Pada, awalnya kebudayaan barat yang datang ke Indonesia yang bersama-sama orang-orang Portugal yang kemudian akui bangsa Belanda setelah beratus tahun yang lampau sampai saat kita mencapai kemerdekaan penuh kiranya telah merubah sebagian cara cara hidup bangsa Indonesia terutama yang hidup atau tinggal di kota- kota.
Keinginan untuk melepaskan diri dari keterbelakangan dan hasrat yang begitu besar untuk dapat segera mengejar ketinggalan kita dalam hal ilmu atau teknologi modern banyak telah menciptakan efek sampingan yang berlebihan yang kurang menguntungkan diri kita sebagai bangsa yang termasuk bangsa tertua di dunia ini. Suatu resiko yang memang sulit untuk dihindari dalam kehidupan modem ini dan yang memang selalu memerlukan pengorbanan.
Meskipun demikian, tentu saja pengorbanan ini pun harus kita jaga agar tidak sampai kita harus juga mengorbankan harkat kita sebagai bangsa hanya karena kita begitu bermaksud ingin memburu ketinggalan teknologi atau hanya karena ingin disebut bangsa yang moderen saja. Memang perlombaan untuk mengejar ketinggalan kita dalam teknologi ini telah mengakibatkan kita selalu mengalami goncangan-goncangan pembaruan yang terus menerus. Dan peristiwa itu kebanyakan kurang kita sadari karena kita keburu silau kembali yang tak kunjung hentinya selama ratusan tahun ini menatap bergelimangnya hasil-hasil teknologi baru yang membanjir ke negeri kita. Sejak masuknya kereta api masuknya mobil, listrik dan seluruh tetek bengek yang memakai tenaganya, busana dan cara memakainya, cara makan kita seluruh perabot rumah tangga kita meluapnya barang-barang kelontong yang begitu hebat sehingga seringkali kita telah kehilangan daya kontrol menghadapi pengalaman yang serba baru dan menakjubkan yang tidak jarang sempat pula menggoncangkan jiwa kita sehingga tingkah laku kita serba penuh kepura-puraan pada waktu kita sedang tenggelam dalam pengaruhnya, kiranya hal tersebut juga harus kita akui.
Belum lagi masa ini dimana kita harus juga menghadapi pembangunan gedung-gedung yang mencakar-cakar langit pembangunan industri raksasa, pembangunan armada di segala bidang tidak sedikit para pemimpin kita telah terjebak salah dalam menafsirkan perkembangan yang ada di barat karena hal tersebut telah disangkanya bahwa itulah satu-satunya jalan menuju ke dunia modern Sehingga sebagai akibatnya kita terbawa ke alam pola kebudayaan barat dengan segenap cirinya yang sudah tentu tidak selamanya cocok dengan kondisi kita, dan bahkan banyak yang bertentangan dengan alam jiwa kita.
Adanya titik-titik yang melegakan seperti memang sudah menjadi kodrat alam bahwa sebagian di antara kita lama-lama sadar, seakan ada sesuatu yang telah mengarahkan bahwa segala sesuatu yang kita terima hendaknya selalu kita coba untuk disesuaikan dengan kondisi diri kita, sehingga sedikit demi sedikit telah terjadi penyaringan pengaruh yang tadinya begitu membutakan yang datang dari luar tersebut
Goncangan pembaruan (meminjam istilah Alvin yang terkenal itu)
tentu saja tidak hanya telah menghempas sikap mental sebagian masyarakat kita, atau banyak para pemimpin kita sejak puluhan tahun yang lalu, tetapi pada mulanya juga pada seniman-seniman kita, dan pada pelukis-pematung kita.
Pengaruh lingkungan yang berkembang tumbuh menjadi ke barat-baratan, pengaruh reproduksi baik seni patung maupun seni lukisnya pada awal pertamanya sering cukup lama menghambat kekuatan kreatif para seniman seni rupa. Tetapi dalam perkembangannya kemudian setelah melampaui masa-masa pengendapan maka makin berubahlah keadaannya, dari yang semula berperan sebagai epigon kemudian beralih ke peran mewakili ekspresi/ gambaran lingkungannya yang lebih wajar, sehingga pada karya-karya mereka akhirnya tersentuh suasana ke Indonesiaannya.
Banyak seniman telah meninggalkan kota tempat tinggalnya hanya untuk mencari suasana atau obyek pelukisan di desa-desa, untuk mendekati lebih akrab sumber-sumber lain yang khas dan yang masih tersisa.
Kesulitannya tentu saja hal tersebut telah banyak menghabiskan biaya, sedangkan studi lewat buku-buku tentang seni Indonesia sangat sulit kita temukan bukunya.
Memang untuk menjaga hubungan kita sebagai anggota masyarakat dunia atau bagaimana kita menempatkan diri dengan konstelasi dunia ini, kita tidak dapat menutup diri terlalu ketat, tetapi kita juga tentunya tidak mau mengorbankan seluruh kota kita menjadi kota satelit New York. Tokyo atau Hongkong.