Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wajah Didalam Kanvas

16 September 2010   15:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam hitungan kesepuluhaku kembali pada lukisanku. Mengilustrasikan perjalananku dalam melukis.

Suatu sore yang indah, seperti biasa para tetangga berkumpul di lapangan volley. Setelah menonton mereka beberapa menit, terbersit niatku melukis pemandangan indah itu, dimana mereka kelihatan ceria berlari-lari menerima bola yang keras, lalu mengarahkan ke depan, setelah itu bola melambung di depan net yang kemudian seorang yang berada di baris depan berlari kencang dan melompat memukul bola dengan keras ke arah lawan. Kuperlihatkan hasil lukisan itu pada Ibu. Ia membelalakkan mata hampir tidak percaya. Dengan bangga Ibu menari-nari sambil memamerkan lukisanku pada para tetangga yang juga terkagum-kagum. Ibu menggendongku diatas pundaknya layaknya seorang ratu. Aku merasa bangga sekali dengan kebahagiaan yang baru saja aku berikan pada Ibu. Karena ia sangat menyukainya, kuperkenankan Ibu menyimpan gambar itu.

Aku tak pernah tahu apa yang ia lakukan pada gambarku. Suatu hari ia datang membawa sebuah tabloid dan memperlihatkan sebuah gambar. Hatiku terlonjak girang saat menyadari bahwa itu adalah gambar yang aku buat.

Perhatian Ibu pada potensiku sangat tinggi. Ia selalu memastikan aku mendapatkan cukup kertas dan crayon. Tidak hanya sampai di situ, di saat umurku bertambah, ia membelikan peralatan melukis yang baru. Mulai dari pewarna air, cat air, cat minyak, hingga kertas berukuran sangat besar, kain dan semua perlengkapan yang aku butuhkan. Kadang aku berpikir, bagaimana caranya ia dapatkan semua ini? Setiap kali aku selesai menggambar sebuah lukisan yang indah, Ibu selalu menyimpannya. Aku mengerti ia akan mengirimkannya lagi untuk dimuat di tabloid, namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Kadang aku berpikir mungkin ia memajangnya atau menyembunyikan di suatu tempat, namun tidak pernah dapat kutemukan. Hanya satu yang aku tahu, semenjak aku melukis setiap hari, Ibu sering ke luar rumah dan pulang membawa oleh-oleh untukku. Kami selalu makan enak dan Ibu sering membelikan aku pakaian yang indah.

Suatu hari aku bertanya tentang kemana gerangan semua lukisanku. Ibu menjawab, tapi tentunya aku pura-pura mengerti walaupun sebenarnya aku tidak mengerti. Keesokan harinya Ibu malah datang dengan seorang lelaki asing.

Lelaki itu tidak membuat aku takut sama sekali. Wajahnya bersahabat, senyumnya manis dan ubannya satu persatu menjorok dari rambutnya yang kejung. Ia sangat tertarik dengan apa yang ia lihat di kamarku. Dinding kamar aku lukis dengan bunga-bungaan, rumput dan binatang-binatang kecil. Kupu-kupu adalah favoritku. Aku kira hal yang aku lakukan pada kamarku itu adalah hal yang wajar dan semua anak bisa melakukannya. Dinding rumah bagian dalam semuanya tergores indah bagaikan taman. Aku tidak tahu bahwa ternyata gambar-gambar itu sangat istimewa.

Lelaki asing itu perlahan-lahan menyiapkan sebuah kanvas kosong, mengambil alat-alat yang aku biarkan berserak di atas meja warna-warni hasil tumpahan bahan pewarna. Ia mengambil kuas dan kemudian menggoreskannya di atas kanvas. Ia memandang ke arahku dan menggerakkan mulut. Aku mencoba mengerti apa yang ia katakan, aku tidak tahu. Tapi ia memulai lukisannya tepat di tengah-tengah kanvas dan menunjuk bagian bawah dan atas, seolah-olah ia berkata ini untukmu dan ini untukku.

‘Kau ingin aku melukis denganmu?’

Aku pun mendekatinya, menempatkan diriku tepat di depannya, menarik sebuah kuas baru dari kaleng cat minyak yang kosong, lalu aku menyatukan diri dengannya. Ia menggoreskan sesuatu, aku membuat garis panjang. Ia menggambar lagi, dan aku menirunya. Lagi dan lagi.

Hasilnya?

Kami telah menciptakan sebuah gambar rumah dibawah naungan matahari, lengkap dengan bayangannya di dalam air sungai yang bening. Ia menggambar rumahnya dan mataharinya sedangkan aku menciptakan sungai dan bayangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun