di Bali Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, kemudian patung aliran Nyi Kuning kemudian lukisan gaya Kamasan itu semua Indonesia. Bali ya Indonesia cuma perbedaannya untuk sekarang kenapa ditutup-tutupkan, karena Bali sebagai ajang dari tourisme menyerap devisa Bali sendiri yang namanya lukisan Ida Bagus Made, juga dari Rudolf Bonnet. Kita mau terbuka saja persoalannya demikian. Ada lagi sekelompok senirupa baru misalnya, atau sebelum kelompoknya Nashar Gengnya Aming atau Sadeli yaitu sapihan pada Sadali, Aming Prayitno sedangkan De Buve dalam cara membikin tekturnya dan macam-macam, digarap habis-habisan. Saudara Nyoman Tusan sudah tahu pernah sama-sama saya ke Nederland. Tapi itu dikuatkan oleh jurl-juri.
Retakan tanah yang persis lukisan Jean De Buffet dan Antonio Taples juga. Saya tidak menggambarkan wujud yang saya gambarkan tanah retakan-retakan tanah. Ini abstraksi itu argumentasi lagi karena pelukis kita sudah berbicara banyak kayak dokter, kayak Insinyur, yang macam kayak begini ditandal ilmiah agak ilmiah dengan sendirinya jelas ilmiah kok. Singkatnya saja beban identitas itu lebih bersifat politis, tidak bersifat apa adanya. Seniman daerah mewarisi kesenian tradisional Seniman kota, Seniman macam Amrus diwarisi oleh dua kutub. Seniman macam Amrus itu seniman daerah yang mentalnya masih daerah tapi hidupnya dikota. Jadi keseniannya menyangkut 2 hal. Yang menyenangi juga orang-orang kaya. Orang-orang yang juga mentalnya daerah dan mental kota semacam begitu, Ini semua seni lukis Indonesia kita nggak usah jauh-jauh mencari akar Indonesia. Asal kita otentik dalam mengamati kehidupan Indonesia, apapun bentuknya soal perumusan jangan terlalu percaya dengan perumusan-perumusan cepat tanpa melihat proses hanya menghasilkan barang jadi.
Mungkin seorang Sardono atau seorang Sentot yang bisa kena pengaruh Martha Graham atau yang lain-lain, atau Nikolai dan lain-lain. Kalau tidak mengamati prosesnya. Proses penciptaan adalah sesuatu hal yang paling penting di amati sehingga munculnya Warhol. Roosenberg segala karena para kritikus disana, para kritisi mengawasi proses penciptaannya, kemudian disyahkan menjadi kesenian lukisan pop yang beridentitas Amerika. Itu semua main-main politik saja. Affandi sendiri mendapat penghargaan karena ketimurannya oleh Dag Hammarschold, itu jelas sekali argumentasinya. Kita harus punya harga diri kita bisa angkuh kita bisa tegak, kita bisa menciptakan karya-karya seni kita yang mengakar pada masyarakat, kalau saya hidup di kota ya masyarakat kota Karena keangkuhan mengatasi tantangan, kegagalan kita dalam melahap tantangan yang menjadikan kesenian Indonesia akan memiliki publik. Kita tidak perlu mengemis-ngemis publik orang luar negeri tetapi orang luar negeri akan datang ke tempat kita untuk melihat. Terima kasih
Krishna Mustajab
Beberapa hal saya setuju dengan pendapat saudara Hardi, tetapi beberapa hal saya belum setuju karena saya tidak tahu jalan keluarnya Saya setuju sekali pendapat saudara Hardi yang menyinggung masalah pelukis Bali misalnya. Ida Bagus Made, Lempad, atau Cokot. Yang saya ingin himbau kepada para penulis atau kritikus seni rupa bagaimana menokohkan beliau ini dengan segala argumentasinya, sehingga bisa dibuat suatu penjelasan yang lebih lengkap atau dibukukan sehingga karya Cokot misalnya bisa menjadi salah satu tonggak dalam perkembangan Indonesia melahirkan tokoh pembaharu. Karena sementara ini belum ada yang menokohkan tokoh begitu lengkap. maka menjadi tujuan kita lah untuk bisa menjelaskan berbagai penjelasan lengkap hingga bisa kita terima dengan senang dan bangga. Kalau misalnya tadi diungkapkan lukisan Mbah Broto punya identitas Indonesia, ciri identitas pribadi sebagai bangsa Indonesia, maka penjelasan yang juga atau semacam argumentasi yang lengkap bisa kita terima. Saya kira tidak ada masalah untuk pengakuran dimasa yang akan datang di mana argumentasi tersebut wajar dan bagus. Sekali lagi saya mendukung sekali bahwa apa yang dilemparkan atau dijelaskan oleh saudara Hardi. Hanya saja tentu saja kalau tadi saya tanyakan siapa sekarang yang semacam/selaku pembela-pembelanya ini, mungkin saudara-saudara sekalian tidak mau minta pengakuan cuma sekedar menjelaskan yang lebih lengkap sebagal dokumentasi sejarah saya kira perlu dibuat. Nah ini saya kira perlu dituntut oleh para kritikus oleh para ilmuwan dalam seni rupa untuk membuat suatu argumentasi kalau saya tadi dituntut oleh Bapak mengenal bagaimana corak seni lukis Indonesia tahu Abbas saya sendiri tidak. Terimakasih
Pak Kusnadi
Kami akan berbicara secara umum, saya catat saja jadi tidak berurutan apa yang saya anggap perlu dibicarakan tentang kota itu. Memang ada dua macam kota yang saya rasa perlu diperhatikan saudara pembicara. Kata yang terutama sebagai kota dagang dan kata budaya juga. Ibukota jadi untuk liga kota ini, liga macam kota ini perlu adanya disain masing masing, dimana fungsi yang satu bisa diterima untuk yang lain Jadi tidak bisa disama ratakan kalau pencakar langit. Tidak diperlukan sebab ladang sawah urgen akan habis, kalau semua tidak bertingkat dan sekarang ini sudah banyak pula yang habis, karena tidak bertingkat menurut kami tingkat dua itu urgen sekarang karena ya untuk yang muda diatas atau yang tua dibawah atau bagaimana tetapi kalau selama pembangunan terus menerus tidak bertingkat untuk hidup seseorang itu lama lama habis dan itu akan lebih payah dari pada yang lain. Jadi ada dua macam type kota yang urgen yaitu kota perdagangan, silakan saja bertingkat tingkat, karena memang dibutuhkan dan jaraknya terlalu jauh. Kota budaya hendaknya keaslian Indonesia dapat dipelihara, kita setuju sekali Jadi kota kota budaya itu dan perumahan dimana masalah interior, pasti bisa merupakan peranan yang penting untuk menemukan kekayaan etnis kembali. Jadi kebudayaan Indonesia ciri-cirinya lewat interior mudah sekali digalang eksterior sekedarnya, gardening sekedarnya. Kemudian di Jepang terdapat kota budaya seperti disana sangat diperlukan jika dibandingkan dengan kota kota budaya kita dan kalau tadi yang ditemul saudara Mustajab.
Seorang Jepang bersikap seolah tak acuh terhadap kebudayaan, maka mungkin dia juga bukan orang budaya, jadi tidak bisa diharapkan kalau seorang luar disini menanggapi masalah kebudayaan. Sebaliknya kalau saudara berhubungan dengan konsoler atase Jepang dan dia menjawab begitu itu mengecewakan.
Tentang kepribadian memang ini dibicarakan di Indonesia maupun di luar Indonesia, di Asia pada umumnya jadi masalah. Timbulnya kepribadian, masalah kepribadian ini bukan sesuatu yang eksklusif Disini tidak dibicarakan Dan saya tidak setuju kalau masalah kepribadian itu dihubungkan pembicara orang yang mengalami masa kolonial saja. Karena kepribadian harus dimiliki sekarang seutuhnya juga dan mungkin didalam beberapa hal belum seutuhnya. Misalnya kepribadian seni lukis kita. Mengapa kita di Tokyo mendapat kesan yang bak, bahwa seni lukis Indonesia mempunyai kepribadian yang kuat. mempunyai varian gaya yang kaya seharusnya itu kita bangga dan seharusnya kita melihat kembali lukisan lukisan apa yang diperlihatkan sampai mendapatkan segi positif. Jadi tergantung kepada selecting kita apabila kita dapat menunjukkan karya yang berkepribadian atau tidak didalam maupun di uar negeri. Saya tidak setuju kalau ada anggapan bahwa kita sekarang belum mempunyai unsur kepribadian sehingga dianggap bahwa seni lukis kita itu terutama bersifat copy atau tiruan. Saya menyangkal itu dengan bukti-bukti yang dengan karya bermutu yang menurut saya berunsur Indonesia yang kuat, bahwa bentuk itu tidak satu cap seperti yang dinginkan oleh Usman Effendi itu Jelas. Sekarang kita berada di abad 20 dan berhubungan dengan semua bangsa juga antar daerah, tidak mungkin berstatus satu daerah seperti dulu Digambarkan mengapa cuma mempunyai kepribadian yang jelas dalam seni lukis bisa dengan sendirinya seperti jepang klask juga India klasik, juga Indonesia klasik diberbagai daerah masing masing khas yang dibutuhkan, bagaimana seni baru kita punya kepribadian kita dan tidak mungkin kalau untur etnis itu dimasukan dalam seni klasik kita dengan suatu pola budaya sekarang tidak mendukung lahirnya kepribadian jadi kalau ada seorang pelukis menggunakan unsur sifat kedalamnya dan seni orang bermutu tinggi mengapa tidak Indonesia, kalau daerah lain yang diambil mengapa tidak Indonesia. Menurut saya tiap unsur dari Indonesia, bisa membawa masalah Indonesia dialam seni lukis Lain dalam bahasa harus ada bahasa yang uniform Tapi saja bahasa Indonesia dan tidak mungkin dicampur campur antara bahasa dulu yang sekian banyak. Tapi didalam seni tiap kekayaan daerah bisa mendukung lahirnya seni lukis bergaya Indonesia sehingga dapat disimpulkan bahwa seni lukis Indonesia itu multi corak atau multi gaya, tetapi bisa bernapas Indonesia baru itu. Itu fergantung dari kita, setiap orang kita datang dari setiap daerah, tetapi apakah kita ini tetap mau dikatakan orang daerah itu toh dalam pikirannya, dan tidak Indonesia, Indonesia itu di bentuk oleh semua. Jadi kita semua yang membentuk secara baik Saya kira itu orang Indonesia. Kemudian industrial desain itu di Bandung Memang selama disana ada pejuang pejuang untuk mengherankan kekayaan disain Indonesia kedalamnya pasti tetapi kalau kurang dihiraukan juga akan mencari yang praktis essential mungkin euforian juga jadi saya lebih percaya kepada dua jalan yang ditempuh seperti pemikiran kemarin seolah olah disepakati dan lewat tradisional unsur unsunya diambil etnis dan lewat seni kontemporer universal kemanusiaan, tanpa memandang batas batas bangsa, tapi bukan yang bersipat copy mungkin mula-mula seperti cangkokkan, karna mata kita bisa juga kebelakang melihat dua unsur terus berpikir cangkokan. Tapi kalau unsur itu harmonis dan menyatu apa itu cangkokan? Kemudian orang Indonesia juga bisa dianggap cangkakan, tetap ada unsur yang negraistis antara vasialis antara India dan kebudayaannyapun atau kepercayaannyapun itu macam macam. Tapi saya kira mengapa wayang yang diambil dari India dasar ceritanya, bentuknya total Indonesia tidak seperti wayang India? Disana menunjukan bahwa kreatifitas Indonesia dari dulu memang ada Itu sebagai suatu sumber saja. Unsur Indonesia penting dipelajari dan buku buku kemarin yang di perlihatkan mas Abbas itu memang perlu diteruskan dikembangkan masalah penerbitannya sehingga kita lebih mengenal unsur-unsur