Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seluk-beluk Orientasi Seksual LGBT (Bagian 2)

13 Juli 2016   13:31 Diperbarui: 9 Maret 2018   16:41 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari Didi Nini Thowok sedang membawakan tarian saat mengamen di Kawasan Monumen Serangan Oemoem Satu Maret Yogyakarta, Kamis (20 Oktober 2011). Kegiatan mengamen yang hasilnya disumbangkan ke sejumlah panti dan pementasan tari yang melibatkan komunitas waria merupakan rangkaian acara Indonesian Cross Gender yang berlangsung hingga 21 Oktober 2011. Foto ANTARA/Wahyu Putro A/ed/ama/11.

Di akhir Juli 2013, di saat sedang dalam penerbangan kembali ke Vatikan sehabis berkunjung selama seminggu sejak 22 Juli di Rio de Janeiro, Brazil, Paus Fransiskus mengadakan sebuah acara jumpa pers selama satu jam lebih. Banyak hal yang dipercakapkan, di antaranya tentang homoseksual. Di saat sedang membicarakan kaum gay, Paus Fransiskus menyatakan bahwa

“Ketika aku berjumpa dengan seorang gay, aku harus membicarakan kondisi mereka sebagai gay dan sebagai bagian dari suatu lobby. Jika seseorang itu gay dan dia menerima Tuhan dan berkemauan baik, siapakah aku jika aku harus menghakimi mereka? Mereka harus tidak dimarjinalisasikan. Kecenderungan [ke homoseksualitas] bukan masalahnya,… mereka saudara-saudara kita.”/13/

Pernyataan yang nyaris sepenuhnya sama, diulang kembali oleh Paus Fransiskus 26 Juni 2016 (“Siapakah kita jika kita harus menghakimi mereka?”). Jelas, sang Paus hanya berbicara tentang gay yang “menerima/mencari Tuhan”, maksudnya: para gay yang mencari, lalu menerima dan percaya pada Yesus Kristus, yakni para gay warga GRK, dan bisa juga semua gay yang Kristen saja, atau para gay mualaf Kristen. Selain itu, kalangan LGBT tidak dihakimi GRK sejauh mereka “berkemauan baik”, maksudnya: sejauh kelakuan dan kehendak mereka mememenuhi standard moral GRK.

Begitu juga, saat sang Paus menegaskan bahwa gereja patut meminta maaf kepada kaum gay karena perlakuan buruk gereja kepada mereka selama ini, kaum gay hanya pantas menerima permintaan maaf gereja tentu sejauh mereka sudah menjadi bagian dari komunitas GRK!

Jelas, bagi saya, pendapat Fransiskus ini seriously unfair. LGBT ya LGBT secara biologis genetis, apapun perilaku moral dan apapun keyakinan keagamaan mereka atau ketidakyakinan mereka (sebagai ateis misalnya). Sebagai pembanding: seorang Papua ya tetap seorang manusia, manusia Papua, apapun kelakuan dan apapun kepercayaan ideologisnya. Hal yang genetis dan hal yang etis dan ideologis tidak bisa dicampurbaur.

Sang Paus pernah juga bercerita pendek, tuturnya: “Suatu kali seseorang bertanya kepadaku dengan nada yang provokatif, apakah aku menyetujui homoseksualitas. Aku menjawabnya dengan sebuah pertanyaan lain: ‘Katakan kepadaku, ketika Allah melihat seorang gay, apakah Allah mendukung kehidupan orang ini dengan cinta-Nya, ataukah menolak dan mengutukinya?’ Jadi, kita harus selalu mempertimbangkan si individu yang gay itu!”/14/ Kelihatan jelas dari ucapannya ini, Paus Fransiskus menghargai martabat dan kehormatan kalangan homoseksual, kendatipun, pada sisi lain, yang ada dalam pikirannya hanyalah para gay Kristen yang berkemauan baik.

Tetapi belum lama ini, ketika Irlandia baru saja melegalisasi perkawinan sejenis, Vatikan menegaskan bahwa langkah Irlandia itu “sebuah kekalahan bagi kemanusiaan!” Sebagaimana sudah diketahui, ada sepuluh negara yang berlatarbelakang kuat GRK yang sudah melegalisasi perkawinan sejenis, yakni Belgia, Kanada, Spanyol, Argentina, Portugal, Brazil, Prancis, Uruguai, Luxemburg, dan Irlandia./15/ Sulit bagi kita untuk menyamakan GRK dengan kemanusiaan, tentu saja. Mengapa sang Paus menjadi tidak konsisten padahal dia sudah dikenal sebagai pemimpin GRK sedunia di abad ke-21 yang mampu berpikir bebas?

Selain itu, dalam sebuah wawancara terhadap Paus Fransiskus yang dimuat dalam buku Andrea Tornielli dan Giacomo Galeazzi, This Economy Kills: Pope Francis on Capitalism and Social Justice (2015), sang Paus mengejutkan sekali menyetarakan teori gender (yang melihat seksualitas manusia sebagai sebuah spektrum warna-warni yang lazimnya disebut spektrum LGBTIQ) dengan senjata nuklir yang dapat melenyapkan kehidupan. Kata Paus Fransiskus,

“Mari kita pikirkan persenjataan nuklir, yang mampu melenyapkan sangat banyak manusia dalam sekejap. Mari juga kita pikirkan manipulasi genetik, manipulasi kehidupan, atau teori gender, yang tidak mengakui orde ciptaan. Dengan semua sikap ini, manusia sedang membuat sebuah dosa besar baru yang melawan Allah sang Pencipta.”/16/

Betulkah teori spektrum seksualitas manusia sama bahayanya dengan ledakan sebuah bom nuklir? Ya jelas tidak! Ada baiknya anda usahakan bertanya langsung ke Vatikan apa yang dimaksudkan oleh sang Paus atas pernyataannya itu yang menurut saya tidak arif dan berlebihan.

Ketika diminta untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan kata-katanya “Siapakah aku jika aku sampai menghakimi?”, Paus Fransiskus menegaskan bahwa ucapannya itu dikutip luar kepala dari pernyataan-pernyataan yang jauh lebih panjang tentang sikap dan pendirian GRK tentang homoseksualitas yang ditulis dalam Katekismus GRK./17/ Hingga saat ini, GRK resmi menyatakan bahwa “homoseksualitas bagaimanapun juga bukan bagian dari desain alamiah kemanusiaan.”/18/

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun