Apa yang bisa kamu lakukan saat pengungsi duduk di halaman rumahmu atau mengetuk pintu rumahmu?
Sabtu, 12 Maret 2022 sore hari pukul 18.00 waktu Jerman. Langkah pertama memasuki gereja tua, langsung tersentak oleh kehadiran dua wajah berbeda.
Seorang mengenakan jaket hijau dan seorangnya jaket merah. Keduanya sibuk mengecas baterai handphone mereka persis di samping tabernakel tua. Di samping tabernakel itu, keduanya menempatkan koper dan tas kecil mereka.
Seorang sedang berdiri dan lainnya sedang duduk layak orang sedang berdoa pada sebuah bangku koor di gereja itu. Keduanya berbicara dalam bahasa yang tidak saya pahami.
Desis tutur mereka seperti bahasa rusia, bahasa yang pernah saya dengar dari teman saya seorang ahli pesawat militer Rusia pada tahun 2017 silam.Â
Bunyinya begitu mirip. Tidak disangka bahwa keduanya berasal dari Ukraina. Ya, sang ibu dan anak. Namanya Vera dan Naejza. Keduanya lesu tapi penuh harapan bahwa akan ada bantuan dan pertolongan. Kesan itu tampak kuat dari ekspresi wajah mereka.
Kemelut perang punya cerita tentang pengungsian. Banyak orang meninggalkan negaranya dan datang ke Eropa. Datang tanpa punya apa-apa.
Semua telah hilang dan tinggal cerita. Sekali keluar dari negaranya, maka pasti tidak akan kembali sampai suasana sudah berubah.
Berkat bantuan google translator saya mencoba merekam pembicaraan mereka. Teridentifikasi bahasa mereka adalah bahasa Ukraina.Â
Pertanyaan pertama pada saat itu adalah kalian mau ke mana (kudy vy ydete?) Mendengar ucapan pincang dari saya, mereka tertawa gembira, meski bukan tertawa lebar.
Jawaban pertama mereka adalah Berlin. Saya akhirnya mengerti bahwa mereka hendak pergi ke Berlin. Saya pun ingin tahu apakah mereka punya alamat di Berlin? (U vas ye adresa v Bellini?) tanya mister Google. Serentak jawab keduanya, "Ni" atau tidak.