Tempe awalnya diproduksi di Jawa Tengah (Indonesia). Selama bertahun-tahun, telah menyebar ke Malaysia dan  wilayah Indonesia lain, dan bahkan ke luar negeri, sebagai bentuk makanan  fermentasi tradisional yang terkenal berbahan baku kacang  kedelai.Â
Tempe telah mendapatkan popularitas di dunia, terutama dalam makanan vegetarian dan di negara berkembang, karena mudah disiapkan dan rendah dalam biaya. Tempe adalah nama kolektif untuk kacang-kacangan, sereal, atau biji-bijian yang dimasak dan difermentasi produk sampingan pengolahan makanan, ditembus dan diikat bersama oleh miselium  jamur hidup (Nout dan Kiers, 2005).Â
Selain di Indonesia , Â Di Malaysia, tempe telah menjadi sumber makanan pokok protein selama beberapa tahun. Tempe yang memiliki tekstur keras dan rasa jamur yang pedas, juga dapat digunakan dengan berbagai cara sebagai bahan sup, salad, dan sandwich.Â
Selain itu, tempe  juga mendapatkan perhatian sebagai protein makanan lengkap, menyediakan asam amino esensial dan nonesensial. Protein dan isoflavone dari tempe telah terbukti berkontribusi pada manfaat kesehatan pada pencernaan.
Dua penelitian terbaru menunjukkan bahwa konsumsi tempe di Sprague--Dawley dan tikus attus norvegicus meningkatkan massa otot dan mikrobiota yang bermanfaat seperti sebagai populasi Bacteroidetes di usus (Khasanah et al., 2015; Soka et al., 2014).
Pembuatan tempe secara tradisional meliputi dua proses utama, yaitu perendaman dan fermentasi oleh kapang yang diawali dengan penambahan kultur starter kapang. Umumnya bahan baku pembuatan tempe yang disukai adalah tempe, adalah  kedelai berbiji kuning. Walapuan  demikian Substrat lain seperti barley, buncis, kacang tanah, kacang kuda, kacang lima, kacang polong, oat, sorgum, dan gandum juga telah dilaporkan sebagai sumber untuk tempe.
Di Indonesia yang paling umum, tempe adalah makanan olahan berbahan baku kedelai, yang difermentasi dengan ragi tempe (Rhizophus sp). Di Indonesia, konsumsi tempe menyumbang sekitar 10% dari total protein yang dikonsumsi, lebih tinggi dari daging (3,15%) dan telur ayam (1,25%) (Karyadi & Lukito, 1996).Â
Rata-rata konsumsi tempe di Indonesia adalah 10,1 hingga 33,75 kg/kapita/tahun, berkontribusi hingga 60% dari total konsumsi kedelai nasional (Astawan et al., 2018; Astawan dkk., 2017; Karyadi & Lukito, 1996). Saran ini secara umum menunjukkan penerimaan sensorik yang tinggi terhadap tempe di Indonesia.
 Pembuatan tempe secara tradisional meliputi dua proses utama, yaitu perendaman dan fermentasi kapang yang diawali dengan penambahan kultur starter kapang. Paling Umumnya bahan baku pembuatan tempe yang disukai adalah tempe yang berbiji kuning kedelai. Substrat lain seperti barley, buncis, kacang tanah, kacang kuda, kacang lima, kacang polong, oat, sorgum, dan gandum juga telah dilaporkan sebagai sumber untuk  tempe , namun di Indonesia yang paling popular ya, kedelai itu.
Proses pembuatan tempe dimulai dengan pengupasan kedelai dengan perendaman selama 30-60 menit. Kacang yang dikupas adalah direndam selama 6-24 jam untuk meningkatkan kadar air biji, memungkinkan mikroba aktivitas, membuat kacang dapat dimakan, dan mengurangi jumlah yang terjadi secara alami senyawa antimikroba (saponin) dan komponen pahit. Setelah ditiriskan, kacang dimasak selama 20 menit dalam air tawar. Kemudian, kacang yang sudah dimasak disebarkan keluar pada nampan berlubang untuk menghilangkan air bebas. K
edelai kering diinokulasi  menggunakan starter yang mengandung sporangiospora terutama Rhizopus spp. dan jarang menggunakan Mucor spp. Secara tradisional, kacang dikemas dalam daun pisang yang ditusuk, memungkinkan pasokan udara yang terbatas ke biji. Pasokan udara yang terbatas membatasi pembentukan sporangiospora jamur. Kacang yang diinokulasi yang dikemas diinkubasi selama 1-2 hari pada 25-30 C. Bentuk kue tempe segar berwarna putih creamy yang menarik setelah inkubasi dan dapat ditambahkan ke berbagai hidangan