Tidak tega dengan rasa ingin tahu tentang tujuan mereka dengan terus bertanya. Saya coba mengurung niat untuk tidak bertanya tentang hal lainnya selain, apakah kalian lapar? (Ty holodniy?) Keduanya serentak pula menganggukan kepala.
Saat itu pula, saya mengajak keduanya masuk ke dalam rumah. Komunikasi selanjutnya hanya menggunakan google translator. Keduanya memang sering berbicara, namun saya tidak bisa mengerti sedikit pun.
Saya mencoba menghubungi pimpinan rumah kami seorang Belanda, apakah keduanya boleh makan malam dan menginap di rumah kami. Pimpinanku dengan sangat antusias menjawab ya tentu saja.
Ia langsung dengan segera menyiapkan sup dan roti untuk keduanya. Sedangkan seorang teman dari Korea menyiapkan piring makan. Saya menghantar keduanya ke kamar makan.Â
Kami menyiapkan air panas dan beberapa jenis teh untuk minuman mereka pada malam itu. Mereka terlihat lapar. Sup yang disiapkan mereka nikmati dan beberapa potong roti dan secangkir teh.
Setelah selesai makan, kami membereskan piring dan meja makan mereka. Lalu kami menyiapkan dua kamar tidur untuk keduanya, lalu menunjukkan di mana kamar mereka dan juga toilet dan kamar mandi.
Membawakan dua botol air minum ke kamar mereka. Ya, malam itu keduanya tidur di rumah kami. Keesokan paginya saya bertanya apakah mereka bisa tidur dengan nyenyak, kata mereka, "ya tidur nyenyak" (Tak, my dobre spaly).
Ya, saya bisa mengerti situasi mereka. Sangat sulit bagi mereka untuk melupakan dengan segera situasi yang barusan saja terjadi di depan mata.
Berhadapan dengan situasi yang membuat mereka harus meninggalkan tanah air. Tempat lahir adalah juga rahim kehidupan. Meninggalkan itu semua? Tentu bukan hal yang mudah.
Peristiwa itu akhirnya membuka pemahaman tentang dimensi kehidupan ini:
1. Meninggalkan rumah