Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wajah Didalam Kanvas

16 September 2010   15:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tidak mengerti, Papa. Aku tidak mengerti apapun yang ada di sekitarku. Aku bahkan tidak mengerti apa yang kau katakan saat ini.’

Semenjak saat itu, Papa membawaku ke tempat yang sama berkali-kali. Hingga pada suatu hari ia memberikan aku bingkisan indah berwarna merah. Terbungkus rapi dalam sampul yang sangat unik. Bingkisan tersebut berisi alat yang aku mengerti untuk diletakkan ditelinga, karena sama dengan yang di klinik. Hanya saja yang ini lebih kecil ukurannya, dan bisa aku bawa kemana-mana. Papa memasangkannya di telingaku. Seketika ketakutan yang aku rasakan di klinik berubah menjadi sensasi yang membuat bulu kudukku berdiri.

Aku mendengar bunyi, irama, nyanyian yang sangat indah.’ Sebuah cicitan yang tak pernah aku dengar. Kucari asalnya, kulihat ke atas, dan bunyi itu tak salah lagi berasal dari sangkar burung. Papa menurunkan sangkar burung itu dan mengangguk. Aku berkata,

‘Papa, bunyi burung ini ………’ Seketika aku terhenyak. Sepertinya aku baru saja mendengar diriku sendiri.

“Papa, Ou ou wa wa mbo mbo!” Hanya begitu bahasaku.

‘Apakah itu bunyiku sendiri?’ Aku menganga sambil bertanya di dalam hati. Papa menatapku dengan sangat bijaksana, walaupun ia kelihatannya mengerti namun aku yakin dia tidak dapat membayangkan perasaanku pada saat itu. Kututup mulutku dengan perasaan malu.

“Ya, itu suaramu sendiri,” Papa berkata lembut. Pada saat itu aku belum mengerti arti ucapannya.

Tapi Papa, aku hanya bisa ou ou wou wu sementara suaramu berirama seperti burung.’

“Uu wooowo.” Aku takut mendengarkan suaraku. Mengerikan, sementara suara Papa berirama seperti burung itu. Suara Papa berpola, tapi aku tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun