Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seluk-beluk Orientasi Seksual LGBT (Bagian 2)

13 Juli 2016   13:31 Diperbarui: 9 Maret 2018   16:41 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari Didi Nini Thowok sedang membawakan tarian saat mengamen di Kawasan Monumen Serangan Oemoem Satu Maret Yogyakarta, Kamis (20 Oktober 2011). Kegiatan mengamen yang hasilnya disumbangkan ke sejumlah panti dan pementasan tari yang melibatkan komunitas waria merupakan rangkaian acara Indonesian Cross Gender yang berlangsung hingga 21 Oktober 2011. Foto ANTARA/Wahyu Putro A/ed/ama/11.

Juga, siapa bilang, perkawinan sesama jenis tidak memungkinkan mereka mempunyai anak yang mereka akan besarkan bersama? Maksud saya, bukan dengan cara mengadopsi anak, tetapi lahir dari tubuh mereka sendiri! Aah, yang benar? Mana mungkin? OK, mari kita berpaling ke sains! Suatu tim ilmuwan dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Weizmann Institute of Science, Israel, baru-baru ini telah berhasil menemukan sebuah teknik genetika untuk menghasilkan bayi manusia dari sel-sel kulit kedua orangtua si bayi dengan menggunakan gen yang dinamakan SOX17.

Gen SOX17 digunakan untuk memprogram ulang sel-sel kulit manusia untuk menjadi “sel-sel germ primordial” (“Primordial Germ Cells”, atau PGCs, yakni sel-sel pendahulu telur dan sel-sel sperma), yang kemudian akan berkembang menjadi janin-janin manusia. Proses ini dapat dijalankan untuk memberikan bayi-bayi baik bagi pasangan heteroseksual yang mandul maupun bagi pasangan homoseksual. Selain itu, teknik mutakhir reproduksi ini juga dapat menghilangkan mutasi-mutasi epigenetik yang menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan pada sel-sel tubuh manusia ketika orang mulai menua, yakni dengan cara menyetel ulang dan meregenerasi sel-sel yang sudah tua./12/

Pernyataan pastoral PGI

Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT.

Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka. 

Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019).     

Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT.

  • Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
  • Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku;
  • Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
  • Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
  • Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.

Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT.

MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.

Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.  

Penari Didi Nini Thowok sedang membawakan tarian saat mengamen di Kawasan Monumen Serangan Oemoem Satu Maret Yogyakarta, Kamis (20 Oktober 2011). Kegiatan mengamen yang hasilnya disumbangkan ke sejumlah panti dan pementasan tari yang melibatkan komunitas waria merupakan rangkaian acara Indonesian Cross Gender yang berlangsung hingga 21 Oktober 2011. Foto ANTARA/Wahyu Putro A/ed/ama/11.
Penari Didi Nini Thowok sedang membawakan tarian saat mengamen di Kawasan Monumen Serangan Oemoem Satu Maret Yogyakarta, Kamis (20 Oktober 2011). Kegiatan mengamen yang hasilnya disumbangkan ke sejumlah panti dan pementasan tari yang melibatkan komunitas waria merupakan rangkaian acara Indonesian Cross Gender yang berlangsung hingga 21 Oktober 2011. Foto ANTARA/Wahyu Putro A/ed/ama/11.
Posisi Paus Fransiskus

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun