Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PERMINTAAN "ADAM"

28 Agustus 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Angin berhembus tenang, menyentuh dengan lembut kulitnya saat Adam mendorong pintu rumahnya yang telah lapuk digerogoti sang waktu. Dia merasakan bahwa angin itu menjilati wajahnya dengan sensasi dingin, namun di sisi lain menentramkan perasaannya. Anak laki-laki itu melangkahkan kedua kakinya perlahan-lahan, kemudian semakin lama semakin cepat, mengikuti kecepatan angin yang membawanya menuju suatu tempat dimana dia dapat melihat Sang Surya yang telah mengumpulkan seluruh tenaganya untuk menyinari dunia ini sampai senja tiba. Hari ini, hari yang mungkin sangat berarti bagi dirinya. Dimana hari ini dia akan mendapatkan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ia ketahui, dan sesuatu yang kelak akan berguna bagi dirinya, dan juga teman-temannya. Ya, yang dia maksud adalah ilmu.

Adam menggerakkan semua jari-jemarinya, seraya duduk di hamparan padang rumput yang amat luas. Didengarnya rerumputan mendesir di sekitarnya, saling berbisik. Anak laki-laki itu memejamkan kedua matanya, berusaha mendengar apa yang rerumputan itu ingin sampaikan pada seluruh dunia. Tidak, dia tidak gila. Dia hanya haus dengan sesuatu yang bernama ilmu. Mungkin saja ada ilmu tentang menerjemahkan apakah makna dari rerumputan yang berdesir. Setelah menunggu beberapa menit, dan sama sekali tidak ada hasilnya, Adam membuka kedua matanya lebar-lebar, membentangkan kedua lengannya, menyambut datangnya pagi hari.

“Selamat pagi dunia… Hari ini, aku akan berusaha untuk memperluas ilmuku. Aku ingin tahu apa kabar dunia hari ini. Tetapi, itu hanyalah imajinasiku belaka. Dengan kondisi seperti ini, apakah yang bisa kuperbuat untuk mengetahui kabar dunia?” katanya, diiringi dengan helaan napas yang menginsyaratkan bahwa dia benar-benar lelah dengan keadaan yang menimpanya. Adam harus mampu merubah nasibnya.

Dia membalikkan tubuhnya yang tegap di bawah bayangan matahari itu, berjalan menuju tempat yang disebutnya sebagai “gudang ilmu”. Posturnya dari belakang, mungkin terlihat seperti anak pelajar seperti biasanya. Penuh dengan keseharian bersama teman-temannya, bermain, bertukar pengalaman. Adam bukan anak seperti itu. Dia tinggal di suatu tempat yang terpencil, jauh dari keramaian ibu kota, Dia tinggal di suatu pulau, yang bernama Kepulauan Seribu. Dimana sangat sedikit orang-orang yang dengan sukarelanya, mengajarkan apa yang disebut ilmu, tanpa bayaran sepeser pun. Jujur, Adam iri dengan anak-anak yang masih bisa bersekolah, merasakan bagaimana ilmu yang diberikan orang-orang itu kepada mereka, dan tentu saja masa depan mereka bisa secerah matahari yang bersinar saat itu.

Walaupun memang dia tinggal di tempat seperti itu, sangat tidak layak bagi Adam untuk mengenal kata “menyerah”. Dia menyapu rambut hitam yang menghalangi pandangannya untuk melihat dunia hari itu. Tas selempang dengan tambalan di setiap sudut, ia kenakan di pundaknya. Kedua kakinya bergegas membawa Adam sampai di tempat itu. Gudang Ilmu. Anak laki-laki yang berumur sekitar tiga belas tahun itu, hanya terdiam menatap bangunan yang tepat berada di depannya. Sekolah. Memang, sekolah itu tidak seperti sekolah-sekolah bagus yang lainnya. Atapnya rusak, gerbangnya patah, dinding-dinding yang kotor, benar-benar fasilitas sekolah yang tidak layak lagi untuk dipergunakan. Sayangnya, Adam tidak bisa memenuhi hasratnya akan ilmu di tempat itu. Dengan kondisi orang tuanya yang hanya bekerja sebagai nelayan? Hasil dagangan pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dan Adam berusaha untuk mengubur rapat-rapat harapannya untuk bersekolah di tempat seperti itu.

