Walaupun namanya lain, tapi hasratnya sama, antara lain Persagi pernah mencari corak Indonesia, kemudian usaha-usaha saudara kita di Yogya, Bali Bandung, dimana semuanya itu menciptakan atau mewujudkan seperti apa yang diharapkan saudara Krishna itu.
Namun dilain pihak kalau kita bicara tentang corak Eropa atau Amerika, orang Eropa atau Amerika sendiri menurut pengakuannya sudah diserbu oleh kesenian yang ketimuran dan penyerbuan ini rupa- rupanya berhasil. Sehingga corak Eropa yang waktu itu ada ternyata telah ditinggalkan orang Eropa dan orang Amerika itu sendiri dalam pengertian corak. Namun mereka tetap bangsa Eropa dan bangsa Amerika. Kalau kita melihat sesuatu dari wujudnya saja, itu mungkin kurang mantap. Karena suatu perwujudan merupakan manifestasi dari pada suatu kejiwaan yang didalamnya termasuk berbagal aspek
Berbicara tentang akar Indonesia, ini sama dengan berbicara tentang kebudayaan Indonesia, bicara tentang dimensi kehidupan Bangsa Indonesia ini bisa luas. Karena aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan itupun baik dalam pemikiran maupun dalam kenyataan, merupakan sesuatu yang hidup dan berkembang sesuatu yang nanya dan menjawab, sesuatu yang menyerang dan mempertahankan, sesuatu yang tersenyum dan yang mencep. Secara keseluruhan merupakan kenyataan hidup pergaulan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa diluar Indonesia. Dilihat dari segi kemanusiaan secara universit, sesuatu yang wajar, yang tidak perlu dianggap sesuatu barang yang negatif, tetapi barangkali yang diresahkan apabila kita kehilangan. Kehadiran kita sebagai Bangsa, saya masih optimis kita masih hadir dan kita cukup berkomunikasi dengan bangsa itu sebagai pribadi. Namun saya ingin menanyakan dalam hal ini kepada Saudara Krishna, karena konteksnya sudah menyikut dimensi kehidupan dan dimensi perjuangan bangsa kita, saya ingin tahu seni rupa Indonesia dalam konteksnya, di dalam karakter dan Nation Building dalam fungsinya yang edukatif, dalam fungsinya yang komunikatif dalam fungsinya yang kreatif, ini mohon diuraikan barangkali kita bisa melihat ini suatu keseluruhan yang memberi kegamblangan dalam melihat segala sesuatu yang kita hadapi sekarang ini.
Sekian dulu
Nyoman Tusan (Moderator).
Barangkali Affandi atau barangkali juga Kartika, yang berani berjuang dalam arti tanpa menunggu undangan. Sebab selama ini pelukis-pelukis yang kita anggap telah established sudah jadi, belum berani melangkah. Jangankan ke Eropa, ke Malaysia pun tidak berani berpameran, semata- mata hanya masih menunggu undangan. Kapan ada undangan dari Belanda, dari Amerika untuk berpameran disana. Secara pribadi belum ada yang berani, juga belum ada keberanian untuk melangkah kedunia lain dalam arti ke Kalimantan ataupun ke Pusat pusat seni tradisional kita, itu tidak ada. Saya katakan belum ada yang berani menetap tinggal sebulan dua bulan di daerah pusat seni tradisi kita. Sehingga makin jauhlah mereka dengan kehidupan yang sebenarnya bisa memberikan isi pada karya-karya mereka.
Saya teringat pada pembicara seorang Malaysia pada waktu pertemuan pelukis-pelukis di Fukuoka Jepang. pelukis-pelukis Asia di Jepang berbicara soal Eropa, berarti secara psikis (kejiwaan) mereka tunduk pada kondisi Eropa. Selama itu mereka tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri. Selama mereka tetap berbicara dari sekian tahun sampai sekarang, berbicara soal kebesaran pelukis-pelukis Eropa, maka selama inipun mereka tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri. Dan ketiga, kaldah-kaldah seni rupa konvensional telah begitu kuat pada diri kita masing-masing, sehingga setiap ada kehadiran hal-hal yang baru, yang barangkali memberikan prospek kaidah-kaidah baru. kita jadi memicingkan mata. Sebab mereka sedang berjuang, kita sedang menghukum mereka dari kaidah-kaidah seni rupa yang sangat konvensional. Sekalipun memang kita akui sebagai kaidah yang universal, yang bisa saja melanda atau mendukung atau menilai setiap karya-karya seni rupa baru. Jadi tiga hal ini yang saya lihat, mengapa kita jadi begitu lamban kalau boleh dikatakan lamban menemukan pribadi kita. Jangan lagi berbicara soal arsitektur, itu saja kita masih terlalu jauh. Selama apa yang dilihat oleh arsitek kita adalah ukuran order yang sangat besar, semua pencakar langit, tidak pernah memikirkan atau menggarap hal-hal yang bersifat rumah kerakyatan Soal seni rupa saja barangkali kita masih berbicara terlalu jauh. Namun usaha-usaha semacam ini sudah bisa kita harapkan, kalau kita dalam berbicara melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat Eropa, maka kans kita semakin dekat untuk menemukan diri kita masing-masing
Itulah beberapa tambahan sebagai apa yang dikatakan Pak Amrus, oleh Pak Abbas, dan selanjutnya saya buka kesempatan untuk Pak Hardi.
Hardi
CK saya akan melayani pembicaraan demikian, saya rasa masalah Identitas atau akar kebudayaan Indonesia selalu terjadi demikian, sebagal ungkapan begini, Seni Rupa itu ibarat seorang ibu yang kawin dengan banyak orang, bermacam-macam, ada petani dan ada orang kota, melahirkan bayi Bayi yang lahir seorang ini yang namanya kepribadian itu dituntut terus, kamu itu anak siapa, kamu itu anak siapa dst. Ini nampak jelas dalam seni lukis, seni rupa, karena apa? Karena dalam kesenian ia menjadi beban sepertinya kesenian dituntut terus untuk memikul beban identitas Ini persoalan identitas dan persoalan kesenian sebenarnya sudah menyangkut soal kepribadian Seniman-seniman yang lugunya kayak Ida Bagus Made, Nyoman Lempad. Affandi tidak pernah dimintai pendapatnya dan dirumuskan pendapat-pendapatnya itu Artinya yang paling mendominir pembicaraan-pembicaraan juga orang. Akademi, termasuk Saudara Kusnadi, Nyoman Tusan, Abbas Alibasyah atau Hardi yang muda juga, ini lebih dipercaya dari Affandi. Affandi dianggap orang lugu tidak bisa merumuskan persoalan. Dia orang lugu. Nyoman Lempad, orang lugu, hal yang demikianlah yang membikin seni rupa Indonesia semakin menjorok jauh, dituntut terus untuk memikul beban Identitas. Pada hal tidak jauh-jauh disini, di Pasar Seni pun ada pelukis Indonesia mempunyai identitas Indonesia. Misalnya lukisan Mbah Broto yang berjudul Mariam itu mengakar sekali segi mistiknya. Ada lagi seni lukis Indonesia seperti Affandi. Affandi produk kolonial kita Ildak bisa mengatakan Affandi tidak Indonesia. Dia ditempa oleh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lukisannya bersemangat Ada napas Eropa ada napas ketimurannya. Dalam pewarnaan misalnya, itu orang Eropah yang tahu, bukan hanya orang Indonesia sendiri. Itu dapat dilihat dibuku lukisan Affandi yang ditulis orang Eropah mengatakan, warna-warna ini warna Indonesia. Itu hasil perkawinan antara Eropah dan Indonesia lahir namanya pelukis Affandi.
Demikian juga Soedjojono, dalam revolusi Generasi Soedjojono dan Affandi memiliki tanda-tanda yang jelas tentang Indonesia. Kalau tidak orang Bule tidak mau mengoleksi lukisan Affandi. Karena mereka bertujuan akan mencari corak Indonesia. Kita tidak usah jauh-jauh lagi mencari corak Indonesia di Bali Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, kemudian patung aliran Nyi Kuning kemudian lukisan gaya Kamasan itu semua Indonesia. Bali ya Indonesia cuma perbedaannya untuk sekarang kenapa ditutup-tutupkan, karena Bali sebagai ajang dari tourisme menyerap devisa Bali sendiri yang namanya lukisan Ida Bagus Made, juga dari Rudolf Bonnet. Kita mau terbuka saja persoalannya demikian. Ada lagi sekelompok senirupa baru misalnya, atau sebelum kelompoknya Nashar Gengnya Aming atau Sadeli yaitu sapihan pada Sadali, Aming Prayitno sedangkan De Buve dalam cara membikin tekturnya dan macam-macam, digarap habis-habisan. Saudara Nyoman Tusan sudah tahu pernah sama-sama saya ke Nederland. Tapi itu dikuatkan oleh jurl-juri.