‘Kau cantik sekali.’ Dia mengkerutkan keningnya. Kuulangi lagi,
‘
Kau cantik sekali.’ Dia masih tidak mengerti. Kubawa ia pada Ibu dan berkata,
‘Mama, Ibu ini cantik sekali.’ Namun Ibuku juga mengkerutkan kening. Aku hampir tidak percaya dan putus asa. Kukatakan sekali lagi, kugerakkan mulutku, kutunjuk Ibu itu, kutunjuk boneka yang ia berikan kepada kawanku, kujelaskan bahwa ia sangat cantik waktu tersenyum memberikan boneka itu pada anaknya.
‘
Senyummu bahkan lebih manis dari senyum Ibuku.’ Lalu semua orang tersenyum sangat lebar. Aku yakin mereka sangat bahagia.
‘Oh, akhirnya kalian semua mengerti.’ Hatiku lega. Mereka dapat mengerti aku.
Kami kembali bermain.
Di tengah keasyikan kami bermain, Ibuku bersama Ibu kawan kecilku datang dari depan rumah membawakanku sebuah boneka yang sama dengan temanku. Aku bahkan tidak sadar kapan mereka meninggalkan rumah. Namun bukan itu yang membuatku menangis. Untuk pertama kali di dalam hidupku hatiku hancur, padahal aku hanyalah seorang gadis kecil berusia 4 tahun. Hatiku perih tersayat-sayat. Kugigit lidahku, kubiarkan air mata bercucuran di pipiku menerima boneka itu. Ibu menggendongku dengan penuh kasih sayang . Di dalam pelukannya kuberkata,
‘Ibu, aku tidak meminta boneka ini. Aku bukan menangis karena bahagia. Aku hanya bilang, Ibu itu cantik sekali waktu tersenyum memberi boneka pada anaknya.’
Semenjak hari itu aku tidak begitu tertarik untuk pergi bermain bersama kawan-kawan kecilku lagi.