Bagian pertama tulisan panjang tentang orientasi seksual (OS) HLGBT sudah cukup lama saya publikasi di Kompasiana (baca di sini), yang fokus pada temuan-temuan sains modern tentang OS. Saya minta maaf, jika ada banyak sahabat yang sudah lama menunggu publikasi bagian keduanya.
Kini bagian kedua ini baru sempat saya terbitkan di situs ini, terfokus pada berbagai aspek keagamaan, termasuk tafsir kritis atas sejumlah teks Alkitab yang mengacu ke OS homo, dan pada aspek politik dan hukum yang pernah dan sedang muncul di Indonesia terkait status kaum LGBT Indonesia. Ada sedikit bagian dalam uraian berikut ini yang, mau tak mau, merupakan pengulangan hal-hal yang sudah saya angkat dalam bagian pertama tulisan ini.
PDSKJI diingatkan APA!
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa./1/ Pada hlm. 288 buku PPDGJ III tercantum dengan jelas kata-kata ini: “Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT seseorang dapat menimbulkan penderitaan lantaran ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin atau OS umumnya dapat menimbulkan kecemasan dan depresi.
Harus jelas buat anda: OS apapun bukan gangguan mental; tetapi ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan gangguan mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran di jalan-jalan, hingga kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi menjadi heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan LGBT tipe distonik. Bahkan banyak penelitian telah menemukan bahwa homofobia juga dapat muncul dari LGBT distonik terhadap sesama LGBT, berhubung LGBT homofobik ini mengarahkan kebencian dan penolakan terhadap OS LGBT mereka sendiri kepada LGBT lain.
Sangat disayangkan, saya membaca sebuah berita di koran online Kompas, 19 Februari 2016, bahwa psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016, menyatakan kepada publik bahwa OS LGBT adalah gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas. Tak lama sesudah acara di TV One itu, muncul cukup banyak kritik di berbagai media massa terhadap dr. Fidiansyah yang dinilai telah memelintir dan menutupi kebenaran ketika dia sengaja tidak membaca bagian-bagian penting dari buku PPDGJ III yang dengan terang menegaskan bahwa OS LGBT bukan gangguan mental, sebagaimana sudah diungkap di atas./2/
Lebih memprihatinkan lagi, saya dapat kabar tak bagus dari sejumlah teman yang mereka kirim dalam bentuk screenshots lewat HP, akun FB dan akun Twitter. Pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) telah mengeluarkan sebuah pernyataan sikap sepanjang dua halaman yang intinya sejalan dengan pendapat dr. Fidiansyah. Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP PDSKJI, dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K). Mereka menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Menurut mereka juga, semua kalangan OS ini perlu “direhabilitasi”, dan riset tentang OS perlu diadakan dengan berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi dan spiritual bangsa.
Hemat saya dalam hal ini PP PDSKJI telah mengubah fakta ilmiah bahwa OS LGBT memiliki basis kuat pada genetika dan biologi―dan dengan demikian sama sekali bukan suatu gangguan kejiwaan―dengan menjadikan riset OS LGBT sebagai riset tentang hal-hal yang non-biologis: kearifan lokal, budaya, agama dan kerohanian bangsa sendiri. Kita semua tahu, hasil riset ilmiah yang menemukan basis kuat biologis untuk OS LGBT sama sekali tidak bisa dipelintir atau diubah menjadi riset tentang hal-hal yang non-biologis itu. Tentu saja, pendekatan yang komprehensif terhadap usaha memahami dan menjelaskan OS LGBT sangat disambut baik oleh siapapun sejauh usaha ini tidak menutup fakta terpenting bahwa OS LGBT juga punya basis kuat pada biologi manusia, sebagaimana telah saya beberkan dalam bagian pertama tulisan ini.
Selain itu, belum lama ini Menristek RI, Muhamad Nasir, sempat mengeluarkan sebuah larangan bagi semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT di semua kampus di seluruh NKRI (misalnya seminar, diskusi, konsultasi, konseling). Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito menegaskan bahwa “Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga.”/3/
Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, atas nama APA telah menulis sebuah surat resmi kepada PDSKJI terkait soal LGBT di Indonesia. Lewat surat itu (yang ditujukan kepada Dr. Tun Kurniasih Bastaman), APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali posisi PDSKJI yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental, lantaran posisi PDSKJI ini tidak memiliki bukti ilmiah apapun yang mendukung. Selanjutnya APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”/4/
Jujur saja, saya merasa malu atas fakta ini bahwa para psikiater Indonesia sampai perlu diingatkan, jika bukan ditegur, oleh APA. Apa saja yang mereka sudah baca dan telaah selama ini? Jurnal-jurnal ilmiah ataukah kitab-kitab lain, kitab suci misalnya?