DESEMBER tahun lalu, saat bulir-bulir air hujan berkejaran dengan rutinitas masyarakat kota Jakarta.
Sore itu, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan, pekerjaan yang menjajakan sebuah harapan kosong pada nasabah-nasabah yang polos.
Kemudian berbagi data pribadi mereka untuk ditukar secangkir kopi hangat, atas nama solidaritas semenjana pada meja kedai yang berdebu di sudut jalan.
Dan rasanya seperti mengiris tipis jiwaku sendiri, karena selama bertahun-tahun berusaha membidik target yang tak pernah bisa diraih.
Maaf Boss, aku sudah muak dengan janji-janji bonus yang tak pernah sampai menyentuh rekeningku.Â
Dan lebih dari itu, aku pun tak mengharapkan lagi gaji yang selalu datang terlambat dengan segala potongan tetek bengek.
Lantas, bagaimana soal cinta?
Ah sudahlah, terlalu banyak kisah sedih akibat pekerjaan ini yang menghantam sisi romantisme dalam hidupku.
Lamunanku menerawang pada masa lalu, masa dimana tekad masih membara dan mimpi akan kesejahteraan yang membawaku merantau ke Jakarta.
Dan halte ini, satu-satunya tempat yang menyambut kedatanganku dari Lampung dahulu, saat pertama kali menjejakkan langkah di ibu kota.
Dan sekarang, aku kembali terdampar disini, berlindung dari deras hujan dan sumpeknya kemacetan lalu lintas rutin sepulang kerja.
"Mas bisa pinjam apinya?" Tanya seseorang dari arah belakang.
"Saya bukan naga dek," jawabku, asal saja.
"Maaf, korek api maksudnya," jelasnya.
Aku tak menjawab dan hanya menyodorkan bara dari ujung kretek yang tengah ku hisap.
Sayang, jika pemantik api Zippo berlogo Levi's dalam saku celana sampai harus kena cipratan hujan, kataku dalam hati.
"Matur suwun," ucapnya, setelah berhasil menyalakan rokok mungilnya.
"Maaf mba, saya tak lihat tadi," ucapku berbasa-basi.
"Ndak apa-apa, Mas," jawabnya lembut.
"Pulang kerja, Mba?" Kembali aku bertanya.
"Iyo, hujan deras men, ban ku mbledos juga," kali ini ia berbicara sambil menoleh menatapku.
"Merokok buat perempuan tak baik loh, Mba," basa-basiku semakin menjadi.
"Buat sampeyan pun podo wae, Mas," ujarnya santai.
Satu jam lebih kami mengobrol saling membelakangi, dimulai dari perkenalan biasa, bahasan soal kampung halaman, sampai curhat soal masalah pekerjaan masing-masing.
Hujan sudah berhenti, namun kemacetan sepertinya akan terus berlanjut hingga gelap dan akupun memandu Bimbi, menuju tukang tambal ban yang tak jauh dari halte.
Bimbi, nama yang unik untuk seorang perempuan di masa kini, parasnya adem seperti gadis keraton solo, dengan bola mata yang bening berwarna cokelat.
Logat bahasa yang tak asing, seperti berada dikampung sendiri saja, daerah Sidomulyo-Lampung, yang ternyata satu arah dengan kampungnya di pelosok desa Teladas.
"Mas Alfian, Aku duluan yo," ucap Bimbi, yang sudah berada di atas motornya.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan, saat melihatnya selap-selip di antara kemacetan, lalu meluncur naik ke atas Flyover Pramuka, menuju arah Tugu Proklamasi.
Dalam hatiku berkata, " Tuhan, jika aku punya uang, tentu akan ku ajak perempuan cantik itu ke seberang sana dan makan di restoran khas Palembang."
Satu-satunya hal yang aku syukuri di bulan Desember adalah, Jakarta yang tak terlalu panas dimalam hari, terlebih selepas hujan deras.
Meski harus waspada resiko banjir, namun bagiku tak masalah, karena minimnya barang elektronik yang ku miliki di dalam kamar kost yang sempit ini.
"Huh, kerja sepuluh tahun di Jakarta hasilnya cuma tumpukan hutang kartu kredit," keluhku sambil menyeduh kopi tubruk.
Aku berpikir untuk pulang kampung saja, mengurus kebun karet milik keluarga yang meskipun cuma satu setengah hektar, tapi toh cukup untuk hidup.
Cukupkah? Harga karet sudah lama terjungkal sejak tahun 2017 dan kawan-kawan, termasuk bapak di kampung pun sudah mulai beralih menjadi buruh di pertambangan pasir.
"Alfi, Alfian!" Seseorang meneriakkan namaku dari balik pintu.
"Hei Tarno, masuk!" Pintaku, seraya membuka pintu lebar-lebar.
"Duduklah, sebentar ku seduhkan kopi," ucapku.
Tarno adalah mantan nasabah yang hampir merenggut nyawaku dua tahun lalu, saat itu ia sangat marah karena klaim asuransi bengkelnya tidak kunjung cair dengan berbagai macam alasan dari kantorku.
Dan jika bukan karena kami kawan satu sekolah, saat sama-sama menempuh pendidikan menengah atas di Tulang Bawang dahulu, mungkin saat ini aku sudah almarhum.
"Ada apa, tumben kemari?" Tanyaku.
"Aku mau kasih kabar baik, Alfian," jawabnya.
"Alhamdulillah, apa itu?" Kembali aku bertanya.
"Bengkel sedang membutuhkan tenaga marketing, dan kau boleh masuk besok pagi juga!" Jawabnya mantap.
"Jangan bertanya soal gaji, aku tahu kau baru berhenti dari perusahaan bajingan itu!" Lanjutnya.
"Buatku sekarang yang penting untuk bertahan, kawan!" Ucapku gembira.
Semalam suntuk kami mengobrol ngalor ngidul, empat gelas kopi dan sepiring goreng pisang sudah dihabiskan.
"Sampai bertemu di bengkel, Alfian," ucap Tarno, seraya beranjak pamit malam itu.
Hari pertama bekerja di bengkel, sebuah bengkel sekaligus showroom mobil bekas didaerah Cengkareng yang sudah punya nama.
Cukup keren untuk kembali menuliskan namaku dalam kartu nama berlogo bengkel ini, pikirku.
"Langsung kerja saja ya, kemarin semua karyawan sudah di briefing mau ada koordinator sales baru," Ucap Tarno.
Ia tak membawaku berkeliling, hanya mengarahkan langkahku ke sebuah meja kerja disudut ruangan.
"Disini, kamu panggil aku Pak Tarno," lanjutnya sambil tersenyum.
"Iya, Pak Tarno," jawabku kaku.
Aku mulai berkeliling melihat aktivitas bengkel dan showroom, sesekali mencocokkan dengan panduan dalam dokumen yang tersusun rapih di depan meja kerja.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku dan menyapa dengan hangat dan lembut.
"Anak barunya, Mas Alfian toh" ucapnya.
Aku kaget sekaligus senang, bisa dibilang ketiban bulan, karena kembali dipertemukan dengan perempuan cantik yang pernah ku bantu di halte sore kemarin.
"Hei, bengong ae," ucapnya lagi.
"Bimbi, kamu kerja disini juga?" Tanyaku.
"Udah hampir lima tahunan lah, Mas," jawabnya, seraya berjalan ke arah luar.
Bimbi ternyata sudah lama bekerja sebagai mekanik dengan Tarno, dan ia termasuk mekanik senior di bengkel ini.
Tarno memang baik hati dan suka menolong, terlebih bagi kami, saudara dan kawan sekampungnya yang hidup sulit di tanah rantau.
Oh Bimbi, aku jadi senyum-senyum sendiri karena ternyata kami dipertemukan kembali dalam lingkungan pekerjaan.
Jika orang-orang selalu berbicara tentang cinta pada pandangan pertama, mungkin khusus untukku harus menunggu saling memandang untuk kedua kalinya.
Kata orang, jodoh tak akan lari dikejar dan aku tak perlu mengejar jauh-jauh jodohku ini.
Mulai saat itu, aku putuskan untuk membatalkan rencana pulang kampung, sebelum bisa memboyong Bimbi sebagai calon mantu bapak dan emak di kampung.
Kini setahun sudah berlalu, dan hubunganku dengan Bimbi seperti jalan ditempat, meskipun setiap hari kami menghabiskan waktu bersama dan di hari libur kami sering makan atau sekedar jalan-jalan berdua.
Aku merasakan ada sesuatu yang Bimbi sembunyikan dariku, entah apapun itu tapi yang pasti bukan soal asmara dengan lelaki lain.
Jujur saja, aktivitas dan kehidupan pribadi Bimbi hanya dihabiskan untuk bekerja dan menjalin hubungan denganku selama setahun ini.
Apakah Tarno ada hubungannya dengan sikap Bimbi, yang belum juga bisa menjawab permintaan untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius denganku, sejak dua bulan lalu.
Ah, aku harus tuntaskan rasa penasaranku malam ini juga.
"Pak Tarno, lepas kerja kita ngopi ya?" Ucapku mengajaknya untuk bicara.
"Kebetulan, aku juga ada yang ingin dibicarakan" jawabnya.
Malam sepulang kerja, kami akhirnya bisa duduk nyaman dengan secangkir kopi, setelah berkeliling Jakarta hanya untuk mencari cafe yang buka saat pandemi.
Tarno membuka pembicaraan, dengan berkata, "Alfian, sebelumnya aku mau berterima kasih."
"Jika bukan karena strategi pemasaran yang kamu terapkan, mana mungkin kita bertahan saat pandemi seperti ini," lanjutnya.
"Itu kerja keras kita semua, Pak Tarno," jawabku.
"Ini sudah lewat jam kerja, panggil Tarno saja," ucapnya sambil tertawa-tawa.
Kami memang akrab, padahal saat di sekolah dahulu kami pernah bersaing untuk mendapatkan gadis yang sama.
Namun di rantau, semua cerita perselisihan masa lalu hanya menjadi bahan obrolan yang memancing canda tawa saja.
Sampai ia berkata, "Alfian, aku perhatikan kamu semakin dekat sama mekanik kita."
"Ya, aku serius dengan dia," jawabku.
"Sebagai sahabat, aku hanya mau mengingatkan," ucapnya.
"Tarno, jangan bilang kalau kau juga tertarik dengannya?!" Aku berseru memotong ucapannya.
Tarno hanya menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala, kemudian ia mulai meminum kopi didepannya.
Aku yang masih didera rasa curiga, menanti respon Tarno atas pertanyaanku, berharap ia menjawab dengan sebenar-benarnya.
"Bimbi, dia masih punya ikatan keluarga denganku," ucap Tarno.
"Dan aku akan menjaga, semua amanah yang ia percayakan padaku," tutupnya.
Dalam hati aku berkata, "aku makin penasaran, dan benar-benar tak puas atas jawaban Tarno."
Meskipun aku agak sedikit lega, karena ternyata Tarno dan Bimbi masih punya ikatan keluarga, namun rasa penasaran ini sama sekali belum tuntas.
Apakah Bimbi sudah tak suci lagi? atau pernah bersuamikan orang lain? Atau masih berstatus istri orang? Apa yang sebenarnya ia sembunyikan.
Sementara itu, di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta pusat, terlihat Bimbi tengah melaksanakan konseling dengan seorang dokter di dalam salah satu ruangan.
"Jadi, sudah bisa diputuskan mas atau mba?" Tanya Dokter kepada Bimbi.
"Aku mau dadi wong lanang ae, Pak Dokter," jawab Bimbi.
"Kenapa?" Kembali Dokter bertanya.
"Karena kelamin pria yang aku miliki saat ini lebih dominan dan berfungsi baik, Pak Dokter" tutup Bimbi.
Hari itu, Bimbi memutuskan untuk mengakhiri anomali seksualnya (Hermafrodit) dan segera menuntaskan misteri hubungan dirinya dengan Alfian.
****
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
(Indra Rahadian, 12/07/20)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H