Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Narasi Kecil tentang Pengungsi yang Lari Menyelamatkan Diri

20 Maret 2022   02:43 Diperbarui: 22 Maret 2022   00:29 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang Narasi pengungsi yang lari menyelamatkan diri | Dokumentasi pribadi oleh Ino

Apa yang bisa kamu lakukan saat pengungsi duduk di halaman rumahmu atau mengetuk pintu rumahmu?

Sabtu, 12 Maret 2022 sore hari pukul 18.00 waktu Jerman. Langkah pertama memasuki gereja tua, langsung tersentak oleh kehadiran dua wajah berbeda.

Seorang mengenakan jaket hijau dan seorangnya jaket merah. Keduanya sibuk mengecas baterai handphone mereka persis di samping tabernakel tua. Di samping tabernakel itu, keduanya menempatkan koper dan tas kecil mereka.

Seorang sedang berdiri dan lainnya sedang duduk layak orang sedang berdoa pada sebuah bangku koor di gereja itu. Keduanya berbicara dalam bahasa yang tidak saya pahami.

Desis tutur mereka seperti bahasa rusia, bahasa yang pernah saya dengar dari teman saya seorang ahli pesawat militer Rusia pada tahun 2017 silam. 

Bunyinya begitu mirip. Tidak disangka bahwa keduanya berasal dari Ukraina. Ya, sang ibu dan anak. Namanya Vera dan Naejza. Keduanya lesu tapi penuh harapan bahwa akan ada bantuan dan pertolongan. Kesan itu tampak kuat dari ekspresi wajah mereka.

Kemelut perang punya cerita tentang pengungsian. Banyak orang meninggalkan negaranya dan datang ke Eropa. Datang tanpa punya apa-apa.

Semua telah hilang dan tinggal cerita. Sekali keluar dari negaranya, maka pasti tidak akan kembali sampai suasana sudah berubah.

Berkat bantuan google translator saya mencoba merekam pembicaraan mereka. Teridentifikasi bahasa mereka adalah bahasa Ukraina. 

Pertanyaan pertama pada saat itu adalah kalian mau ke mana (kudy vy ydete?) Mendengar ucapan pincang dari saya, mereka tertawa gembira, meski bukan tertawa lebar.

Jawaban pertama mereka adalah Berlin. Saya akhirnya mengerti bahwa mereka hendak pergi ke Berlin. Saya pun ingin tahu apakah mereka punya alamat di Berlin? (U vas ye adresa v Bellini?) tanya mister Google. Serentak jawab keduanya, "Ni" atau tidak.

Tidak tega dengan rasa ingin tahu tentang tujuan mereka dengan terus bertanya. Saya coba mengurung niat untuk tidak bertanya tentang hal lainnya selain, apakah kalian lapar? (Ty holodniy?) Keduanya serentak pula menganggukan kepala.

Saat itu pula, saya mengajak keduanya masuk ke dalam rumah. Komunikasi selanjutnya hanya menggunakan google translator. Keduanya memang sering berbicara, namun saya tidak bisa mengerti sedikit pun.

Saya mencoba menghubungi pimpinan rumah kami seorang Belanda, apakah keduanya boleh makan malam dan menginap di rumah kami. Pimpinanku dengan sangat antusias menjawab ya tentu saja.

Ia langsung dengan segera menyiapkan sup dan roti untuk keduanya. Sedangkan seorang teman dari Korea menyiapkan piring makan. Saya menghantar keduanya ke kamar makan. 

Kami menyiapkan air panas dan beberapa jenis teh untuk minuman mereka pada malam itu. Mereka terlihat lapar. Sup yang disiapkan mereka nikmati dan beberapa potong roti dan secangkir teh.

Setelah selesai makan, kami membereskan piring dan meja makan mereka. Lalu kami menyiapkan dua kamar tidur untuk keduanya, lalu menunjukkan di mana kamar mereka dan juga toilet dan kamar mandi.

Membawakan dua botol air minum ke kamar mereka. Ya, malam itu keduanya tidur di rumah kami. Keesokan paginya saya bertanya apakah mereka bisa tidur dengan nyenyak, kata mereka, "ya tidur nyenyak" (Tak, my dobre spaly).

Ya, saya bisa mengerti situasi mereka. Sangat sulit bagi mereka untuk melupakan dengan segera situasi yang barusan saja terjadi di depan mata.

Berhadapan dengan situasi yang membuat mereka harus meninggalkan tanah air. Tempat lahir adalah juga rahim kehidupan. Meninggalkan itu semua? Tentu bukan hal yang mudah.

Peristiwa itu akhirnya membuka pemahaman tentang dimensi kehidupan ini:

1. Meninggalkan rumah

Semua tidak tahu kapan dan dalam situasi apa dia akan meninggalkan rumahnya. Namun, suatu waktu dia akan tahu seperti apa rasanya ketika meninggalkan rumah.

Rindu untuk kembali ke rumah sudah pasti ada. Namun bagaimana jika situasi tidak memungkinkan. Ya, mau tidak mau orang harus menerima keadaan kehilangan itu.

Nafas pasti sesak di dada ketika ingatan indah tentang masa lalu harus pergi dan tidak tahu kapan bisa kembali. Hidup itu ada waktunya. Ada waktu untuk meninggalkan rumah dan juga ada waktu untuk kembali ke rumah.

Saat untuk menerima keadaan apa adanya, mungkin saat paling baik untuk berdamai dengan diri sendiri. Perang itu tanpa kompromi. Tidak ada yang tahu kapan harus berhenti dan semua boleh kembali ke rumah masing-masing.

2. Mengangkat tangan

Ibarat orang yang tercebur ke dalam air atau kolam meminta pertolongan. Ia harus segera mengangkat tangannya. Semua orang yang melihatnya akan mengerti bahwa ia minta pertolongan.

Para pengungsi saat itu hanya bisa mengandalkan cara sederhana itu. Berdiri dengan tenang dan mengangkat tangan untuk meminta uluran tangan orang lain.

Sebuah simbol kehidupan yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang. Mengangkat tangan supaya ada uluran tangan. Mungkin itu ungkapan hati para pengungsi Ukraina saat ini.

Tak penting siapa benar atau salah, karena manusia butuh pertolongan dan keselamatan. Manusia butuh bantuan nyata. Manusia butuh satu potong roti, segelas teh, semangkuk sup.

Para pengungsi butuh pintu rumah yang terbuka. Kamar tidur tempat mereka bisa baring sejenak melupakan lelah dan penat. Kehidupan yang terkadang tidak bisa diduga datang menerpa hingga melarat begitu rupa.

Itu semua datang dari cerita tentang perang. Perang punya kisah yang mirip entah di mana saja. Mungkin saja rakyat Indonesia dulunya pernah mengalami hal seperti itu juga.

Itulah alasannya mengapa banyak orang mengangkat tulisan stop war.

3. Mengenal pengungsi

Tidak terbayangkan bahwa di zaman ini, kata pengungsi (Flüchtlinge) masih disebut juga. Kata Flüchtlinge pertama terdengar ketika 3 pengungsi dari Suriah tinggal bersama kami selama 2 tahun. 

Saat itu baru mengerti betapa kemanusiaan itu jauh lebih penting daripada melihat latar belakang agama seseorang. Menolong orang lain bukan karena agamanya, tetapi karena solidaritas kemanusiaan.

Saya menolong orang lain bukan karena dia sealiran, tetapi karena dia manusia. Dia adalah saudara dan juga saudari saya. 

Kisah empat tahun lalu dan kisah baru-baru ini telah menjadi basis dari apa artinya persaudaraan universal itu sendiri. 

Menjadi saudara bagi orang lain, tidak lebih dari memberi makan, minum, penginapan dan waktu untuk berbicara dengan mereka. Tentu bukan tentang identitas dan saat interogasi untuk memperoleh data sejelas mungkin.

Pengungsi punya cerita sendiri. Mereka punya cerita bagaimana berusaha menyelamatkan diri. Bagaimana mereka berjuang hidup dari kebaikan orang lain.

Bagaimana berterima kasih pada mereka yang tulus hati memberi hati dan segalanya. Mengenal pengungsi ternyata perlu lebih dari opini.

4. Narasi peduli

Narasi ini adalah narasi peduli pada kemanusiaan dan bukan narasi tentang keberpihakan secara politis. Bukan soal untung dan rugi, benar dan salah, tetapi bahwa perang sudah punya dampak nyata.

Sekian banyak orang merana karena perang. Berapa banyak orang yang memilih lari menyelamatkan diri. Mereka telah meninggalkan segalanya, bahkan lupa pada rumah dan keluarga mereka.

Narasi peduli tidak lain agar manusia semakin merasakan betapa pentingnya hidup damai itu sendiri. Damai yang tidak harus ditempuh melalui laga peperangan dan penghancuran total.

Manusia di mana saja merindukan dunia yang damai. Dunia yang aman tanpa tekanan. Dunia yang rukun penuh toleransi.

Ya, keadaan ideal itu ada di tangan kita sendiri. Kita yang punya kesempatan untuk membangun damai dan memelihara damai dalam kehidupan kita.

Demikian ceceran cerita pengungsi yang lari menyelamatkan diri pada 12 Maret 2022 tahun ini. Cerita haru di tengah biara tertutup yang coba membuka diri bagi yang lainnya. Belajar hidup melampaui batas-batas aturan hidup dan tradisi. 

Menyelamatkan manusia lain saat ini sudah merupakan pilihan yang terpenting daripada menemukan saat-saat sendiri dan keamanan diri sendiri.

Ada kebahagiaan lebih ketika bisa menolong orang lain. Ada rasa haru ketika bisa melihat orang lapar bisa makan, orang haus bisa meminum air, orang yang tidak punya rumah bisa tidur pulas.

Jiwa ini tenang dalam dekapan bantuan nyata dan ketika rasa damai bisa dibagikan kepada yang lainnya.

Salam berbagi, ino, 20.03.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun