"Huh, kerja sepuluh tahun di Jakarta hasilnya cuma tumpukan hutang kartu kredit," keluhku sambil menyeduh kopi tubruk.
Aku berpikir untuk pulang kampung saja, mengurus kebun karet milik keluarga yang meskipun cuma satu setengah hektar, tapi toh cukup untuk hidup.
Cukupkah? Harga karet sudah lama terjungkal sejak tahun 2017 dan kawan-kawan, termasuk bapak di kampung pun sudah mulai beralih menjadi buruh di pertambangan pasir.
"Alfi, Alfian!" Seseorang meneriakkan namaku dari balik pintu.
"Hei Tarno, masuk!" Pintaku, seraya membuka pintu lebar-lebar.
"Duduklah, sebentar ku seduhkan kopi," ucapku.
Tarno adalah mantan nasabah yang hampir merenggut nyawaku dua tahun lalu, saat itu ia sangat marah karena klaim asuransi bengkelnya tidak kunjung cair dengan berbagai macam alasan dari kantorku.
Dan jika bukan karena kami kawan satu sekolah, saat sama-sama menempuh pendidikan menengah atas di Tulang Bawang dahulu, mungkin saat ini aku sudah almarhum.
"Ada apa, tumben kemari?" Tanyaku.
"Aku mau kasih kabar baik, Alfian," jawabnya.
"Alhamdulillah, apa itu?" Kembali aku bertanya.