Bunyi, suara. Dunia ini penuh dengan bunyi yang tidak pernah aku dengar. Mereka punya irama, aku tidak. Aku tidak pernah mendengar irama mereka, aku bahkan tidak pernah sadar bahwa aku juga memiliki bunyi, seperti burung itu. Hanya saja burung itu begitu merdu dan aku, oh ……’
“Uuuuuuuuuu ….” Aku menangis mendengar suaraku yang buruk. Aku menangis karena butuh 12 tahun untukku sehingga bisa menikmati indahnya bunyi alam.
‘Mengertilah apa yang ingin aku katakan Papa, aku mendengarmu. Aku mengerti. Aku tidak punya iramamu, irama Ibu dan irama orang-orang sekitarku. Dan Papa, suaraku buruk sekali.’
Mungkin Papa mengerti bahasa air mataku. Ia mendekapku saat melihat air mata mengalir dari pipiku. Lalu ia memeluk dan menciumku bagaikan seorang ayah.
‘Beginikah suaraku saat menangis?’ Aku terisak-isak. Untuk kedua kalinya hatiku hancur. Pantas mereka memperlakukan aku berbeda, karena aku memang berbeda.
Mulai hari itu pelajaran yang aku dapatkan bukan hanya melukis, tetapi juga irama bahasa. Melatih lidahku menggunakan bahasa indah ini. Bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan dari dunia. Perlahan-lahan aku pun belajar membaca, berhitung dan segala sesuatu yang seharusnya telah kupelajari di sekolah dasar 6 tahun yang lalu.
“Oh, siapa gadis kecil itu?” tanya wanita tadi sambil berbisik.
“Sssst!” jawab yang ditanya. Aku dapat merasakan bahwa ini merupakan pengalaman pertama wanita tadi ke tempat seperti ini.
‘Ah, akhirnya selesai juga.’
Kububuhkan tanda tangan di atas kanvas mengakhiri lukisan ini.
“