Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Raperda AIDS Kab Bojonegoro Tidak Memberikan Langkah Konkret Penanggulangan AIDS

21 Mei 2016   05:16 Diperbarui: 21 Mei 2016   06:21 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika ada ajakan untuk memberikan masukan bagi Raperda HIV-AIDS dan Tuberkulosis (Inisiatif Anggota DPRD Bojonegoro) yang pertama terlintas di pikiran saya adalah copy-paste. Dan, saya tidak suuzon karena setelah saya baca hal itu benar. Dari 81 Peratuaran Bupati (Perbup), Peraturan Walikota (Perwali), dan Peraturan Daerah (Perda) sudah 74 yang saya baca. Semua hanya copy paste. Tanggapan terhadap perbub, perwali dan perda AIDS saya ulas di http://www.aidsindonesia.com.

Dalam 74 Pergub, Perwali dan Perda AIDS tsb. satu pun tidak ada yang memberikan langkah-langkah yang konkret melalui pasal yang eksplisit cara-cara penanggulangan HIV/AIDS. Semua bertumpu pada aspek moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Itu artinya cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS bisa diketahui dengan akurat.]

HIV Gandakan Diri

Tapi, karena sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama akibatnya sampai sekarang paradigma berpikir banyak orang tentang HIV/AIDS tetap berpijak pada pemahanan 35 tahun yang lalu ketika AIDS dipublikasikan pertama kali di AS.

Dalam raperda itu di Pasal 1 ayat 5 disebutkan: HumanImmunodeficiency Virusyang selanjutnya disebut HIV adalah virus penyebab AIDS yang digolongkan sebagai jenis yang disebut retrovirus yang menyerang sel darah putih yang melumpuhkan sistem kekebalan tubuh dan ditemukan dalam cairan tubuh penderita terutama dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu.

HIV sebagai retrorivirus bukan berarti virus ini menyerang sel darah putih. Disebut retrovirus karena HIV bisa menggandakan diri. Nah, HIV yang mempunyai RNA memerlukan DNA agar bisa menggandakan diri. HIV pun menyamar jadi protein ketika masuk ke sel darah putih. Di sel darah putih HIV menggandakan diri, sedangkan sel darah putih yang dijadika HIV sebagai ‘pabrik’ rusak. HIV yang baru digandakan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya.

Dalam sehari HIV bisa menggandakan diri antara 10 miliar sampai 1 triliun. Itu artnya sel darah putih banyang yang rusak. Pada satu titik sel darah putih banyak yang rusak itulah yang disebut masa AIDS yang ditandai dengan kemudahan penyakit masuk ke dalam tubuh. Penyakit itu disebut infeksi oportunistik, sepeti diare, TB, dll. Penyakit inilah yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS.

Di ayat 7 disebutkan: “Orang dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala penyakit ikutan.” Sebutan ODHA bukan akronim atau singkatan, tapi kata yaitu Odha (tidak semua huruf besar). Istilah ini usul dari pakar bahasa mendiang Prof Dr Anton M Moeliono (catatan kaki hal 17, Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Di Pasal 1 ayat 17 disebutkan: “Kelompok Risiko Tinggi adalah setiap orang atau badan yang dalam keadaan dan kapasitasnya paling menentukan keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, misalnya : (komunitas) orang terinfeksi dan keluarganya, Penjaja Seks Komersial, Pelanggan Penjaja Seks Komersial, Pemakai Nakotika Suntik dan lain-lain.” Pemakaian frasa ‘penjaja seks komersial’ sangat tidak manusiawi karena pekerja seks komersial (PSK) sama sekali tidak pernah menjajakan vaginanya. Justru laki-laki ‘hidung belang’ yang datang ke PSK (Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).

Pada pasal 1 ayat 34 disebutkan: “Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yang selanjutnya disebut NAPZA adalah obat-obatan/bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.”

Terminologi NAZA dan NAPZA tidak lagi dipakai karena tidak semua zat adiktif termasuk narkotika, seperti teh, kopi, tembakau, dll. Istilah yang pas adalah Narkoba (Narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Yang perlu diatur adalah upaya menurunkan insiden atau penularan baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom, yaitu:

(a) dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah di wilayah Kab Bojonegoro atau di luar wilayah Kab Bojonegoro bahkan di luar negeri, dan

(b) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsun dan PSK tidak langsung di wilayah Kab Bojonegoro atau di luar wilayah Kab Bojonegoro bahkan di luar negeri.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Lokalisasi Pelacuran

Yang perlu diatur dalam Perda AIDS Bojonegoro adalah intervensi terhadap laki-laki agar mewajibkan kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, yang perlu diingat adalah intervensi hanya terhadap PSK langsung.

Yang jadi masalah besar adalah praktek PSK langsung sekarang, dikenal sebagai lokasi atau lokalisasi pelacuran, sudah tidak ada, termasuk di Kab Bojonegoro. Itu artinya intervensi terhadap laki-laki ‘hidung belang’ tidak bisa lag dilakukan karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Maka, insiden infeksi HIV pun akan terus terjadi yang pada akhirnya laki-laki tsb. jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Paling tidak ada 17 ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke Kab Bojonegoro, al. seperti pada poin (b) di atas. Dan, hanya poin (b) itu saja yang bisa diintervensi. Celakanya, hal itu tidak bisa dilakukan karena di wilayah Kab Bojonegoro tidak ada lagi lokalisasi pelacuran.

Tentu saja tidak mungkin melakukan intervensi ke semua penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang karena tidak bisa diketahui dengan pasti kapan terjadi praktek pelacuran. Lagi pula jika razia terus-menerus akan merugikan pengusaha karena orang akan takut menginap.

‘Pintu masuk’ HIV/AIDS yang lain adalah penyalahguna narkoba dengan jarum suntik. Ini bisa dijangkau dengan program penjangkauan dan sudah banyak daerah yang melakukannya. Misalnya, program rumatan metadon yaitu penyalahguna narkoba suntik dialihkan memakai narkoba sintetis secara oral sehingga risiko penyebaran HIV melalui jarum suntik bisa dikendalikan.

Sayang, pasal tentang rumatan metadon tidak ada di raperda AIDS Bojonegoro ini. Padahal, rumatan metadon merupakan salah satu program yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru dan memutus mata rantai penyebaran HIV melalui penyalahguna narkoba suntikan.

Cara-cara pencegahan, dalam Raperda disebut usaha preventif, yang ditawarkan di raperda sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Lihat saja di Pasal 13: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu :

a. tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah;

b. hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah;  

c. menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV positif;

Poin a merupakan perwujudan dari mitos (anggapan yang salah) yang selama ini menjadi penghalang dalam penanggulangan HIV/AIDS.

Pertama, tidak  ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seksual sebelum menikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah karena salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual.

Kedua, dalam pernikahan pun bisa terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual kalau salah satu dari pasangan suami-istri tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali hubungan seksual.

Langkah di Hilir

Hal yang sama juga pada poin b. Dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual kalau salah satu dari pasangan suami-istri tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali hubungan seksual.

Pada poin c yan jadi masalah besar adalah banyak suami yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena mitos bahwa HIV hanya menular melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Nah, suami-suami itu melakukan hubungan seksual tidak dengan PSK langsung dan tidak pula di lokalisasi pelacuran. Tapi, mereka tidak menyadari bahwa perempuan yang jadi pasangan seks mereka itu juga PSK, dalam hal ini PSK tidak langsung dan risiko tertular HIV sama saja dengan PSK langsung.

Pasal 25: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, sperma, cairan/organ/jaringan tubuhnya kepada orang lain.” Fakta menunjukkan banyak orang yang mendonorkan darah tidak mengetahui dirinya sudah terular HIV, tapi darah aman ditransfusikan karena PMI akan melakukan uji saring terhadap darah donor. PMI pun tidak boleh membeberkan donor yang darahnya terdeteksi mengandung HIV.

Pasal 30 disebutkan: “Setiap orang berisiko tinggi wajib mengikuti pemeriksaan Infeksi Menular Seksual yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.” Ini langkah di hilir. Artinya, orang-orang tsb. sudah tertular HIV karena melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Yang lebih celaka mereka pun sudah menularkan HIV ke orang lain.

Pasal 31 berbunyi: “Setiap pengelola dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan secara berkala pada instansi berwenang dalam rangka perencanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah Daerah.”

Begitu juga di Pasal 32: “Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.” Dan di Pasal 33: “Setiap perusahaan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja.”

Pernyataan pada Pasal 30, 31, dan 32 itu memunculkan dugaan bahwa di tempat-tempat hiburan terjadi hubungan seksual yang berisiko yaitu dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan tanpa kondom.

Kalau hal itu terjadi ‘kan sama saja tempat hiburan itu dengan lokalisasi pelacuran hanya saja di tempat yang lebih ‘terhormat’ dan, tentu saja, terselubung. Itu artinya, maaf, kita terbelenggu kemunafikan. Kita tutup lokalisasi pelacuran, tapi praktek pelacuran dalam berbagai bentuk terjadi secara bebas.

Praktek pelacuran di tempat-tempat hiburan tidak bisa dilakukan intervensi karena hubungan seksual dilakukan secara terselubung. Berbeda dengan di lokalisasi pelacuran hubungan seksual terjadi terang-terangan sehingga intervensi bisa dilakukan.

Karena praktek pelacuran di wilayah Kab Bojonegoro tidak dilokalisir, maka tidak ada yang bisa dilakukan Pemkab Bojonegoro sehingga upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan dengan kesadaran laki-laki. Ada dua pilihan yaitu: tidak melakukan hubungan seksual berisiko, dan selalu pakai kondom jika melakukan hubungan seksual berisiko.

Mendorong Stigmatisasi dan Diskriminasi

Tentu saja tidak mudah membalik pradigma berpikir laki-laki yang sering melacur dengan PSK atau berzina dengan perempuan lain dengan dalih suka sama suka bahwa merekalah yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV.

Celakanya, peran serta masyarakat yang diharapkan dalam Raperda itu sama sekali tidak mendukung program penanggulangan HIV/AIDS.

Di Pasal 41 ayat (1) disebutkan: Masyarakat berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dan Tuberkolusis dengan cara:

a. Meningkatkan ketahanan agama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan Tuberkolusis;

Pernyataan pada huruf a ini benar-benar moralistis yang sama sekali tidak menukik ke akar persoalan:

Apa ukuran dan alat ukur serta siapa yang mengukur ‘ketahanan agama dan keluarga’?

Lalu, seperti apa ukuran ‘ketahanan agama dan keluarga’ yang bisa mencegah penularan HIV dan Tuberkulosis?

Pernyataan ini justru mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha karena dianggap mereka tidak mempunyai ‘ketahanan agama dan keluarga’!Ciloko, ‘kan.

b. Beperilaku hidup bersih dan sehat;

Apa yang dimaksud dengan ‘hidup bersih dan sehat’? Tidak ada kaitan langsung antara ‘hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV bukan karena tidak bersih dan tidak sehat. Justru orang yang sehat daya seksnya tinggi.

c. Melaporkan kepada petugas apabila ditemukan orang yang diduga menderita HIV/AIDS dan Tuberkolusis;

Orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Perintah ini bisa disalahgunakan sebagian orang sehingga akan muncul fitnah.

d. Bersedia dilakukan pemeriksaan dan dirujuk serta diobati sesuai standar operasional yang berlaku;

Siapa yang harus diperiksa? Orang sakit tidak akan pernah menolak pengobatan dan perawatan. Maka, ketika Odha mengidap penyakit infeksi oportunistik mereka dengan rela akan menerima perawatan dan pengobatan. Celakanya, ini sudah di hilir sehingga sebelum sakit mereka sudah menularkan HIV ke orang lain.

e. Tidak melakukan diskrimininasi dan stigma terhadap orang yang terinveksi HIV/AIDS dan Tuberkolusis.

Fakta menunjukkan yang paling banyak melakukan stigma dan diskriminasi justru terjadi di fasilitas kesehatan, seperti di rumah sakit.

Perda ini sama sekali tidak menukik ke upaya penanggulangan HIV/AIDS. Maka, jika disahkan Perda AIDS Bojonegoro ini sama saja dengan perda-perda AIDS yang sudah ada: hasilnya nol besar! *** [AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun