Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seluk-beluk Orientasi Seksual LGBT (Bagian 2)

13 Juli 2016   13:31 Diperbarui: 9 Maret 2018   16:41 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari Didi Nini Thowok sedang membawakan tarian saat mengamen di Kawasan Monumen Serangan Oemoem Satu Maret Yogyakarta, Kamis (20 Oktober 2011). Kegiatan mengamen yang hasilnya disumbangkan ke sejumlah panti dan pementasan tari yang melibatkan komunitas waria merupakan rangkaian acara Indonesian Cross Gender yang berlangsung hingga 21 Oktober 2011. Foto ANTARA/Wahyu Putro A/ed/ama/11.

Belum lama ini saya membaca sebuah berita yang membenarkan dugaan saya. Dibandingkan APA, ternyata para psikiater dalam PDSKJI telah sangat jauh ketinggalan dalam pengetahuan mereka tentang hasil-hasil riset-riset mutakhir dalam sains tentang OS. PDSKJI dan APA memang tidak punya hubungan kelembagaan yang hierarkis. Tapi sifat hubungan organisatoris ini tidak penting, dan sama sekali bukan soal yang utama. Yang jadi soal penting ternyata ini: Pimpinan PDSKJI mengklaim bahwa selama ini PDSKJI memakai standard klinis diagnosis LGBT dari hasil riset kedaluwarsa ICD-10 (International Statistical Classification on Diseases and Related Health Problems-10) yang dikeluarkan WHO tahun 1992. Ini patokan 24 tahun lalu! Alasan inilah yang dikemukakan PDSKJI untuk merasionalisasi pendirian mutakhir mereka yang salah tentang OS LGBT yang diumumkan 2016.

Sudah saya duga, ICD-10 WHO ternyata hanya dijadikan seekor “kambing hitam” saja oleh PDSKJI di tahun 2016 ini! Alasan saya menyatakan hal ini sangat jelas. 

Sudah saya tulis di atas bahwa PPDGJ III edisi 1993 memuat sebuah catatan bahwa OS LGBT bukan gangguan jiwa atau penyakit mental. Jika ICD-10 (tahun 1992) menjadi pedoman PPDGJ III, maka pastilah LGBT dalam ICD-10 tidak dinyatakan sebagai suatu penyakit atau gangguan mental. Lagipula, seperti sudah saya tulis pada alinea-alinea awal bagian pertama tulisan ini, pada 17 Mei 1990 WHO sudah mengikuti posisi APA tahun 1973! Jadi, saya tidak perlu membolak-balik halaman-halaman ICD-10 WHO untuk memeriksa sendiri. Masalah muncul ketika di awal 2016 ini dr. Fidiansyah SpKJ MPH menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa meskipun dia merujuk ke PPDGJ III. Apakah gerangan yang sedang terjadi?

Belum lama ini, 24 Maret 2016, saya baca sebuah berita di Rappler.com bahwa dr. Fidiansyah telah meminta maaf kepada publik atas pernyataannya di ILC TV One 16 Februari 2016 bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Namun beliau tetap berpendapat bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Bahkan beliau menegaskan OS hetero adalah “fitrah seksual yang diridoi dan diberkati Allah SWT.”/5/ Tentu saja, klaim beliau ini sudah berada di luar bidang psikiatri. Mungkinkah beliau sudah mulai jenuh di dunia psikiatri?

Lalu, bagaimana dengan APA? Lembaga yang berpusat di Amerika Serikat ini memakai patokan klinis OS yang dinamakan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5) tahun 2013. DSM-5 adalah patokan yang umum dipakai sekarang ini di dunia karena kemutakhiran diagnosisnya./6/

Dalam dua puluh tahun terakhir ini riset OS sudah maju pesat dan sudah menghasilkan banyak pengetahuan baru. Bagian pertama tulisan panjang saya ini, yang telah dipublikasi sebelumnya di Kompasiana (dan yang selalu dimutakhirkan), menguraikan temuan-temuan ilmiah tentang OS HLGBT sejak 1993 hingga 2016, tentu tidak seluruhnya. Saya bukan seorang psikiater. Tapi jelas, pengetahuan saya tentang HLGBT lebih maju dibandingkan pengetahuan para psikiater dalam PDSKJI.

Itulah kondisi memprihatinkan dunia psikiatri di Indonesia. Ketinggalan kemajuan pesat dalam riset OS HLGBT. Pantesan sempat muncul desas-desus bahwa LGBT dapat disembuhkan dengan cara Indonesia: yakni mereka perlu direbus dalam air bersuhu 80-85 derajat celcius dengan dicampur ramuan rempah-rempah. Kemudian ada ralat bahwa yang mau disembuhkan dengan direbus itu adalah pasien NAPZA. Hemat saya jika cara ini yang akan ditempuh (entah untuk LGBT atau untuk pecandu NAPZA), bersiaplah kita dengan potensi terjadinya “homicidal crime”. Jika desas-desus ini benar, maka orang-orang yang mengklaim diri profesional dalam usaha menyembuhkan LGBT atau pasien NAPZA sebetulnya memandang setiap pasien mereka sebagai segumpal besar daging sapi segar!

Saya tahu ada usaha untuk mereparasi LGBT dengan “mengotak-atik” apa yang dinamakan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), sementara ESQ, kita harus tahu, tidak diterima secara umum di kalangan psikolog kognitif sebagai suatu kecerdasan (“intelligence”). Tapi soal utamanya bukan itu, tetapi ini: LGBT masuk bidang biologi dan genetika, bukan bidang psikologi (kendati berdampak pada psikologi), bukan soal kerohanian (meskipun berdampak pada kerohanian), dan juga bukan soal kecerdasan!

Begitulah situasinya jika para psikiater Indonesia tidak lagi mengikuti perkembangan riset sains tentang OS selama dua puluh tahun belakangan ini. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sebagai psikiater. Atau, mungkin saja, sebetulnya hal lain yang sudah dan sedang terjadi: sains ditaklukkan oleh agama. Padahal yang seharusnya terjadi ini: sains membimbing agama-agama untuk perumusan ulang. Jika di NKRI sains sedang ditaklukkan agama, maka kita semua sedang masuk kembali ke zaman jahiliah, zaman kegelapan dan kebodohan, zaman prailmiah! Gawatnya, banyak sarjana sains Indonesia sedang membawa NKRI mundur ke sana!

Legalisasi perkawinan sesama jenis seks di Amerika

Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks untuk seluruh warganegara Amerika di semua 50 negara bagian. Keputusan ini diambil dengan kemenangan tipis kubu para hakim agung yang liberal versus kubu para hakim agung yang konservatif (5:4). Hakim Agung konservatif John G. Roberts Jr. membuat sebuah pernyataan tertulis yang dibacakannya setelah keputusan diambil,

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun