Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PERMINTAAN "ADAM"

28 Agustus 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dug.

Adam sudah tak kuasa menahan rasa sakitnya. Wajahnya sekarang bertambah pucat hanya karena hal ini saja. Dia memegang erat punggungnya yang terasa sangat nyeri sekali, dan tangan yang satu lagi, ia gunakan untuk menahan rasa sakit di jantungnya. Sementara Bu Ani masih menerangkan tentang pelajaran, wajahnya disandarkan pada meja yang terbuat dari kayu di hadapannya. Merasa janggal saat melihat gerak-gerik teman sebangkunya, Bagas menegur Adam.

“Hoi, kau tidak apa-apa?”

“He? Tidak, tidak, benar tidak apa-apa, haha,”

“Oh, kau kelihatan kurang sehat. Lihatlah wajahmu, pucat pasi,”

“Ya, wajahku memang seperti itu. Mau diapakan lagi? Ayo, lanjut ke pelajaran.”

Dia berusaha menahan rasa sakitnya. Setelah beberapa menit kemudian, rasa sakitnya itu hilang. Entah mengapa, Adam merasa lebih tenang. Dia sudah mencatat semua yang ada di papan tulis, dan selesai paling pertama. Menunggu adalah kegiatan yang dia lakukan saat ini. Menunggu teman-teman sekelasnya selesai mencatat. Rasa kantuk yang berlebihan menyerangnya pada saat itu juga. Beruntunglah dirinya, sudah mencatat semuanya. Alhasil, dia menyandarkan kembali wajahnya di atas meja.

Kedua matanya terpejam perlahan-lahan, sedikit silau terkena cahaya matahari yang sangat terik pada saat itu. Dia hanya mendengar sayup-sayup suara yang ada di sekitarnya, yang paling dapat didengarkannya dengan jelas adalah suara sang burung gereja bernyanyi. Senyuman terlukis di bibirnya yang mengering tersebut, dihelanya napasnya. Dia merasa sangat tenang, dan ringan, dan juga hangat. Kedamaian dan ketentraman menyelimuti dirinya pada saat itu juga. Dia merasa seperti … menjauh dari kehidupannya, hilang entah kemana.

Dia tidak bernapas lagi.

Dan anak itu tidak akan pernah menyadarinya sampai jiwanya terlepas dari jasadnya. Jiwanya pun melayang di atas jasadnya yang mulai membeku tersebut. Adam hanya bisa terdiam, wajahnya tidak menunjukkan satu ekspresi pun saat melihat jasad dirinya tepat berada di bawahnya. Rasa menyesal, bersalah, kehilangan, dan juga sedikit lega bercampur aduk di hatinya saat itu juga. Dilihatnya semua warga kelas 2-2 terkejut melihat jasad seorang murid laki-laki yang baru melaksanakan hari pertama sekolahnya. Beberapa anak menyentuh lengan Adam yang membeku. Bu Ani hanya bisa melihat muridnya dengan tatapan kosong. Terlihat dilafalkannya satu kalimat yang membuat Adam menjadi lebih, dan lebih tenang daripada sebelumnya.

“Selamat jalan dan kembali kepada sisi-Nya,” lafal Bu Ani, dengan suara yang bergemetar, melihat murid barunya meninggal dengan cara seperti itu di depan dirinya. Bagas dan murid-murid yang lainnya hanya bisa menatap kawan baru mereka dengan ratapan sedih dan simpati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun