Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PERMINTAAN "ADAM"

28 Agustus 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Angin berhembus tenang, menyentuh dengan lembut kulitnya saat Adam mendorong pintu rumahnya yang telah lapuk digerogoti sang waktu. Dia merasakan bahwa angin itu menjilati wajahnya dengan sensasi dingin, namun di sisi lain menentramkan perasaannya. Anak laki-laki itu melangkahkan kedua kakinya perlahan-lahan, kemudian semakin lama semakin cepat, mengikuti kecepatan angin yang membawanya menuju suatu tempat dimana dia dapat melihat Sang Surya yang telah mengumpulkan seluruh tenaganya untuk menyinari dunia ini sampai senja tiba. Hari ini, hari yang mungkin sangat berarti bagi dirinya. Dimana hari ini dia akan mendapatkan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ia ketahui, dan sesuatu yang kelak akan berguna bagi dirinya, dan juga teman-temannya. Ya, yang dia maksud adalah ilmu.

Adam menggerakkan semua jari-jemarinya, seraya duduk di hamparan padang rumput yang amat luas. Didengarnya rerumputan mendesir di sekitarnya, saling berbisik. Anak laki-laki itu memejamkan kedua matanya, berusaha mendengar apa yang rerumputan itu ingin sampaikan pada seluruh dunia. Tidak, dia tidak gila. Dia hanya haus dengan sesuatu yang bernama ilmu. Mungkin saja ada ilmu tentang menerjemahkan apakah makna dari rerumputan yang berdesir. Setelah menunggu beberapa menit, dan sama sekali tidak ada hasilnya, Adam membuka kedua matanya lebar-lebar, membentangkan kedua lengannya, menyambut datangnya pagi hari.

“Selamat pagi dunia… Hari ini, aku akan berusaha untuk memperluas ilmuku. Aku ingin tahu apa kabar dunia hari ini. Tetapi, itu hanyalah imajinasiku belaka. Dengan kondisi seperti ini, apakah yang bisa kuperbuat untuk mengetahui kabar dunia?” katanya, diiringi dengan helaan napas yang menginsyaratkan bahwa dia benar-benar lelah dengan keadaan yang menimpanya. Adam harus mampu merubah nasibnya.

Dia membalikkan tubuhnya yang tegap di bawah bayangan matahari itu, berjalan menuju tempat yang disebutnya sebagai “gudang ilmu”. Posturnya dari belakang, mungkin terlihat seperti anak pelajar seperti biasanya. Penuh dengan keseharian bersama teman-temannya, bermain, bertukar pengalaman. Adam bukan anak seperti itu. Dia tinggal di suatu tempat yang terpencil, jauh dari keramaian ibu kota, Dia tinggal di suatu pulau, yang bernama Kepulauan Seribu. Dimana sangat sedikit orang-orang yang dengan sukarelanya, mengajarkan apa yang disebut ilmu, tanpa bayaran sepeser pun. Jujur, Adam iri dengan anak-anak yang masih bisa bersekolah, merasakan bagaimana ilmu yang diberikan orang-orang itu kepada mereka, dan tentu saja masa depan mereka bisa secerah matahari yang bersinar saat itu.

Walaupun memang dia tinggal di tempat seperti itu, sangat tidak layak bagi Adam untuk mengenal kata “menyerah”. Dia menyapu rambut hitam yang menghalangi pandangannya untuk melihat dunia hari itu. Tas selempang dengan tambalan di setiap sudut, ia kenakan di pundaknya. Kedua kakinya bergegas membawa Adam sampai di tempat itu. Gudang Ilmu. Anak laki-laki yang berumur sekitar tiga belas tahun itu, hanya terdiam menatap bangunan yang tepat berada di depannya. Sekolah. Memang, sekolah itu tidak seperti sekolah-sekolah bagus yang lainnya. Atapnya rusak, gerbangnya patah, dinding-dinding yang kotor, benar-benar fasilitas sekolah yang tidak layak lagi untuk dipergunakan. Sayangnya, Adam tidak bisa memenuhi hasratnya akan ilmu di tempat itu. Dengan kondisi orang tuanya yang hanya bekerja sebagai nelayan? Hasil dagangan pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dan Adam berusaha untuk mengubur rapat-rapat harapannya untuk bersekolah di tempat seperti itu.

Dengan melihat bangunan itu di setiap kesehariannya, telah dapat membuat Adam bahagia dengan hidup yang dijalaninya saat ini. Buku-buku bekas yang dimasukkan di dalam tas selempangnya, sebatang pensil, dan satu buah penghapus pun, juga tidak dapat merubah nasibnya. Tunggu, tunggu sampai bel sekolah itu berbunyi. Pada saat itu, Adam akan mengendap-endap, membaca satu buku yang terdapat di perpustakaan sekolah itu, dan jika matahari sudah turun untuk beristirahat, dia akan cepat-cepat keluar dari perpustakaan itu, kembali ke padang rumput, dan melihat langit di kegelapan malam yang dihiasi bintang-bintang yang bertaburan, sekaligus Sang Rembulan yang terang benderang. Mengakhiri harinya dengan hal seperti itu, cukup membuat Sang Adam merasa lengkap dengan kehidupannya yang serba berkecukupan.

Teng… Teng… Teng…

Bel berdentang tiga kali dengan ritme yang senada. Adam segera menyingkir dari gerbang sekolah itu. Seulas senyuman kecil terlukis di bibirnya yang pucat pasi. Kedua lengannya tersembunyi di balik tubuhnya yang tegap. Pandangannya tak lepas memperhatikan anak-anak beruntung yang masih bisa bersekolah, tertawa bersama teman-teman, dan setiap menit pengetahuan dan juga ilmu mereka, bertambah tanpa diduga. Desiran angin saat itu membuat setiap helai rambut hitamnya melayang, dan tak perlu menunggu waktu lama, bangunan itu sudah tenggelam di dalam kesunyian. Diapun berpikir mungkin ini waktu yang tepat untuk membaca satu buku yang menurutnya harus dibaca. Tentang sejarah bagaimana dan apa nama susunan bintang-bintang di langit.

“Ini kosong,” gumamnya seraya berusaha melangkahkan kakinya di koridor sekolah itu agar tidak menimbulkan bunyi yang cukup keras, sehingga tidak membuat beberapa orang yang masih di tempat itu curiga. Adam akhirnya sampai di perpustakaan itu, dan mengambil satu buku dari beberapa buku-buku yang tersusun rapi di dalam rak buku yang terbuat dari kayu. Dibukalah buku yang diambilnya tadi. Tubuhnya sekarang tersandar pada sebuah dinding yang telah retak.

Sensasi berbeda dirasakannya saat mulai membuka halaman pertama dari buku tersebut, entah itu bahagia, atau sedih, bahkan kecewa. Semuanya tercampur aduk di dalam hatinya. Setelah sekian jam dia menghabiskan waktunya untuk membaca beberapa buku yang terdapat di perpustakaan, Adam beranjak keluar dari bangunan itu. Tarikan napasnya terasa berat dan tatapannya yang teduh memperhatikan moment dimana Sang Surya mulai tenggelam melewati batas garis di langit. Perlahan-lahan sosoknya tenggelam di dalam bayangan matahari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun