Cindy, apakah arti lukisan ini?” tanya seseorang dari belakang.
“Menatap Aura Kehidupan!” jawabku lantang yang kemudian diikuti oleh tepuk tangan para hadirin.
Di dalam sana terlukis wajahku yang kagum saat pertama kali menyaksikan aura kehidupan. Menatap gambar yang tak seorangpun mampu visualisasikan selain aku. Mata yang ada di dalam sana adalah mata lebar seorang gadis cilik, dari balik jendela rumah lamaku, memandang detak waktu yang terhenti. Tanpa bunyi, tanpa suara, tanpa senandung merdu alam raya ini. Alam bisu.
“Cindy Cecilia“ Saat kutatap lukisan itu sekali lagi, aku teringat saat pertama kali aku mencoba menyebutkan namaku. Dengan suara yang gagap dan lidah yang sangat kaku untuk digerakkan.
“Ini dia bidadari kecilku,” Ibu datang dengan seseorang yang belum pernah aku kenal sebelumnya.
“Mirna! Ini Pak Hasan. Pak hasan! Mirnawati.” Kami tersenyum satu sama lain dan berjabatan tangan.
“Mirna, Pak Hasan ini menawarkan untuk memasarkan lukisanmu yang berikutnya.”Aku mengkerutkan kening meminta penjelasan lebih.
“Lukisan yang sekarang sudah habis terjual seluruhnya, dan permintaan masih banyak. Untuk itu, Pak Hasan akan mempersiapkan showmu yang kedua. Dan yang ini harus dalam persiapan yang lebih matang.” Aku hampir tidak percaya apa yang baru saja kudengarkan.
“Dan tentunya lebih bergengsi,” Pak Hasan menambahkan kalimat Ibuku.
“Kapan?”
“Maret tahun depan, di Singapore.” Aku terperangah.