Indonesia kita sendiri selanjutnya mengenai apresiasi ini yang perlu di tingkatkan. Kalau ada orang yang kita belum mempunyai kepribadian Indonesia dalam senilukis kalaupun dibatasi yang ketat cap yang saya tidak setuju ada cap itu, tapi ada syarat ada gaya ada irama ada rasa Indonesia. Dan itu hanya terjadi kalau apresiasi orang itu sempit Sehingga semua yang diciptakan sekarang ang sudah baguspun akan bisa tidak punya cap, karena matanya yang yang melihat sempit, jadi apresiasi ini harus dicapkan kalau ada orang yang membilangkan, kalau kita ini sekarang sama sekali belum mempunyai unsur-unsur keindahan dalam seni lukis kalau itu benar bakarlah saja anggaplah seni sebagai dagangan dan seniman seperti Joko pekik itu bisa dagang, tapi kita semua bukan pedagang oleh karena itu saya yakin bahwa karya kita itu menurut unsur-unsur Indonesia Tidak semuanya tapi kita harus melihatnya. Tentu bukan dalam seni lukis saja kita mencari kepribadian tapi dalam segala hal. Dalam tindak tanduk dalam sikap dalam jalan berpikir dan sebagainya. Tetapi ke Indonesiaan harus bercampur dengan yang universal kalau tidak bisa menjadi sempit Lukisan Sada Andai kata ada yang mengetahui latar belakangnya itu mirip itu itu mirip itu saya yakin kalau orang itu diadakan pameran, yang ada di Eropa dan Sadali. Pasti Sadali mempunyai ciri ciri sendiri juga Bukan orang di Eropa itu, saya yakin bahwa abstrak di Indonesia sudah lama di galang, sejak Paines Christi sudah membawakan unsur unsur abstrak yang dimiliki yang magis. Kemudian identitas itu harus dilahirkan dari semua macam bentuk segala kemungkinan tapi dengan segala macam semangat yang mau mendirikan kepribadian itu. Jadi kesempatan saya tidak setuju kalau ada orang yang berkeinginan konsepnya itu saja yang diterima kita harus sama sama menyusun konsep itu yang sehat dan yang luas.
Sekian
Krishna Mustajab
Teknik yang tadi diuraikan, memang saya kira saya tidak membantah juga dalam tulisan saya, bahwa wayang kulit menang hebat ia sebagai hasil ciptaan putra putri terbaik Indonesia. Tapi yang menjadi kegelisahan saya kenapa pada waktu Pelukis-pelukis atau penulis di Indonesia menyebut Rusli punya warna Asia, kemudian dalam bulan ini Juga saya baca ada seorang kolektor Belanda, mungkin kalau tidak salah Prof Isaiander? Mengatakan bahwa lukisan Rusli bukan warna Indonesia, tidak ada kritikan atau seorang seni rupa atau seorang pelukis Indonesia yang menjawab pernyataan prof Isaliander tersebut. Juga pada waktu seorang musisi luar negeri mengatakan tidak ada musik Indonesia Dan tidak ada seorang penulis kritik musik yang biasanya banyak terdapat di koran koran tidak ada yang menjawab Juga pada waktu ini yang hanya saya dengar sepintas yang kemungkinan ada kebetulannya bagai pada waktu Aibo kridi ditanyakan kesemuanya mengenai lukisan Affandi dia hanya mengatakan pelukis Affandi bukan pembaharu dari seni lukis dunia. Artinya seorang pelukis Indonesia yang bisa menambah satu identitas yang bertolak dari seni lukis Indonesia menjadi seni lukis dunia Kenapa itu tidak ada jawaban-jawaban dari kritikus atau pembela-pembela dari pelukis-pelukis kita yang gigih Menyatakan bahwa seni lukis Indonesia telah ada identitasnya dan ini tidak pernah saya baca sebagai suatu pembelaan, yang saya anggap bahwa mungkin ya tidak perlu dilayani pertanyaan-pertanyaan orang asing yang begitu gegabah menulis dalam interoirnya di koran-koran Tapi saya kira kalau memang apa itu tidak dibaca, mungkin mungkin juga tidak dibaca saya menyesal sekali bahwa tidak ada bantahan bantahan yang terlontar dari pelukis atau kritikus Indonesia, kemudian saya kira yang lainnya tidak ada yang bertentangan. Mengenal kota. bukan saya membantah adanya gedung bertingkat, saya memang setuju cuma alasan alasan beberapa insinyur yang juga saya temui bahwa memang menggarap interior ini yang punya ciri-ciri Indonesia lebih gampang dari pada exteriornya, tapi kalau dia itu menyatakan lebih gampang, saya kira juga masih ada harapan bahwa exteriornya bisa digarap, yang bisa punya watak atau ciri yang dihasilkan sebagai bangsa Indonesia dan pameran di Tokyo yang katanya bagus tapi kemarin juga mengatakan dan dia ingat bahwa waktu Indonesia pameran di New York tahun 70 Itu ada seorang yang melaporkan bahwa kritikus disana menyebutkan Indonesia ketinggalan 40 tahun, dan tidak ada kritikus atau pelukis Indonesia yang membantah ini. Ini yang saya sayangkan atau saya menyesal. Pembelaan-pembelaan terhadap perjuangan pelukis Indonesia ini kurang dirasakan di percaturan dunia. Saya kira juga pemerintah terlalu banyak menganak emaskan kesenian lainnya. Atase-atase Kebudayaan atau Duta sebab yang diluar negeri kalau mengadakan memajukan kesenian itu. Exclusive seni rupa saya kira ini yang juga perlu disadurkan Ini memang menyangkut segi Politik tapi perlu digalakan Pameran-pameran di luar Negeri ini Karena sebagai orang daerah dulu juga kita pada waktu bisa pameran di kota Itu sudah bangga sekali. Waduh kita pameran di kota kita dekat dengan suara suara yang di kota, tapi pada waktu pameran di ibukota lain lagi yang kita bandingkan pameran apa Igi yang karya-karya kami dengan pelukis-pelukis di ibukota mangkinkah masih kalah sama karya- karya yang ada di ibukota atau di Indonesia. Indonesia juga saya harapkan tidak peka dengan suara-suara yang hebat hanya di dalam negeri tapi bagaimana kita melemparkan sebagai warga negara dunia ini tidak lagi terpesona dengan kehebatan isme-isme yang ada di luar negeri. Tapi tadi saudara Hardi begitu hebat atau begitu setuju saja menerima, bahwa mungkin cokot kita, kita orbitkan mungkin bagus made kita, kita orbitkan sebagai seni lukis Bali atau Indonesia yang seksi Bali tapi begitu Indonesia, tidak hanya versi Jakarta. Tetapi Indonesia Ini yang saya sesalkan tidak ada. Kalau kita dikatakan orang luar negeri dan kita tidak menjawab saya menyesal. Dan saya sendiri tidak menjawab karena saya kira ini posisi atau peran yang lebih pandai menulis ini yang saya harapkan bisa membantahnya, kalau ada orang asing yang seenaknya menyatakan seni lukis Indonesia.
Pak Kusnadi
Kalau kita kebetulan tidak membaca orang mengkritik itu. Kami mohon saudara yang mempunyai itu arsipnya disampaikan kepada kita. Nomor dua, bahwa saya kepada seorang pelukis Indonesia yang di lembaga Indonesia Amerika, membilangkan kita tidak mempunyai kepribadian saya tidak menjawab. Dan saya kira saudara juga membaca. Jadi kalau orang luar negeri tadi juga lengkap literaturnya, dia juga akan tahu bahwa itu sudah dibantah Kalau kita tidak tahu saya minta saudara mengirim tulisan orang luar negeri itu. Karena mungkin saudara dekat sebenarnya dengan orang negeri itu pertama. Jadi kita yang lalai tapi minta diingatkan hanya itu saya kira yang ingin saya tambahkan. Tapi ada satu lagi yang penting yang menyebabkan saya datang kesini. Saya kira sebulan yang lalu saudara pidato di TIM agak lain nadanya. Di sana 100% menghantam kita belum punya apa apa. Jadi kita akan dikatakan dengan kepingan berat Saya tidak begitu menyetujui, tapi nadanya ke sana, harus diakui. Tapi jangan bilang misalnya ada revisi bahwa nadanya kita ini sudah mulai sudah melangkah dan tidak baik. Dan inilah revisi ini menunjukkan bahwa orang dalam satu bulan itu kita tumbuh, di dalam ke arah berpikir keseimbangan berpikir itu saja. Sebab jika itu direkam orang luar negeri apa yang saudara bacakan di TIM itu ya kita malu semua. Jadi jangan sampai memakai antek berat memakai ekor berat dan sebagainya, saya tidak setuju. Di sanalah biasa, bahwa kita terpengaruh barat. Terlalu banyak, tapi kita sudah mulai melangkah. Terima kasih.
Pasar Seni 19 April 1954Â
Editor: Amrus Natalsya
*Ditulis ulang dan diposting olehÂ
Ipon Semesta Ketua Persegi (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)
10 November 2024, Jelang 50 Tahun Pasar Seni Ancol Jakarta.Â
Ulasan artikel ini yang merupakan artikel akhir dalam buku Apresiasi Seni bisa di baca di artikel saya selanjutnya yang berjudul:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H