Dengan melihat bangunan itu di setiap kesehariannya, telah dapat membuat Adam bahagia dengan hidup yang dijalaninya saat ini. Buku-buku bekas yang dimasukkan di dalam tas selempangnya, sebatang pensil, dan satu buah penghapus pun, juga tidak dapat merubah nasibnya. Tunggu, tunggu sampai bel sekolah itu berbunyi. Pada saat itu, Adam akan mengendap-endap, membaca satu buku yang terdapat di perpustakaan sekolah itu, dan jika matahari sudah turun untuk beristirahat, dia akan cepat-cepat keluar dari perpustakaan itu, kembali ke padang rumput, dan melihat langit di kegelapan malam yang dihiasi bintang-bintang yang bertaburan, sekaligus Sang Rembulan yang terang benderang. Mengakhiri harinya dengan hal seperti itu, cukup membuat Sang Adam merasa lengkap dengan kehidupannya yang serba berkecukupan.

Teng… Teng… Teng…

Bel berdentang tiga kali dengan ritme yang senada. Adam segera menyingkir dari gerbang sekolah itu. Seulas senyuman kecil terlukis di bibirnya yang pucat pasi. Kedua lengannya tersembunyi di balik tubuhnya yang tegap. Pandangannya tak lepas memperhatikan anak-anak beruntung yang masih bisa bersekolah, tertawa bersama teman-teman, dan setiap menit pengetahuan dan juga ilmu mereka, bertambah tanpa diduga. Desiran angin saat itu membuat setiap helai rambut hitamnya melayang, dan tak perlu menunggu waktu lama, bangunan itu sudah tenggelam di dalam kesunyian. Diapun berpikir mungkin ini waktu yang tepat untuk membaca satu buku yang menurutnya harus dibaca. Tentang sejarah bagaimana dan apa nama susunan bintang-bintang di langit.

“Ini kosong,” gumamnya seraya berusaha melangkahkan kakinya di koridor sekolah itu agar tidak menimbulkan bunyi yang cukup keras, sehingga tidak membuat beberapa orang yang masih di tempat itu curiga. Adam akhirnya sampai di perpustakaan itu, dan mengambil satu buku dari beberapa buku-buku yang tersusun rapi di dalam rak buku yang terbuat dari kayu. Dibukalah buku yang diambilnya tadi. Tubuhnya sekarang tersandar pada sebuah dinding yang telah retak.

Sensasi berbeda dirasakannya saat mulai membuka halaman pertama dari buku tersebut, entah itu bahagia, atau sedih, bahkan kecewa. Semuanya tercampur aduk di dalam hatinya. Setelah sekian jam dia menghabiskan waktunya untuk membaca beberapa buku yang terdapat di perpustakaan, Adam beranjak keluar dari bangunan itu. Tarikan napasnya terasa berat dan tatapannya yang teduh memperhatikan moment dimana Sang Surya mulai tenggelam melewati batas garis di langit. Perlahan-lahan sosoknya tenggelam di dalam bayangan matahari.

Ya, dia ingin sekali bisa bersekolah seperti anak-anak yang lainnya. Disamping keinginannya untuk bersekolah, tentu saja Adam ingin membantu pekerjaan orang tuanya. Dia sebagai anak satu-satunya, bukannya membantu malahan membaca buku, dan menghabiskan waktu memperhatikan benda-benda indah yang tertata rapi di angkasa.

Berunutnglah Adam. Orang tuanya sama sekali tidak keberatan akan ‘kesukaannya’ dalam belajar. Mungkin malah mendukung. Lagipula, ada satu hal lagi yang selalu mengganjal hatinya, yaitu penyakit yang dideritanya. Penyakit kanker darah atau yang biasanya dikenal dengan sebutan, leukemia.

Aneh ya? Terkadang, dia merasa hidup ini sangat tidak adil bagi dirinya. Orang tuanya tidak mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan upah yang berlimpah, dan yang paling membuatnya sedih, tak terlebih lagi adalah dia tidak dapat bersekolah. Untuk saat ini, dia sama sekali tidak memikirkan penyakit yang kian lama kian menggerogoti tubuhnya itu. Walaupun terkadang, dia merasakan sakit nyeri yang luar biasa di punggungnya—dan tentu saja susah sekali untuk menahan rasa sakit itu–ya, Adam sudah berusaha semaksimal mungkin untuk merasa benar-benar ‘hidup’.

Dia merasakan euphoria yang benar-benar luar biasa saat dirinya sekarang berada di padang rumput yang amat luas. Anak laki-laki itu sengaja menjatuhkan tubuhnya di hamparan rerumputan yang tumbuh di lapangan itu. Tubuhnya mungkin hanya terlihat berupa titik kecil berwarna hitam di tengah pada rumput, jika dilihat dari kejauhan di sana. Adam menghirup aroma rerumputan yang sekarang menggelitik wajahnya. Dengan posisi yang terlentang, dia meletakkan kedua lengan di bawah kepalanya. Pakaian yang ia kenakan sangat kotor sekali, dan mungkin robek-robek. Semua buku yang ada di dalam tasnya, beserta alat tulis, semuanya tergeletak berantakkan di atas rerumputan itu.

Tinggal beberapa detik lagi, langit senja itu akan berubah menjadi kegelapan malam yang dapat membutakan hati manapun yang sedang gelisah menanti esok hari. Dia memejamkan matanya, dan saat dia membuka kedua matanya, bibirnya membentuk sebuah senyuman datar yang mengisyaratkan bahwa dia sangat menikmati hari ini. Sang Rembulan pun sekarang sirna, menggantikan Sang Matahari untuk menghiasi langit. Bintang-bintang juga mulai menampakkan wujud mereka di langit pada malam hari itu. Indah sekali … Langit yang tadinya gelap gulita, seketika berubah menjadi langit yang sangat pantas untuk ditonton setiap pasang mata di bumi ini. Semilir angin mulai menampar pipinya, membangunkan Adam dari lamunannya.

Kepulauan Seribu. Pulau dan tempat lahir Adam berada. Beberapa pulau di Kepulauan Seribu sudah tenggelam oleh air laut. Dan hal ini terjadi karena sesuatu yang mereka sebut sebagai efek rumah kaca. Setahunya, terdapat tiga ratus empat puluh dua pulau di Kepulauan Seribu. Jumlah yang cukup banyak bukan? Dia senang tinggal di kepulauan seperti ini. Betapa indahnya lautan yang membentang tanpa akhir, dengan jernihnya warna air di lautan yang terdapat di Kepulauan Seribu. Semua ekosistem makhluk laut dapat berkembang biak dengan sangat baik, bahkan ada cagar alam. Terumbu karang dan juga ikan-ikan laut dijaga agar mereka tidak punah, begitu juga dengan penyu hijau yang begitu berbeda dari yang lainnya. Sayang sekali mereka harus punah hanya karena tindakkan manusia yang bodoh.

Kedua matanya masih menerawang langit pada malam hari itu, sementara itu di dalam benaknya, muncul beberapa memori semasa kecil. Mengapa orang tuanya menamakan dirinya Adamus? Entahlah. Kalau tidak salah, nama Adam diambil dari salah satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Pulau Edam alias Pulau Monyet. Hahaha, walaupun namanya diambil dari Pulau yang disebut sebagai pulau monyet, Adam tetap menghargai nama yang diberikan orang tuanya. Sejelek apapun.

Beberapa orang menganggapnya sebagai anak sok suci, yang haus akan ilmu, terlalu menghargai namanya sendiri, menghormati orang tuanya berlebihan, tidak mengenal kata lelah, dan lain-lainnya. Tetapi, Adam bisa seperti ini karena dia tidak ingin seperti dirinya yang dulu. Sesosok anak kecil yang bisa-bisanya melawan orang tuanya tanpa henti. Dan semenjak dia mengetahui bahwa tubuhnya itu digerogoti virus leukemia, entah mengapa, hatinya berkata bahwa inilah saatnya untuk berubah. Merubah semua hidupnya.

Lamunannya terbuyar untuk kesekian kalinya. Wajahnya pucat pasi. Dan selamanya dia akan pucat seperti ini. Walaupun ada seseorang yang ingin menyekolahkannya di sekolah, tetap saja wajahnya akan terus pucat. Hanya ada satu yang mungkin dapat melukiskan wajahnya yang pucat menjadi cerah, yaitu ilmu. Bukan hanya ilmu yang diajarkan orang-orang tanpa tanda jasa itu di sekolah, tetapi ilmu yang lain. Entah itu ilmu menerbangkan benda, melayang, memasak, bahkan lebih dari itu! Adam beranjak bangun dari posisi terlentangnya, dihirupnya udara pada malam hari, dan dirasakan sesuatu yang baru ada pada dirinya. Sudah berapa lama dia tidak merasakan dirinya benar-benar hidup di dunia ini?

Ya, untuk kali ini, benaknya sejernih kedua bola matanya yang berwarna hitam. Anak laki-laki itu menghela napasnya berat, dan sekarang sosok Adam tepat berada di bawah bayangan Sang Rembulan. Kedua lengannya sekarang tersembunyi di balik tubuhnya yang tegap itu, kaki kanannya sesekali digeseknya di atas rerumputan. Dia berharap sesuatu, dan semoga semua harapannya terkabulkan.

Adam membuka mulutnya untuk mulai berbicara, “Oh, Bintang. Turunlah dekat dengan diriku. Biarkanlah aku meminta satu permohonan yang sekiranya dapat kau kabulkan—tapi, tunggu! Aku lupa dengan permohonanku. Kumohon jangan pergi, oh Bintang. Aku mengingatnya, aku mengingat bahwa baru saja aku memikirkan apa permohonanku. Tetapi apakah itu? Kumohon kau jangan menjauh, biarlah tetap di sini sampai aku mengingatnya. Argh,”

“Selamat malam, Nak,” suara seseorang membuatnya bergeser dari tempat duduknya beberapa sentimeter.

“Se—se—selamat malam. Bapak siapa ya, kalau boleh saya tahu?” tanya Adam, sembari memperhatikan sesosok pria di sebelahnya. Pria yang sepertinya sudah berkepala lima, terdapat beberapa helai rambut putih di sela-sela rambut hitam kelam yang dimiiliki Sang Pria Tua itu. Sementara Adam semakin heran dengan pria tua itu, beliau pun menjawab pertanyaan yang dilontarkan Adam.

“Nama saya adalah Kusuma Rahardjo. Saya kemari, mengunjungi adik untuk menyekolahkanmu,” kata Pak Rahardjo dengan nada yang tenang. Sebuah senyuman muncul di bibirnya. Setiap kerutan wajah Pak Rahardjo, menyiratkan betapa tuanya umur pria tua itu. Nuansa damai dan bersahabat saat ini sedang menyelubungi Adam—sebagai seorang anak yang berharap ingin sekolah.

“HAH!? Bisa tolong ulangi sekali lagi apa yang Bapak katakan tadi?”

“Ya, mulai besok kau bisa bersekolah. Mengenakan seragam, bersosialisasi dengan teman-temanmu, dan kau juga bisa mendapatkan ilmu pengetahuan yang tak akan habis dimakan jaman,” jawab Pak Rahardjo dengan nada penuh semangat, kemudian pria tua itupun menghela napasnya, sembari memperhatikan langit pada malam hari.

Mereka berdua pun akhirnya saling berbincang-bincang, dan bertukar pengalaman. Dan percakapan itu diakhiri dengan jabatan tangan antara seorang anak dan seorang pria yang sedang melakukan hal kebaikan. Saat sosok pria tua itu menghilang di tengah kegelapan, Adam melompat setinggi-tingginya. Merasa sangat gembira. Kegembiraannya itu bahkan tidak dapat dilukiskan dengan cara apapun. Dan kegembiraan ini telah membuatnya untuk tidak merasakan rasa sakit di punggungnya. Ya, setidaknya ada kabar baik yang hendak ia katakan kepada kedua orang tuanya.

Kedua kakinya membawa dirinya dengan cepat, melawan arus angin malam yang sedang berhembus sangat kencang pada saat itu. Setiap helai rambutnya kini berterbangan berlawanan arah dengan Sang Angin. Wajah Adam yang memang selalu pucat, saat ini menjadi cerah. Anak laki-laki itupun berlarian menyeberangi lahan-lahan sawah yang tertata rapi di sepanjang jalanan setapak itu. Sebentar lagi, dia akan sampai di rumah. Sesampainya di depan rumah, Adam mendorong pintu tua itu perlahan-lahan.

Dilihatnya air muka ayah dan ibunya seperti biasanya, berusaha untuk menutupi keadaan mereka yang sebenarnya. Orang tuanya bekerja dalam bidang pertanian, atau bisa disebut juga sebagai petani. Adam berjalan ke kamarnya, kemudian anak laki-laki itu mengelap peluh yang sekarang telah membasahi seluruh tubuhnya. Dia melepaskan pakaian yang lama. Kemudian menggantikannya dengan yang baru. Anak laki-laki itu segera menghampiri orang tuanya, dan tersenyum kepada mereka semua.

“Bunda, Bapak. Aku mendapatkan kabar bahagia untuk kalian berdua,”

“Ya, ada apa nak?” sang ibu akhirnya yang menjawab pertanyaan itu.

“Hmm,” gumam ayahnya.

“Tebak! Ada orang yang ingin membiayai sekolahku. Ini sangat luar-luar-luar biasa, Bu, Yah. Aku tidak pernah menyangka akan mendapatkan hal yang paling terbaik di dunia ini setelah kalian berdua kumiliki sebagai orang tuaku!” seru Adam panjang lebar.

Orang tuanya pun menitikkan air mata mereka, kemudian memeluk erat anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki keluarga itu. Walaupun hidup mereka pas-pasan, namun mereka saling menghormati, mencintai, dan melindungi sesama. Kegembiraan itupun melarut setelah mereka mengabiskan waktu untuk bersantap malam, dan berbincang-bincang tentang pelajaran apa saja yang akan Adam pelajari nanti di sekolah. Terdengar, bunyi jangkrik yang membuat malam itu sama sekali tidak hening di sekitar rumahnya.

Tubuh Adam pun telah berbaring di atas tempat tidurnya yang hanya berupa tikar yang terbuat dari bambu. Kedua matanya sulit untuk tertutup, dia tidak mampu tertidur. Entahlah. Apa mungkin dia terlalu bahagia dengan hari esok? Hari dimana pertama kali dia merasakan sekolah? Sebagai seorang anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama? Kedua mata hitamnya menerawang langit-langit kamarnya, dia membayangkan berapa ilmu yang besok akan dia dapat. Cepatkan malam ini, dia ingin terbangun saat Fajar tampak dari tempat persembunyiannya, di bawah garis langit itu.

***

Burung bersiul dengan merdu, menyambut datangnya pagi hari. Dari pukul lima pagi tadi, Adam telah terjaga dari bunga tidurnya. Sekarang, dia sedang tiduran di atas padang rumput—tempat favoritnya—, wajahnya memperhatikan Sang Fajar yang perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya di angkasa. Bintang-bintang pun juga telah menghilang entah kemana, dan moment pada saat itu benar-benar dinikmatinya dengan khidmat. Angin berhembus dari arah yang berlawanan, membuat rerumputan itu bergerak lagi sesuai arah angin. Sementara itu, Adam hanya bisa tersenyum. Tasnya yang berisi buku-buku dan alat tulis tepat berada di sebelah kirinya. Baju seragam putih-biru beserta dasi dikenakannya dengan rapi. Rambutnya yang berwarna hitam, baru ia sisir tadi pagi. Sepatu yang dia miliki satu-sautnya, walaupun sudah ada beberapa tambalan di permukaan sepatu itu, dikenakan Adam juga. Atribut lengkap ini hanya untuk mewujudkan rasa bangga dan hormatnya pada sekolah.

Akhirnya, perjuangan selama ini sama sekali tidak sia-sia. Dimana pertama kali dia mulai mengenal sesuatu yang bernama ilmu, sampai setiap hari dia harus mengendap-endap ke sekolah, hanya karena ingin membaca buku yang ada di dalam perpustakaan sekolah itu. Sebelum mengenal ilmu, Adam menganggap hidupnya sangat hampa. Walaupun dia sudah melakukan semua kegiatan yang dianggapnya ‘menarik’, dan ternyata sama sekali tidak menarik. Dia harus berterima kasih kepada seorang yang membuat ilmu. Tanpa orang itu, pasti tidak ada hari ini, bukan?

Ayam berkokok di arah selatan tak jauh dari tempat Adam berada sekarang. Dia beranjak dari tidurnya, kemudian berjalan perlahan-lahan sesuai ritme yang sama. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat, karena hari ini hari pertama ia sekolah. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan yang sangat berharga bagi dirinya saat ini. Dihela napasnya dengan berat seraya dia berjalan menuju sekolah itu. Tinggal beberapa meter lagi anak laki-laki itu sampai di tempat tujuannya.

Adam sekarang sudah berdiri tepat di depan gerbang itu, pandangannya memperhatikan bangunan yang berdiri di depannya. Dia memikirkan semuanya, tidak mau menggagalkan kesempatannya sekali ini. Diapun akhirnya melangkahkan kakinya, memasuki gedung tersebut. Dia berjalan menuju ruang kelas bertuliskan 2-2. Rambut hitamnya mengkilat di bawah sinar matahari. Diperhatikannya beberapa murid yang sedang bersenda gurau dengan kawan-kawannya, dan pada akhirnya, dia duduk di barisan paling depan.

Beberapa pasang mata memperhatikan keberadaan Adam sebagai anak baru di kelas tersebut. Ada beberapa anak yang berkenalan dengan anak laki-laki yang berwajah pucat tersebut, ada juga yang terdiam saja, tidak melakukan apapun, kecuali memperhatikan anak baru dan berbisik ke seorang teman yang duduk di sebelahnya. Bel sekolah pun berdentang tiga kali, dan seorang anak laki-laki yang datang paling terlambat, duduk di sebelah Adam. Adam hanya memperhatikan anak itu, sampai pada akhirnya anak yang berambut acak-acakan itu mengulurkan lengannya untuk berjabat tangan dengan Adam.

“Oi, anak baru, eh?” sapa anak itu, penasaran.

“Ya.”

“Namamu siapa?”

“Adam.”

“Oh, Adam. Namaku Bagas. Salam kenal, engg, Adam.”

“Yap, mohon bantuannya.”

“Oke, pastilah. Kau kan anak baru.”

Seorang wanita tua tampak dari luar kelas, dia mengenakan baju layaknya seorang guru. Dan kedua mata wanita tua itu memperhatikan keberadaan Adam. Sebelumnya, dia sama sekali tidak pernah mengajar anak laki-laki itu, seingatnya. Alhasil, Adam dipanggil untuk maju ke depan kelas. Di depan kelas itu, Adam sendiri merasa grogi. Dan saat anak itu selesai memperkenalkan diirnya, pelajaran pun dimulai. Saat itu sedang mempelajari pelajaran biologi. Mengenai penyakit yang berkaitan dengan darah kita. Entah mengapa, di saat seperti ini, jantungnya terasa sakit sekali, begitu pula dengan punggungnya.

Dag.

“Jadi, anak-anak, Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid,” jelas Bu Ani, seraya menuliskan apa yang diucapkannya di papan tulis hitam tersebut. Adam pun mulai mencatat dengan serius di dalam buku catatannya.

Dig.

“Kenapa bisa tentang kanker darah, sih?” gerutunya pada diri sendiri.

“Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi,” jelas Bu Ani lagi.

Dug.

Adam sudah tak kuasa menahan rasa sakitnya. Wajahnya sekarang bertambah pucat hanya karena hal ini saja. Dia memegang erat punggungnya yang terasa sangat nyeri sekali, dan tangan yang satu lagi, ia gunakan untuk menahan rasa sakit di jantungnya. Sementara Bu Ani masih menerangkan tentang pelajaran, wajahnya disandarkan pada meja yang terbuat dari kayu di hadapannya. Merasa janggal saat melihat gerak-gerik teman sebangkunya, Bagas menegur Adam.

“Hoi, kau tidak apa-apa?”

“He? Tidak, tidak, benar tidak apa-apa, haha,”

“Oh, kau kelihatan kurang sehat. Lihatlah wajahmu, pucat pasi,”

“Ya, wajahku memang seperti itu. Mau diapakan lagi? Ayo, lanjut ke pelajaran.”

Dia berusaha menahan rasa sakitnya. Setelah beberapa menit kemudian, rasa sakitnya itu hilang. Entah mengapa, Adam merasa lebih tenang. Dia sudah mencatat semua yang ada di papan tulis, dan selesai paling pertama. Menunggu adalah kegiatan yang dia lakukan saat ini. Menunggu teman-teman sekelasnya selesai mencatat. Rasa kantuk yang berlebihan menyerangnya pada saat itu juga. Beruntunglah dirinya, sudah mencatat semuanya. Alhasil, dia menyandarkan kembali wajahnya di atas meja.

Kedua matanya terpejam perlahan-lahan, sedikit silau terkena cahaya matahari yang sangat terik pada saat itu. Dia hanya mendengar sayup-sayup suara yang ada di sekitarnya, yang paling dapat didengarkannya dengan jelas adalah suara sang burung gereja bernyanyi. Senyuman terlukis di bibirnya yang mengering tersebut, dihelanya napasnya. Dia merasa sangat tenang, dan ringan, dan juga hangat. Kedamaian dan ketentraman menyelimuti dirinya pada saat itu juga. Dia merasa seperti … menjauh dari kehidupannya, hilang entah kemana.

Dia tidak bernapas lagi.

Dan anak itu tidak akan pernah menyadarinya sampai jiwanya terlepas dari jasadnya. Jiwanya pun melayang di atas jasadnya yang mulai membeku tersebut. Adam hanya bisa terdiam, wajahnya tidak menunjukkan satu ekspresi pun saat melihat jasad dirinya tepat berada di bawahnya. Rasa menyesal, bersalah, kehilangan, dan juga sedikit lega bercampur aduk di hatinya saat itu juga. Dilihatnya semua warga kelas 2-2 terkejut melihat jasad seorang murid laki-laki yang baru melaksanakan hari pertama sekolahnya. Beberapa anak menyentuh lengan Adam yang membeku. Bu Ani hanya bisa melihat muridnya dengan tatapan kosong. Terlihat dilafalkannya satu kalimat yang membuat Adam menjadi lebih, dan lebih tenang daripada sebelumnya.

“Selamat jalan dan kembali kepada sisi-Nya,” lafal Bu Ani, dengan suara yang bergemetar, melihat murid barunya meninggal dengan cara seperti itu di depan dirinya. Bagas dan murid-murid yang lainnya hanya bisa menatap kawan baru mereka dengan ratapan sedih dan simpati.

Sementara mereka semua berkabung. Jiwa anak laki-laki itu, semakin lama semakin menjauh dari jasadnya, dari Kepulauannya, dari bumi, dan sampai ke suatu tempat entah dimana itu. Semuanya berwarna putih, dan hanya ada dia sendirian di tempat itu. Anak laki-laki itu mendecakkan lidahnya, dia baru teringat akan permohonannya pada Sang Bintang saat itu. Yaitu, agar dia bisa meninggal dengan tenang saat dia mulai merasakan hari pertamanya di sekolah.

Oh, jadi benarkah Sang Bintang mengabulkan permohonannya itu? Dia tidak pernah mengira bahwa saat moment ‘Bintang Jatuh’ semua harapan akan terkabulkan. Namun, ternyata ketidak percayaannya itu sudah dibuktikan menjadi sebuah kenyataan, yang menyebabkan dirinya bisa sampai di tempat yang semuanya putih, dan dia sendirian.

Dilihatnya, ada secercah cahaya yang kian lama kian mendekati dirinya. Kedua mata Adam perlahan-lahan menyipit. Berusaha lebih jelas melihat secercah cahaya itu. Antara percaya atau tidak, mungkin waktunya untuk ‘bergentangan’ sudah habis. Sayang sekali.

“Kau, Adam, ikut aku.”

“Kemana?”

“Ke suatu tempat, peristirahatan terakhirmu, tempat dimana kau diadili.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun